Dua puluh lima tahun tak mengenal ayah tak membuatnya dendam. Cinta ibu membesarkan hatinya hingga dia ikhlas memaafkan.
Oleh Fiona Yasmina
Di tengah kesibukan promo film terbarunya, Denny Sumargo (31), mantan atlet basket profesional dan pameran Arial di film 5 cm, menyempatkan diri bertemu dengan GH Indonesia. Tidak mudah memang membuat janji dengan pria yang sedang padat aktivitas ini.
Advertisement
Di balik kesuksesannya sebagai atlet mungkin tak ada yang mengira betapa keras hidup yang dia jalani. Tanpa dukungan sang ayah, Denny dibesarkan sendiri oleh sang Ibu dengan penuh perjuangan. Meski kehidupannya susah dan jauh dari nyaman, Denny tak patah semangat. Dengan penuh tekad dia terus berusaha mewujudkan impiannya hingga meraih kesuksesan.
Merindukan Ayah
Denny lahir dari pasangan Meiske Sumargo (55) dan Nazaruddin Chaniago (almarhumah, meninggal 2006). Mereka menikah tanpa restu keluarga karena perbedaan etnis dan keyakinan, serta status. Saat itu usia Meiske baru 19 tahun, tapi demi cinta dia rela menempuh resiko dicoret dari keluarga. Sayang cinta tak selamanya indah. Saat Meiske mengandung, mereka terpaksa bercerai. Meiske pun harus berjuang menghidupi diri dan bayi dalam kandungannya. “Dari hasil penjualan kalung pemberian nenek, ibu berangkat dari Luwak Banggai ke Makasar naik kapal selama dua hari untuk mencari rumah sakit bersalin terbaik,” cerita Denny. Bahkan Meiske sempat mengalami perdarahan di tengah guncangan kapal.
Syukurlah bayi laki-laki itu lahir sehat dan diberi nama Denny Sumargo. Dengan susah payah Meiske memutuskan untuk berjuang menghidupi Denny seorang diri. Namun saat Denny berusia 6 tahun, Meiske sudah tidak memiliki dana dan terpaksa memasukkan Denny ke Panti Asuhan. Setahun kemudian Meiske datang menjemput tetapi tidak diizinkan. Meiske berusaha dengan segala cara, hingga berhasil membawa Denny ke Surabaya.
Saat di Surabaya, Denny selalu bertanya di mana ayahnya, tetapi ibunya diam membisu. Meski demikian kehidupan cukup tenteram bagi mereka. Hingga suatu saat Meiske dekat dengan seorang pria. Namun tanpa diduga pria itu menipunya. Meiske pun memutuskan kembali bekerja di Makasar dan menitipkan Denny ke rumah orangtuanya di Jakarta.
Kehidupan begitu keras untuk Denny saat itu. Dia sempat diusir dari rumah karena kenakalannya di sebuah pasar swalayan, saat ia berusia 13 tahun. Takut kembali ke rumah, Denny mulai menjalani kehidupan seperti anak jalanan. Denny sempat tidur di depan rumah orang, mencari makanan dari tempat sampah, tidur di terminal, bahkan berkeliling kota menjadi kondektur angkutan umum. Di tengah masa sulitnya, Denny acap kali merindukan kehadiran sang ayah. Kehampaan ini membuatnya merangkak pelan-pelan untuk berubah. “Saya yang tadinya tidak pernah berharap dilahirkan ke dunia, sampai ingin berada di dunia. Saya ingin melakukan sesuatu, dan melangkah untuk mencapai mimpi itu,” tutur Denny.
Di tempat lain, Meiske kerap menitikan air mata karena menahan kerinduannya pada Denny. Saat tak ada kabar, Meiske pun pergi ke Jakarta dan mencari jejak Denny. Dia menyusuri seluruh isi kota untuk mencari buah hatinya. Tuhan mempertemukan kembali Denny dengan Meiske. Denny pun dibawa kembali ke Makasar dan melanjutkan pendidikan sampai lulus SMA.
Cinta Ibu Membuat Bangkit
Di bangku SMA, bakat Denny di bidang basket mulai terlihat. Lewat prestasi di basket pula dia mendapatkan beasiswa demi meringankan beban ibunya. Ketika lulus, Denny mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) mewakili Sulawesi Selatan di Surabaya.
Saat itu Denny pamit ke ibunya untuk melanjutkan perantauan ke Jakarta setelah dari Surabaya. Denny ingin bekerja sambil kuliah. “Saya tidak akan pulang, kalau saya tidak berhasil,” tegas Denny pada ibunya saat itu. Meiske menangis mendengar jawaban Denny. “Saat saya berjuang, apa yang saya janjikan pada ibu membuat saya tidak pernah ‘mati’. Saya akan terus berjuang sampai saya meraih mimpi,” papar Denny mengenang.
Denny pergi ke Jakarta berbekal Rp 50.000 dan sebuah kartu nama klub basket di Jakarta dari pelatihnya. Jalan tidak mudah. Saat berusaha menjadi pebasket profesional dia sempat dimusuhi oleh rekan-rekan yang lain. Tapi Denny tidak menyerah, dia tetap giat berlatih. Tidak sampai setahun, dia berhasil menjadi pemain inti dan pemain nasional. Dia sempat ditarik oleh klub Satria Muda yang bersedia membayar Denny dengan harga transfer sekitar Rp 600 juta. Denny bahkan berkesempatan belajar basket dan mengambil pendidikan hingga S2 Management di Philippine University. Setelah beberapa pertandingan bersama Satria Muda, Denny pindah ke klub Garuda hingga 2012 sebelum akhirnya memutuskan beristirahat dari dunia basket.
“Panggil saya Papa.”
Sosok ibu yang tangguh telah membuat Denny menjadi sosok yang pantang menyerah. Dia pun terbiasa hidup tanpa ayah. Hingga suatu sore sekitar tahun 2006, tiba-tiba telepon berdering. Di seberang sana seorang perempuan menyapa dan berkata, “Denny, saya kakak kamu dari ibu yang berbeda, ayah ingin bertemu kamu,” ucap perempuan itu.
Dalam kebingungan Denny langsung menyetujui sambil bertanya-tanya benarkah ayahnya masih hidup? Bagaimana rupanya? Dan sejuta pertanyaan lain melintas di benaknya saat telepon ditutup.
Tak ada amarah di hati Denny saat ia memenuhi permintaan sang ayah untuk bertemu. Di rumah kakaknya, Denny melihat ayahnya turun pelan-pelan melalui tangga. “Saya hanya terpaku melihatnya. Dalam diam saya terus mencari kesamaan wajah dan tubuhnya dengan saya,” ujar Denny. Saat Nazaruddin berjalan mendekat, Denny berdiri menghampiri dan menyalaminya. Sapaan hangat Nazaruddin mengawali pertemuan itu, “Denny selamat malam.” Masih terpaku Denny menjawab, “Selamat malam, oom.”
Nazaruddin pun mempersilahkannya duduk, kemudian berkata, “Panggil saja saya Papa.” Meski awalnya kaku, namun malam itu mereka pun larut dalam obrolan tentang masa lalu. Dari sana Denny tahu, walaupun ayahnya jauh dia tetap memantau dirinya. “Saya ingin meminta maaf kepadamu sebagai anak saya tidak dibesarkan oleh saya. Padahal itu adalah tanggung jawab saya sebagai seorang ayah. Saya harus minta maaf tutur Nazaruddin kala itu. Dengan ringan Denny memaafkan ayahnya sepenuh hati.
Keesokan harinya, Denny bangun dengan hati yang lapang. Namun tanpa diduga dering telepon dari kakaknya tiba menyampaikan berita mengejutkan. “Den, Papa sudah pulang...”
Dengan polosnya Denny bertanya, “Pulang ke mana? Luwak Banggai?” Kakaknya menjawab tegar, “Tidak, dia sudah pulang ke pangkuan Tuhan. Setelah shalat, Papa makan kemudian terjatuh di meja makan,” ceritanya. Hampir tidak percaya, malam itu Denny datang ke rumah sang kakak. Sejumlah orang sudah memadati rumah kakaknya untuk pengajian. “Ayah menutup usia, saat dia berusia 72 tahun,” ujar Denny.
Setelah kepergian ayahnya, Denny kembali menjalin silaturahmi dengan keluarga ayahnya. Hidup telah mengajarkannya banyak hal. Hubungan yang sempat hilang, kini menyatu kembali.
Source : Good HouseKeeping Edisi Februari 2013 Halaman 58
(vem/GH/dyn)