Oleh: Agatha Yunita
Berulang kali kecewa dan patah hati, hingga usia 32 tahun aku memilih untuk sendiri. Walaupun orang tuaku sudah bingung memperkenalkan aku pada anak relasi mereka, namun aku masih terlalu takut membuka hatiku lagi.
Memang sih, usia 32 tahun bukan lagi usia yang muda untuk wanita sepertiku. Apalagi aku berlatar belakang medis, aku tahu resiko seperti apa yang akan kualami jika nantinya harus melahirkan di usia kepala 3.
Advertisement
Resiko tersebut kutempuh, mengingat rasa sakit yang kurasakan beberapa tahun silam masih membekas dengan jelas. Rasanya kejadian itu baru kemarin. Bahkan sesekali aku masih mengingatnya, dan meneteskan air mata. Untungnya sahabat serta rekan kerjaku selalu mendukungku, mereka tak pernah berhenti menyemangati aku.
"Tidak. Aku berterima kasih pada kalian, tetapi aku tetap tidak percaya kalau cinta sejati itu ada. Lihat saja ayah ibuku, mereka mungkin masih berteman, tetapi toh mereka tetap memilih berpisah," tegasku pada Anggun, sahabat sekaligus rekan kerjaku.
Kami bekerja di sebuah rumah sakit yang sama, telah bersekolah dari kecil hingga mengambil kuliah kedokteran bersama. Bisa kukatakan, ia memang sahabat sejatiku. Selalu ada di setiap hal yang pahit maupun menyenangkan. Apabila ada orang yang melihat kami bersama, semua pasti bilang kami seperti seorang yang kembar. Tak pernah terpisah satu sama lain. Namun, aku tahu jelas. Nasib kami berbeda jauh. Anggun memiliki kedua orang tua yang rukun, dan kini telah menikah dan dikaruniai seorang anak yang sangat lucu sekali.
"Ah sudahlah. Aku bertaruh bahwa kamu suatu hari nanti kamu akan berubah pikiran. Sekalipun aku tak bisa menjamin kapan waktu itu datang," kata Anggun yang sepertinya sudah lelah meladeni ocehanku.
"Oya, aku minta bantuanmu Ran. Minggu depan aku akan menghadiri konferensi di Malaysia. Dan akan berlangsung sebulan lamanya..." kata Anggun yang langsung membuatku meliriknya sewot.
"Lantas?" tanyaku penasaran.
"Nah, aku punya pasien yang sangat membutuhkan perhatian. Namanya Om Dharma. Sudah sekitar 2 minggu ini ia dirawat di rumah sakit karena menderita patah tulang akibat jatuh. Sebenarnya keadaannya sudah membaik, namun keluarganya ngotot meminta agar ia dirawat lebih lama. Ia menderita Alzheimer, Ran," jelas Anggun.
Akupun mengangguk. Aku bisa langsung menangkap maksud Anggun. Dan aku memang harus memberikan perhatian lebih untuk pasien dengan kasus khusus.
"Ok, aku mengerti maksudmu Nggun. Aku akan mengabarkan setiap perkembangannya padamu nanti." Anggun tersenyum melihat kesediaanku membantunya.
***
Tiga minggu berlalu. Dan selama itu pula aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Om Dharma. Setiap hari ia menceritakan satu hal yang sama. Tentang seorang wanita bernama Laras. Bagaimana mereka bertemu, bagaimana ia jatuh cinta. Hmm... aku seperti sudah hafal cerita tersebut, karena cerita itu diulangnya terus menerus.
Suatu sore, aku melihat Om Dharma duduk bersama seorang pria muda di taman samping. Tumben pikirku, biasanya keluarganya yang menjenguk hanya melihatnya sebentar di dalam kamar, lalu meninggalkan rumah sakit dengan kesan terburu-buru karena kesibukannya. Tetapi, mengapa yang ini menemaninya hingga ke taman? Rasa penasaranku tak kunjung hilang. Kuputuskan berbalik arah dan menghampirinya untuk menyapanya.
"Wah, Om Dharma sudah bisa jalan-jalan di taman nih. Sudah segar ya Om?" sapaku berbasa basi.
Senyum pria yang duduk di sampingnya mengembang. Menyodorkan tangan dan menjabat tanganku dengan ramah. "Saya Odhie, cucu kakek Dharma. Anda dokternya?" tanyanya. Aku mengangguk, dan kemudian duduk di sampingnya sambil mendengarkan cerita Laras. Tanpa kusadari, aku mengikuti cerita Om Dharma, yang setiap katanya nyaris kuhafal. Kedengarannya konyol, namun Odhie , yang ternyata setahun lebih tua dariku bertepuk tangan memberi applause. "Wah, hebat dong kamu bisa dengan lancar mengulangi cerita kakek. Belum ada yang bisa melakukannya selama ini, termasuk aku. Padahal aku sendiri dulu hampir setiap hari mendengar cerita tentang nenek," ungkap Odhie membuatku terhenyak.
Hmm... jadi terjawab kemisteriusan tokoh Laras kali ini. Ternyata beliau adalah istri Om Dharma. Pantas saja namanya sering disebut.
"Kakekmu hebat yah. Penderita Alzheimer itu bahkan seringkali tak ingat namanya sendiri lho, tetapi nama nenekmu tak pernah dilupakannya. Bahkan, beliau bisa menceritakan dengan detail momen-momen manis bersamanya," celetukku.
"Itulah yang disebut cinta sejati, Ran..." kata-kata Odhie membuatku tertegun. Sekian lama aku bertanya-tanya, apa mungkin memang cinta sejati itu ada. Aku ragu. Tetapi, melihat Om Dharma dengan cerita Larasati, membuatku akhirnya yakin. Ya, cinta sejati itu memang ada. Di dalam kondisinya, beliau masih bisa mengingat dan menunjukkan cinta sekalipun Tante Laras sudah tak ada lagi di sampingnya. Cinta itu seperti tak pernah mati, dan menjadi ingatan yang kuat terpatri di dalam benaknya.
***
Dalamnya cinta Om Dharma mengubahku menjadi pribadi yang lebih hangat dan terbuka. Akupun mulai berkencan lagi.
And guess what, siapa yang sedang menjalin cinta denganku?
Haha, iya. Odhie, cucu Om Dharma. Belakangan ini ia rajin menemani kakeknya, begitupun denganku. Terima kasih Om Dharma, telah mengajarkan bahwa cinta sejati itu ada. Dan semoga aku menemukannya juga di dalam diri Odhie.
(vem/bee)