Passion membuat Amy dan Marissa setia pada profesinya, sambil menyentuh kehidupan sesama.
AMY ATMANTO Berdayakan Sesama
Membagi ilmu sama dengan membagi rezeki dan kebahagiaan. Amy Atmanto (39) meyakini hal itu. Amy tergerak untuk membantu kaun marjinal untuk mencapai hidup layak. “Saya ingin mereka bisa memiliki kehidupan yang layak seperti mereka yang latar pendidikan tingggi. Peluang itu bisa memungkinkan jika kita membuka peluang dari mengembangkan keterampilan,” kata Amy, yang menyelenggarakan pelatihan memasang mute secara cuma-cuma. Setelah selesai diberi piagam yang ia tanda tangani, agar keterampilan itu menjadi modal mereka untuk mencari pekerjaan.
Advertisement
Berbagi Ilmu
Selain disibukkan oleh aktivitasnya mendesain, ketua Ikatan Perancang Kebaya Indonesia ini juga aktif mengajar dan memberi pelatihan lifeskill pada perempuan. Mulai kelompok usaha perempuan hingga para mahasiswa. Mulai tentang enterpreneurship, etiket, atau beauty class.
“Saya senang berbagi pengalaman dan ilmu pada sesama perempuan. Apalagi jika ilmu yang diberikan ditularkan lagi pada orang lain, itu menjadi efek bola salju positif bagi masyarakat,” kata Amy. Ia tidak memilih-milih murid. Termasuk bagi kaum dhuafa dan penyandang tuna rungu untuk belajar memasang mute.
Menurutnya berbagi ilmu tidak memerlukan biaya khusus. “Gurunya bisa pegawai saya dan bahan yang digunakan bisa memakai sisa produksi,” kata Amy.
Berbuat baik tidak menunggu murid datang. Di awal, Amy pro aktif meminta guru mengaji anaknya mencarikan murid tidak mampu yang mau belajar memasang mote secara cuma-cuma. Karena baginya kesempatan adalah hal yang mereka butuhkan. Maka untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan bersaing menghasilkan karya terbaik, tidak jarang Amy melibatkan muridnya itu untuk ikut memasang mote pada helai gaun yang dipesan oleh para tokoh publik pelanggannya.
Desainer yang dikenal dengan kebaya masterpiece (premium) royal sulam dan luxury moslem wear (premium) royal kaftan ini tetap sempat membuat sarapan dan bekal untuk anak. Sebab komitmennya berhenti bekerja kantoran untuk punya waktu lebih luang untuk anak-anak. Menurutnya jadwal bisa terkendalikan karena yang bekerja bukan hanya dirinya, tetapi sudah membentuk sistem. “Saya memang menciptakan sistem, sehingga saya bisa fokus membuat konsep dan desain,” ujar Amy.
Sistem ini sangat membantu pekerjaan jadi terpadu. Istilah Amy semua sudah ada template-nya. Jadi kalaupun ada acara fashion show, ia tidak perlu kelelahan karena semuanya sudah terpola. Memang diakuinya di tahun pertama cukup repot membiasakan pegawainya bekerja dalam sistem terpadu.
“Tapi sekarang saya bisa menyelingi waktu bekerja dengan ke gym, memberi makan hewan piaraan, bahkan menemani ibu belanja bahan ke pasar, dan mengobrol dengan kepala sekolah anak-anak untuk mengawasi perkembangan anak di sekolah,” kata Amy.
Memang ada hari di mana jadwalnya sangat padat dan pesanan membludak. Tapi kalau urusan menjahit kebaya Amy tak pernah kesulitan. “Pembuatan kebaya bisa memakan waktu lama jika kebaya tersebut eksklusif. Lamanya bisa sampai sebulan tergantung aplikasinya,” kata desainer yang juga private partner Swarovski International di Indonesia. Proses membuat kebaya eksklusif selalu dimulai dengan melihat kepribadian pemesan. “Selanjutnya yang terpenting setiap bagian saya buat dengan hati,” ujar Amy.
Urusan hati itulah yang dulu mendorong Amy memutuskan untuk terjun total di dunia desain. “Passion memanggil saya. Tapi benar kalau bekerja dengan passion jadi tidak pernah lelah. Saya sering bekerja sampai pukul satu pagi di meja desain, tapi tidak terasa lelah,” kata Amy.
Amy ingin menyeimbangkan hidup antara karier dan keluarganya. Maka bermodal tali ukur dia memberanikan diri membuka usaha jahit bermodalkan ilmu memotong dan membuat pola yang telah diajari ibu semasa kecil.
“Awalnya saya membantu teman membuat pakaian. Saya potong polanya, lalu saya jahitkan ke penjahit langganan saya. Setelah fitting saya bawa ke tukang payet. Setelah jadi, ternyata teman saya menyukainya,” cerita Amy. Setelah memiliki uang barulah ia membeli mesin jahit dan membayar tukang untuk bekerja.
“Modal kecil bisa powerful jika dibarengi dengan passion yang besar, karena semangat saya jadi besar,” kata Amy yang sejak SMP sudah diajari menjahit pakaian sendiri oleh ibunya.
Kebaya jadi pilihannya karena itulah yang disukai kebanyakan pelanggan. “Banyak orang yang cocok dengan cutting bustier dan kebaya saya. Memang kalau kita memulai suatu usaha, sebaiknya kita harus mengenal kelebihan yang kita miliki,” ujar Amy.
Amy terus berjalan mencapai mimpinya. Salah satunya melestarikan dan mengembangkan potensi nasional, termasuk busana dan kain daerah.
MARISSA ANITA Dunia Seimbang
Bersama kedua rekannya, Marissa Anita (30) menyapa pemirsa lewat 8-11 di Metro TV. Lewat suaranya yang merdu dan tawanya yang renyah, ragam isu yang ‘melelahkan’ jadi terasa lebih ringan.
Bukan Sekadar Bekerja
Ketertarikannya pada profesi menjadi jurnalis, dirasakan oleh Marissa ketika masih menjadi guru bahasa Inggris. Saat membaca majalah ia tertarik dengan dunia majalah yang berwarna. “Bayangkan satu majalah isinya beragam. Profil tokoh, isu terkini masalah sosial, musik juga. Saya ingin jadi bagian tim itu,” tutur Marissa. Ia pun memutuskan untuk mengambil studi mengenai media di Australia.
Namun alih-alih terjun ke media cetak, tahun 2008, Marissa menceburkan diri di dunia pertelevisian. Cerdas, ekspresif, dan penampilan menarik menjadi kombinasi yang pas untuk mendapat tempat di televisi. Tetapi Marissa berpendapat lain. “Kalau kita menonton TV berita kan yang kita inginkan informasinya, kalau penampilan presenternya menarik ya itu bonus,” kata Marissa. Ia sendiri berharap ada pergeseran akan anggapan itu, terutama di tv berita, “Jika anchor sudah mencapai usia 40-50 bukan berarti tersingkir malah mereka itu yang harus kita jaga karena pengalamannya sangat berharga. Tiga puluh tahun jadi jurnalis kan luar biasa,” kata Marissa. Itu semua tergantung masyarakat. Kalau mereka tidak peduli dengan penampilan dan yang penting isi beritanya seperti televisi-televisi berita internasional ya lambat laun harapan harus menarik itu akan hilang. “Karena yang terpenting tetap isi beritanya,” jelas Marissa.
Variety show yang dipandunya memiliki cakupan luas mulai politik, sosial, hingga entertainment. “Saya sih sangat ingin memberikan informasi sejelas mungkin. Sebab kadang bahasa berita itu sering berbunga-bunga dengan istilah dan kalimat panjang yang bisa salah dimengerti. Padahal inti dari berita adalah memberikan informasi,” ujar Marissa yang bertanggung jawab dengan copy editing kalimat. Ia selalu berusaha membuat kalimat pendek yang sekali mendengar pemirsa langsung mengerti.
Namun kalimat pendek bukan berarti memotong pembicaraan narasumber. Banyak presenter yang gemar pamer dengan memotong kalimat narasumber dan mengajukan pertanyaan yang ‘menyerang’. Marissa justru berpendapat presenter seharusnya tidak ragu menanyakan pertanyaan sederhana. Presenter adalah wakil pemirsa di rumah.
“Saya mengundang narasumber karena dia lebih tahu. Saat itu saya menempatkan diri sebagai penonton. Saya tidak ragu mengajukan pertanyaan sesimpel apapun. Seperti misalnya singkatan BTS. Saya memang tahu tapi tidak semua penonton tahu. Tugas sayalah yang menanyakan itu,” kata Marissa.
Marissa sadar menjadi jurnalis artinya siap hidup dengan tenggat waktu yang ketat. Sangat wajar jika waktu bisa habis di kantor atau di lapangan.
Lalu bagaimana dengan kehidupan rumah tangga? “Saya selalu berusaha memiliki work-life balance. Memang ada hari-hari yang mengharuskan saya bekerja hingga 12 jam,” kata Marissa lagi.
Tapi ia selalu berusaha mengimbangi kehidupan kantor dan keluarga. Begitu selesai bekerja, ia lebih senang langsung pulang, supaya bisa memasak untuk suaminya. Marissa sering memasak makanan Indonesia atau makanan Italia. Ia bersyukur suaminya sangat suportif dan tidak membuat sekat perbedaan antara tugas suami dan istri. “Kami mengurus rumah tanpa asisten rumah tangga. Kadang saya masak, suami mencuci piring, atau sebaliknya,” kata Marissa yang merupakan 6 besar lulusan terbaik di Sydney University.
Ketika ditanyakan mengenai emansipasi, Marissa mengatakan emansipasi perempuan mungkin bisa disimbolkan dengan memiliki pekerjaan. “Tetapi emansipasi bukan sekedar bekerja, melainkan memberi kontribusi kepada masyarakat luas. Misalnya, anchor mengedukasi masyarakat dengan memberikan informasi,” kata Marissa.
Ia percaya edukasi berperan penting untuk kemajuan sebuah negara. “Jika masyarakat sudah teredukasi, maka kemampuan analisis meningkat. Pejabat dan decision maker akan meningkat kualitasnya karena masyarakat juga cerdas,” ungkap Marissa.
Meski sehari-hari sering dikelilingi berita yang kurang menyenangkan tentang situasi dalam negeri, Marissa mengaku semenjak menjadi jurnalis ia justru lebih mengenal dan lebih mencintai Indonesia. “Dulu saya selalu berpikir negara lain memiliki sistem dan segala sesuatu yang lebih baik, sekarang saya justru percaya Indonesia pasti bisa berubah menjadi lebih baik,” tuturnya.
Di waktu senggangnya Marissa memilih menikmati hobinya menonton. DVD atau pergi ke bioskop bersama suami atau teman-temannya. Film adalah hal yang sangat menarik perhatiannya. Ia bahkan tak segan menonton sendirian di bioskop jika sedang tidak ada teman.
Dunia performance memang tak asing baginya. Di tengah aktivitasnya yang lumayan padat, Marissa cukup aktif di Jakarta Players, sebuah kelompok teater nonprofit. Kalau sedang ada pementasan ia harus menyempatkan waktu untuk latihan setidaknya seminggu dua kali di malam hari.
Source : Goodhousekeeping Edisi Maret 2013 halaman 48
(vem/gh/dyn)