Dengan segala kemudahan yang diperoleh di jaman modern ini. Cenderung orang-orang lupa akan bersyukur dan melakukan perbuatan yang baik. Lihat saja bagaimana update berita yang kita lihat dan dengar setiap hari. Mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, perceraian, semua menandakan bahwa manusia lupa bersyukur atas keadaannya, dan kemudian berontak dengan cara yang salah sehingga memperparah keadaan.
Apabila Anda mulai lupa bagaimana cara bersyukur, kami punya 5 cerita yang akan membuat Anda benar-benar mensyukuri hidup saat ini.
Advertisement
Cinta itu tumbuh di camp konsentrasi
Pernah mendengar cam konsentrasi di film-film perang dunia atau bersettingkan pergolakan Nazi? Nah, miris kan melihat camp-camp tersebut. Semua orang serba menderita dan sengsara hidup di dalam camp. Ada yang sakit-sakitan, dan bahkan ada yang hidupnya berakhir karena tak kuat menderita. Tetapi, keajaiban cinta tak pernah kalah oleh penyiksaan tersebut.
Mau tahu buktinya? Adalah Luigi Pedutto dan Mokryna Yurzuk, saling jatuh cinta saat tahun 1944 dipertemukan di camp konsentrasi milik Hitler. Lugi adalah seorang tahanan perang berdarah Italia, sedangkan Mokryna berdarah Ukraina. Bertahun-tahun mereka hidup di camp konsentrasi, sengsara dan menderita. Pun demikian cinta mereka lebih kuat dari segalanya, sehingga mereka berjanji untuk tetap bertahan demi cinta mereka.
Begitu Hitler ditundukkan, Luigi justru dipulangkan ke negaranya di Italia dan berulang kali ditolak saat mengajukan visa kembali ke Rusia. Mokryna sendiri, harus tetap berada di Rusia dan menunggu kekasihnya menjemput.
Mereka berpisah selama 60 tahun, dengan cinta yang tak pernah berkurang dan justru bertambah besar. Keinginan keduanya untuk bertemu selalu menjadi semangat hidup, dan mendorong keduanya melakukan usaha ini itu. Hingga akhirnya tahun 2004, Luigi menuliskan surat pada sebuah stasiun televisi di Rusia. Program acara tersebutlah yang akhirnya mempertemukan keduanya. Dan setelah 60 tahun terpisah, cinta sejati itu bertemu kembali. Tak ada yang berkurang, tak ada yang saling melupakan. Cinta mereka tetap utuh!
Kisah dua bersaudara di Syria
Beberapa waktu lalu terjadi peperangan sengit di Syria, di mana saat itu roket dan bom berjatuhan dari langit menghancurkan segalanya. Dan saat roket menyerang sebuah perkampungan, adalah Abdulrahman, anak berusia 11 tahun yang terluka dan membutuhkan amputasi sesegera mungkin.
Kehilangan semua keluarganya, Omar, 24 tahun yang juga kakak Abdulrahman memutuskan tak akan membiarkan keluarga satu-satunya itu juga menjadi korban perang. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia membimbing adiknya keluar dari zona perang dan demi menyelamatkan nyawa keduanya.
Sederhana saja, Omar menggendong adiknya di punggung dan berjalan menuju Turki. Perang sungguh kejam, dalam beberapa minggu saja, Turki juga menjadi wilayah peperangan. Pun demikian Omar tak putus asa. Ia tetap menggendong adiknya dan berusaha lari dari kebengisan senjata api.
Atas keberanian dan kecintaan Omar, Abdulrahman berhasil selamat dan hingga kini tetap hidup sekalipun harus melewati amputasi kaki.
Advertisement
Pemulung adopsi 30 bayi terlantar
Banyak orang yang tega membuang bayi yang masih hidup dengan banyak alasan. Malu karena sang bayi lahir di luar pernikahan, atau.. takut karena tidak punya biaya untuk menghidupi sang bayi. Tapi tahukah Anda, seorang pemulung di China mampu mengadopsi 30 bayi yang dibuang. Inilah kebesaran hati Tuhan yang kadang tak mampu dirasakan semua orang.
Nama wanita ini adalah Lou Xiaoying, usianya saat ini 88 tahun. Pekerjaannya adalah pemulung sampah, suami Lou Xiaoying telah meninggal 17 tahun yang lalu. Keadaan hidup yang sulit dan keterbatasan ekonomi tidak mengecilkan hati Lou Xiaoying untuk berbuat baik pada sesama manusia. Dia telah mengadopsi 30 bayi sejak tahun 1972.
Walaupun usianya sudah menua, kebaikan hati Lou Xiaoying tidak surut dimakan usia. Anak adopsi yang paling muda saat ini berusia enam tahun, namanya Zhang Qilin. Lou Xiaoying menemukan bayi tersebut di tempat sampah. Dengan kondisi yang lemah, wanita itu membawa sang bayi ke rumahnya yang sangat kecil untuk dirawat. "Kini dia sudah menjadi anak yang sehat dan bahagia," ujar Lou Xiaoying.
Sementara itu, anak adopsi pertama ditemukan Lou Xiaoying di jalan, seorang bayi perempuan. "Ia terbaring di antara sampah di jalan, terlantar," kenang wanita tua itu. Dengan keterbatasan Tidak semua bayi yang ditemukan dan dirawat Lou Xiaoying terus bersamanya hingga dewasa. Beberapa di antara mereka diadopsi keluarga yang lebih mampu.
"Saya tidak mengerti mengapa orang-orang tega meninggalkan bayi selemah itu di jalan," ujar Lou Xiaoying. Baginya, bayi-bayi tersebut adalah makhluk hidup yang berharga, mereka seharusnya mendapat kasih sayang dan cinta.
Kisah ini mulai menyebar ke seluruh China dan mendapat perhatian dunia. Seseorang yang menaruh simpati pada kisah ini Seseorang yang simpatik terhadap Lou mengatakan bahwa pemerintah, sekolah, dan masyarakat China yang tak berbuat apa-apa seharusnya malu pada Lou. “Dia tak punya uang atau kekuasaan, tetapi mampu menyelamatkan anak-anak dari kematian dan kondisi yang lebih parah,” ungkapnya.
Kisah nyata ini membuktikan bahwa kebaikan hati seseorang tidak dapat dinilai dengan materi. Seorang pemulung sampah yang kehidupannya sulit bisa memiliki hati semulia emas.
Jadilah manusia yang berguna untuk orang lain. Jangan menunggu materi atau kesempatan. Hati mulia yang akan menuntun Anda.
Petugas kebersihan yang berhasil kuliah di Harvard
Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Jutaan orang mengejar impian agar bisa kuliah di salah satu universitas terbaik dunia, Universitas Harvard. Sayangnya, tidak semua orang berhasil memperoleh kesempatan itu. Ashley Dawn Loggins, seorang gadis miskin dan tunawisma berhasil mendapatkan beasiswa di universitas bergengsi tersebut. Inilah kisah yang bisa menjadi inspirasi kita semua.
Ditinggal Orang Tua Sejak Kecil
Ashley Dawn Loggins tahun ini berusia 18 tahun. Namanya terkenal sejak dia diberitakan diterima sebagai mahasiswi Harvard untuk tahun pendidikan 2016. Masa kecil gadis berkacamata ini sangat memprihatinkan. Ashley kecil mendapat penolakan dari orang tuanya yang merupakan pecandu narkoba, dia sering mendapat perlakuan kasar dan tinggal di lingkungan tak sehat yang dipenuhi pengguna narkoba. "Saya melihat keluarga saya hidup dari satu tagihan (hutang) ke tagihan yang lain," ujar Ashley dikutip dari Dailymail. Hingga akhirnya, kedua orang tua meninggalkan Ashley begitu saja.
Kemudian Ashley tinggal bersama nenek yang menyayanginya. Walau begitu, kehidupan Ashley tetap miskin dan tidak diajarkan pentingnya kebersihan. Saat sekolah, Ashley jarang sekali mandi. Dia dan kakak laki-lakinya harus berjalan jauh ke taman kota membawa ember untuk mendapatkan air gratis. Gadis ini harus memakai pakaian yang sama setiap hari selama berbulan-bulan. Sehingga tidak heran jika teman-temannya sering mengejek Ashley dengan panggilan jelek atau bodoh. Jika sudah begitu Ashley akan pulang sekolah sambil menangis setiap hari.
Dari Gelandangan Menuju Harvard
Saat SMA, penasihat sekolah, Robyn Putnam memberi jalan yang membawa perubahan bagi Ashley. Selain diberi pakaian, penasihat sekolah tersebut menyarankan agar Ashley mengejar ketinggalan pelajaran sekolah secara online. Agar bisa membiayai keperluan hidup sehari-hari, Mr Putman memberi Ashley pekerjaan sebagai petugas kebersihan sekolah dan diizinkan tinggal di sekolah. Ashley harus memastikan kelas, toilet dan semua ruangan sekolah bersih sebelum pelajaran dimulai.
Walaupun awalnya berat dan merasa malu, Ashley segera beradaptasi. Dengan penghasilan dan kehidupan yang lebih baik, Ashley bisa terus berprestasi, semua nilai ujiannya selalu A. Tidak ada yang sia-sia dari sebuah kerja keras. Pada akhir masa SMA, Ashley mendaftarkan diri di empat universitas dan semua menerimanya, termasuk Universitas Harvard. Ashley akan mendapat beasiswa penuh dan tempat tinggal selama kuliah, tetapi perjuangannya masih belum selesai karena dia harus membeli sendiri berbagai buku dan keperluan sehari-hari.
Ingin Membantu Orang Lain
"Rasanya luar biasa karena saya telah menyelesaikan semua ini dengan kerja keras dan bisa mencapainya," ujar Ashley sambil menangis bahagia dalam wawancara bersama CNN. Gadis ini tidak lupa berterima kasih pada semua orang yang telah membantunya. Ashley juga tidak lupa untuk berbagi pada anak-anak lain yang bernasib sama atau lebih buruk darinya untuk mendapat pendidikan. Dia memiliki rencana untuk mendirikan sebuah yayasan non laba untuk saling membantu. "Satu-satunya cara untuk keluar dari kemiskinan adalah pendidikan," ujarnya.
Selama setiap orang memiliki impian, mereka pasti bisa mewujudkannya. Tidak alasan untuk tidak mewujudkan impian. Semua itu tergantung pada Anda, bukan pada orang lain, demikian pesan Ashley.
Advertisement
Kisah cinta Phang dan Yin
Beberapa tahun lalu, tim Vemale.com memiliki kesempatan melakukan perjalanan ke Kerajaan Kamboja. Di sana ada sepasang suami istri yang dikenalkan oleh seorang teman. Kedua orang ini terlihat sangat romantis, berpegangan tangan pada waktu berbincang-bincang, saling curi pandang satu dengan lainnya, dan masih sering saling senyum. Hal itu tentu saja menakjubkan dan menjadi tanda tanya mengingat pasangan tersebut bukan remaja lagi, usianya sudah enam puluh tahun lebih. Setelah beberapa lama mengenal mereka, ternyata mereka punya cerita yang sangat panjang dan berliku-liku. Ada kah yang punya kisah hidup seperti ini? Berikut ceritanya kami tulis ulang dengan gaya bahasa "saya" , tetapi karena panjang kisahnya, terpaksa kami ringkas dengan tidak menghilangkan maknanya.
***
Nama saya Phang, saya pertama kali melihat istri saya pada waktu saya masih 18 tahun. Ayah saya pejuang yang berpindah-pindah tugas sejak perang Indocina di Kamboja tahun 1950-an, pada akhir 1970-an kami sekeluarga ditempatkan di Siem Reap di mana saya satu kampung dengan Yin, istri saya. Saya tidak pernah kenal dengan dia walau satu kampung, tetapi saya sering melihatnya sore-sore di depan rumah. Dia waktu itu masih berusia 10 tahun, delapan tahun lebih muda dari saya.
Setelah itu saya tidak pernah melihatnya lagi karena keluarga saya pindah ke kota lain, dan pindah lagi, dan pindah lagi. Sebelum pindah dari Siem Reap, tetangga-tetangga sempat memanggil juru foto dan mengajak keluarga saya foto bersama, foto itu selalu dibawa oleh ayah saya dan ditaruh di ruang tamu setiap kali kami pindah rumah. Dari foto itulah saya selalu ingat Yin, wanita cilik bermuka pucat yang teduh matanya. Dia terlihat kurus di foto itu dengan rambutnya yang dipotong cepak karena kutuan.
Di usia saya menjelang 30 tahun saya bekerja sebagai tukang pos. Tugas saya mengantar surat setiap hari di utara kota Phnom Penh. Saya tergolong pekerja keras tetapi suatu pagi, di saat hujan deras sekali, saya malas keluar rumah. Ayah saya berkata saat itu :
"Kamu tidak pernah tahu apa isi tumpukan surat itu. Mungkin ada kabar sukacita, mungkin ada duka, mungkin ada juga yang tidak dapat ditunda sehari pun."
Kalimat itu membangunkan saya, akhirnya saya putuskan jalan dan mengantar semua surat-surat itu di tengah hujan deras dan gemuruh guntur. Surat terakhir yang saya kirim hari itu masih disertai hujan, padahal hari sudah sore jam 3-an. Saya basah kuyub tetapi hati saya lega. Saat keluar dari kantor itu setelah mengirim suratnya, sekelibat saya melihat di balik jendela ada wajah yang saya kenal. Yin! Dia sudah berubah, rambutnya panjang sebahu, badannya gemukan, pakai kaca mata tetapi saya masih mengenalinya. Saya ingin menyapanya tapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Setelah beberapa lama saya memutuskan untuk pulang tanpa bilang halo.
Semalaman saya teringat dia, tetapi saya masih tetap tidak tahu bagaimana cara menyapanya. Saya berpikir terlalu lama sehingga baru seminggu kemudian saya punya cara menyapa Yin. Saya datang ke kantor itu lagi dan saya berpikir untuk minta ijin menemui Yin. Tetapi... saya terlambat! Ternyata Yin tidak lagi bekerja di situ, hari saya melihat dia adalah hari terakhir dia di sana. Yin keluar karena dia harus ikut keluarganya pindah ke Hanoi, Vietnam, karena ayahnya mendapat tugas di sana.
Saya sangat kecewa dan menyesal.
***
Beberapa tahun kemudian saya diterima kerja di sebuah perusahaan logistik, saya mendapat posisi bagus sebagai manager yang mengurusi pengiriman barang dari satu kota ke kota lain. Saat itu saya memiliki seorang kekasih dan punya rencana untuk menikah. Kemudian suatu pagi ketika saya bertugas di Siem Reap, saya tidak sengaja berpapasan dengan Yin di sebuah gedung pemerintah. Saya kaget dan tertegun melihat dia, dan saya rasa dia pun demikian. Bodohnya, saya tidak menyapanya! Saya ragu-ragu karena saya bersama seorang relasi dan dia bersama beberapa orang teman.
Pertemuan singkat itu benar-benar membuat saya bergejolak! Saya bertanya-tanya apakah dia mengenali saya? Apakah dia ingat saya? Saya membodoh-bodohkan diri saya, mengapa saya tidak menyapanya! Tetapi saya juga berusaha menghibur diri, itu tadi bukan Yin, Yin kan sudah pindah ke Vietnam. Pikiran tentang Yin tidak pernah hilang. Saya sempat ceritakan ke kekasih saya dan dia berang karena cemburu.
Beberapa bulan setelah kejadian itu saya mendapat masalah mendadak dan harus pergi ke Siem Reap. Di tengah kekalutan pekerjaan, saya sedang berjalan di sisi jalan ketika melihat Yin di jendela sebuah bis jurusan luar kota. Saya melihatnya dan melambai-lambaikan tangan. Dia pun melambaikan tangan seperti mengenal saya. Saya berusaha mengejarnya tetapi bis itu terlalu cepat pergi dan saya kehilangan kesempatan bertemu dia. Kejadian itu sungguh membuat hati saya bergetar, saya merasa saya jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta.
Gara-gara peristiwa itu saya memutuskan hubungan dengan kekasih saya, saya merasa tidak bisa menikah dengannya selama saya masih terus memikirkan Yin. Tidak adil buat dia. Orang tua saya sangat kecewa dengan sikap saya dan menganggap saya membuang kesempatan terbaik di dalam hidup saya.
***
Sepuluh tahun berlalu, saya tidak pernah melihat Yin. Setiap hari ingatan saya akan dia membuat hati saya tertutup untuk orang lain. Usia saya sudah 40 tahun lebih dan semua orang mengira saya tidak menikah karena saya patah hati ditinggal kekasih saya dulu. Mereka tidak ada yang tahu kalau di hati saya cuma ada Yin. Sering saya mencoba mencari Yin, dari buku telepon sampai saya datangi kampung saya dulu untuk tanya di mana keberadaan keluarga Yin. Ada yang bilang pindah ke Hanoi, ada yang bilang di Phnom Penh, semua serba simpang siur.
Di ulang tahun saya yang ke 48, saya melihat iklan baris di surat kabar. Ada seorang Yin mencari surat-surat yang hilang dan meminta yang menemukannya untuk mengirimkan ke Hanoi dan akan diberi imbalan. Saya tidak berpikir panjang, ini pasti Yin saya! Saya berangkat ke Hanoi beberapa hari kemudian dan menemui Yin. Sayangnya dia bukan Yin yang saya cari. Yin lain, bukan Yin saya. Teman-teman saya sudah menasihati lebih baik telepon dulu sebelum berangkat tetapi saya tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan di telepon dan saya terlalu yakin kalau itu pasti Yin yang saya cari. Surat kabar itu sampai sekarang masih saya simpan sebagai kenang-kenangan.
Tetapi semua itu tidak sia-sia. Dari ide iklan baris itu, saya memasang iklan di koran Hanoi : iklan saya singkat : Yin yang dari Siem Reap, hubungi Phang. Saya memasang iklan itu 3 kali tetapi tidak ada orang yang menghubungi saya. Kali yang keempat, saya memutuskan untuk mencoba pasang iklan di koran Phnom Penh, tidak lagi di Hanoi. Dalam perjalanan ke agen iklan saya dikejutkan oleh Yin. Saya ketemu dia di jalan! Dia keluar dari taxi yang hendak saya tumpangi.
"Yin, ini aku! Kamu tahu siapa aku?" begitu kata-kata saya pertama kali.
Jodoh di tangan Tuhan, ternyata Yin sangat mengenal saya. Bahkan di pertemuan saat itu, dia mengeluarkan foto dari masa kecil kami, foto dengan para tetangga di Siem Reap. Dia sudah jatuh cinta dengan saya sejak dia masih 10 tahun. Katanya dia sering melihat saya tetapi takut untuk menyapa karena dia masih kecil dan saya terlihat sangat dewasa. Dan yang lebih menggembirakan lagi, ia belum menikah!
***
Pertemuan itu adalah awal hubungan percintaan kami. Ternyata Yin selama itu tinggal di Hanoi, meski pernah ia pernah bertugas beberapa bulan di Siem Reap. Dia bekerja di perusahaan Vietnam yang punya cabang di Kamboja. Karena itu kami bertemu setiap beberapa bulan sekali dan merencanakan untuk segera menikah.
Tetapi perjalanan kasih kami tidak mulus, ayah Yin harus menjalani transplantasi jantung dan harus dibawa ke Canada. Yin harus pindah ke sana bersama-sama dengan keluarganya dan kami hanya bisa berhubungan lewat email dan chat. Lima tahun Yin di sana sampai ayahnya meninggal, kemudian balik ke Hanoi. Hanya sekali saya mengunjunginya di Toronto, Canada, itupun dengan menghabiskan semua tabungan yang saya kumpulkan bertahun-tahun. Sebenarnya saya ingin segera menikahinya tetapi keluarga Yin belum mengijinkan kami karena ayahnya yang sedang sakit. Mereka percaya bahwa tidak tepat menikah di saat salah satu anggota keluarga dekat sakit keras.
Sepulang Yin dari Toronto, usia saya sudah 55 tahun. Saya tidak berpikir panjang, saya akan segera menikahinya. Sekali lagi perjalanan kasih kami tidak mulus, dalam perjalanan ke Hanoi untuk melamar Yin dengan kedua orang tua saya, ayah saya terkena stroke dan meninggal di perjalanan. Kami sangat terpukul dengan kejadian itu, dan lebih-lebih beberapa bulan kemudian ibu saya menyusul ayah. Ayah saya meninggal di bulan Desember, ibu menyusul beberapa bulan kemudian di bulan Maret. Praktis tahun itu kami tidak bisa menikah karena kepercayaan yang tidak menyarankan pernikahan di tahun yang sama dengan kematian orang tua.
***
Usia saya 57 tahun ketika saya menikahi Yin. Dia masih muda, belum 50 tahun, terpaut 8 tahun dibanding saya. Sejak hari itu, kami seperti pangeran dan putri karangan HC Andersen, live happily ever after. Saya sangat mencintainya, setiap hari seperti pacaran tanpa ada habisnya, inilah true love, cinta sejati kami. Puluhan tahun kami jatuh cinta tapi tidak bisa sama-sama. Kami selalu terkenang dengan semua kisah hidup kami Sering kami masih komunikasi menggunakan email dan chat, karena Yin sedang di kamar mandi dan Phang di meja makan.