Oleh Donna Ch. Chazri
Masih ingat film The Day After Tomorrow? Betapa New York bisa lumpuh membeku hanya dalam sekejap saat badai es ekstrem melanda. Kita masih bernapas lega karena itu hanyalah rekaan Hollywood yang penuh dramatisasi. Namun kita mungkin akan berpikir ulang bila menyimak sejumlah bencana alam besar yang pernah melanda dalam lima tahun terakhir. Amerika, Jepang, dan Cina tak luput jadi sasaran. Tak kuasa mengelakkan dampak bencana yang luar biasa.
BADAI MONSTER SANDY
Advertisement
Bencana terkini yang menghebohkan, menimpa salah satu kota paling berpengaruh di dunia, New York. Kota ini harus mengakui kedahsyatan badai yang melanda. Bukan sembarang badai, melainkan disebut dengan julukan badai monster Sandy dan Frankenstorm, karena hadir bersamaan dengan momen Halloween serta merupakan perpaduan dua badai. Badai Sandy terbentuk dari kombinasi badai selebar lebih dari 300 meter dengan ambang bersuhu rendah dan badai lain.
Setelah Badai Katrina unjuk kekuatan di tahun 2005, Sandy mengikuti di urutan berikut sebagai Badai Atlantis terbesar dan paling merugikan. Kerugian tidak langsung yang paling fenomenal adalah saat New York Stock Exchange ditutup karena terjangan Sandy. Ini untuk pertama kalinya sejak 1873 dimana pasar bursa di Wallstreet New York tersebut tutup selama sepuluh hari akibat “Panic of 1873”.
Badai Sandy diawali dari gelombang tropis di bagian Barat Laut Karibia pada 22 Oktober. Setelah meninggalkan jejak menyedihkan di wilayah Karibia, Badai Sandy melanda wilayah Timur Laut AS. Di AS, badai monster ini melanda setidaknya 24 Negara Bagian. Badai Sandy menyerang New York pada 29 Oktober. Dampak parah dirasakan di New York City berikut wilayah sekitarnya serta Long Island. Dampaknya termasuk banjir yang melumpuhkan sistem New York City Subway dan membuat ditutupnya seluruh terowongan akses ke Manhattan, kecuali satu. Listrik pun padam. Bisa dibayangkan bagaimana para New Yorker yang terbiasa hidup di ‘jalur cepat’ terpaksa ‘diam’. Sejumlah kebakaran juga terjadi dan memusnahkan rumah-rumah dan bangunan usaha. Tercatat 48 orang tewas di New York akibat Badai Sandy dengan kerugian setidaknya 20 miliar dolar AS.
KOTA ‘WELL PREPARED’
Bencana memang tak pandang bulu, siapa pun bisa jadi korban. Tahun 2008, gempa berskala 8 magnitude melanda Sichuan, Cina. Dengan kekuatan gempa sebesar ini berarti gempa tersebut melepaskan energi yang sama dengan ledakan TNT seberat 6 juta ton. Meski hanya berlangsung sekitar 2 menit, gempa tersebut cukup menunjukkan kekuatannya hingga menewaskan 70.000 orang. Angka ini bisa jadi jauh lebih tinggi karena lebih dari 18.000 orang tidak diketahui nasibnya.
Pusat gempa Sichuan, di 80 km sebelah Barat Laut Chengdu di kedalaman 19 km. Hampir 4 juta jiwa tinggal di Ibu Kota Sichuan ini. Seluruhnya, kira-kira 15 juta jiwa tinggal di kota-kota yang terkena dampak langsung. Mereka yang berjarak sejauh ribuan kilometer saja bisa merasakan getarannya. Seperti yang dirasakan warga Beijing dan Shanghai yang berjarak 1.500 km dan 1.800 km dari Chengdu. Di dua kota ini, gedung-gedung bagai ‘menari’ digoyang gempa.
Dari sisi material, kerugian ditaksir mencapai 29 miliar dolar AS. Diperkirakan sebanyakk 4,8 juta hingga 11 juta orang kehilangan tempat tinggal. Gempa Sichuan merupakan gempa paling mematikan yang melanda Cina sejak gempa Tangshan 1976. Gempa ini juga tercatat sebagai salah satu gempa paling merugikan dalam lima tahun terakhir.
Jangankan Cina, Jepang yang serba teratur dan selalu siap sedia saja bisa merasakan, sesiap-siapnya manusia menghadapi bencana, tetap saja tak berdaya saat alam ‘murka’. Ini terbukti saat bencana yang terjadi pada Maret 2011 lalu.
Gempa skla 8 magnitude saja sudah cukup buruk, gempa kali ini mencapai skala 9. masih ditambah dengan tsunami. Sepanjang sejarah, gempa yang berpusat disekitar 372 km dari Tokyo dengan kedalaman 24,5 km ini merupakan gempa terbesar yang pernah melanda Jepang. Di Tokyo, gedung-gedung berguncang kencang. Sendai Airport penuh dengan timbunan kendaraan yang tersapu tsunami. Landasannya tertutup lapisan tebal lumpur hitam.
Tingkat kerusakan yang disebabkan gempa dan tsunami di Tohoku, Jepang memang dahsyat. Hampir tak ada lagi struktur bangunan yang tersisa. Terutama di wilayah yang paling terkena dampak gempa dan tsunami. Bangunan kokoh pembangkit listrik tenaga nuklir yang berada di Fukushima Prefecture pun jadi korban.
Jepang termasuk negara yang memiliki sistem peringatan dini dan kesiapan tinggi dalam menghadapi bencana. Begitu pula saat gempa terjadi. Pacific Tsunami Warning Center mengeluarkan peringatan kemungkinan terjadinya tsunami Samudra Pasifik, dari Jepang hingga pesisir Barat AS. Peringatan tsunami ini berbunyi di lebih 50 negara. Walau saat kejadian sistem peringatan ini dinilai efektif, kenyataannya tak seideal yang diharapkan. Tetap saja sulit untuk menghindari jatuhnya korban.
Kemungkinan lebih dari 10.000 orang tewas dengan lebih dari 13.000 orang hilang. Menurut catatan Bank Dunia, Jepang menderita kerugian materil sebesar 235 miliar dolar AS. Bukan hanya itu, Jepang juga menderita beban moral dan material untuk memulihkan kondisi lingkungan di sekitar Fukushima Daiichi Nuclear Power Plant. Akibat gempa dan tsunami, reaktor pada instalasi nuklir “Nomor Satu” (arti dari Daiichi) ini mengalami kerusakan parah hingga menyebabkan kebocoran radiasi. Dalam jangka waktu yang panjang kesehatan penduduk di wilayah yang terpapar radiasi akan terancam. Butuh biaya besar untuk membersihkan lingkungan dari paparan radiasi.
Selain itu diperlukan usaha keras untuk melakukan evakuasi. Hanya dua hari setelah gempa, sekitar 170.000 orang pada radius 20 km dari instalasi nuklir diungsikan. Untuk pertama kalinya Jepang menyatakan darurat nuklir. Pada 20 April 2011, pihak otoritas Jepang menyatakan darurat zona evakuasi radius 20 km sebagai daerah tertutup dan hanya terbuka bagi yang berkepentingan di bawah pengawasan pemerintah.
Bumi Memanas – Apa kata Al Gore?
Kehadiran Badai Sandy dengan intensitas yang luar biasa pada Oktober lalu sontak memancing kembali isu yang sudah menjadi perdebatan berbagai kalangan sejak lama. Sebagian pihak yakin bahwa makin tinggi intensitas badai dalam beberapa dekade terakhir adalah sebagai dampak dari pemanasan global. Demikian halnya dengan Badai Sandy. Tak semua setuju memang.
Salah satu tokoh yang berkeyakinan bahwa terdapat hubungan antara perubahan iklim dengan pemanasan global, adalah mantan Wakil Presiden AS Al Gore. Tak hanya yakin, ia juga tak segan meneriakkan pemikirannya. Saat Badai Sandy melanda, Al Gore sigap mengeluarkan pernyataan yang intinya membangkitkan kesadaran warga Amerika terhadap fenomena yang tengah berlangsung.
Al Gore menganalogikan perstiwa banjir besar di Nashville dua tahun lalu sebagai skala kecil dari kondisi New York saat diterpa badai Sandy. Bagi Al Gore bencana di Nashville tersebut merupakan momen penanda sebagaimana bencana di New York. Yaitu momen di mana krisis iklim yang biasanya terabaikan, menjadi kenyataan. Tak hanya banjir Nashville dan Badai Sandy, Al Gore juga menekankan bagaimana bencana-bencana terkait iklim di berbagai penjuru dunia membawa pesan kesadaran yang sama.
Menurut Al Gore, walaupun badai yang menyerang Nashville bukanlah badai tropis sebagaimana Badai Sandy, kedua badai tersebut diperkuat oleh krisis iklim akibat pemanasan global. Mengutip pendapat ahli, Al Gore menjelaskan bahwa dengan membuang 90 juta ton polusi penyebab pemanasan global ke atmosfer setiap hari, sama artinya mengubah lingkungan dimana badai terbentuk. Seiring peningkatan suhu laut dan atmosfer badai menjadi lebih kuat.
Sejak kampanye lingkungan yang dilancarkan Al Gore dirilis dalam bentuk film dokumenter pada tahun 2006, Al Gore makin populer sebagai sosok aktivis pembela lingkungan. Film dokumenter bertitel An Inconvenient Truth diakui telah berperan dalam meningkatkan kesadaran publik internasional terhadap isu perubahan iklim hingga mendorong kembali gerakan lingkungan. Pernyataannya terkait Badai Sandy: “...Kita harus memperhatikan peringatan ini dan segera bertindak untuk memecahkan masalah krisis iklim. Energi kotor membuat cuaca kotor.”
Source : Good HouseKeeping, Edisi Desember 2012, Halaman 63
(vem/GH/dyn)