Oleh Fiona Yasmina
Sebelum telepon genggam banyak dipakai, dompet merupakan salah satu ranah pribadi yang tidak bisa diusik pasangan. Seiring berjalannya waktu dan teknologi semakin maju, telepon genggam dan akun jejaring sosial juga ikut mengambil peran.
Saat reuni, salah satu sahabat menceritakan kalau ia mencurigai pasangannya. Ia pun membuka akun jejaring sosial pasangan tanpa diketahui, menelusuri dan mencari tahu siapa perempuan lain yang berkomunikasi dengan suaminya. Psikolog yang pernah mengenyam pendidikan di Magister Psikologi Universitas Indonesia dan bekerja di ADR Advisory, Nirmala Ika Kusumaningrum., M.Psi., Psi (36) mengatakan, “Tak bisa dipungkiri, saat ini peristiwa memata-matai akun jejaring sosial pasangan sebenarnya cukup sering terjadi. Hanya saja ia gengsi mengakuinya. Atas nama hak asasi manusia, ia tidak mau memeriksa. Namun di hati kecilnya, ia juga ingin memata-matai akun pasangannya. Dorongan itu sebenarnya memang ada,” ujar psikolog yang akrab disapa Ika itu.
Advertisement
Dia atau Anda?
Dalam kehidupan keluarga, tidak bisa dipastikan siapa yang lebih ingin memata-matai jejaring sosial pasangan, istri atau suami. Ika menegaskan, “Kecurigaan itu bisa dimiliki oleh siapa saja baik suami atau istri. Selama ini perempuan yang selalu terekspos ingin tahu urusan pasangan dan melibatkan perasaan untuk keakraban pasangannya dengan teman-teman di dunia maya, padahal laki-laki juga ada yang seperti itu.” Sikap dan perilaku yang diberikan perempuan dan laki-laki itu berbeda ketika memata-matai jejaring sosial pasangannya. Perempuan biasanya menggali seluruh informasi secara detail, sedangkan laki-laki hanya ingin tahu garis besarnya saja.
Perilaku selalu ingin mencari tahu ini bisa disebabkan oleh pengalaman penyakit. Misalnya suami atau istri pernah dipergoki pasangannya via SMS. Setelah itu, istri atau suami akan terus memata-matai pasangannya lewat apapun, baik e-mail, SMS, maupun jejaring sosial. Seseorang akan ‘bergerilya’ dengan pasangannya dan tidak percaya kalau pasangannya memang benar-benar sudah berubah. Sementara itu, Ika juga mengatakan bahwa selain senanng mencari tahu aktivitas pasangan, pribadi ini bisa dikatakan insecure dalam segala hal. Karena itu ia selalu merasa kalau pasangannya ingin berselingkuh. Selain itu, perilaku ini juga bisa disebabkan oleh perilaku seseorang yang memang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap semua aktivitas pasangannya. Ia juga mengungkapkan bahwa orang yang ingin memata-matai akun pasangannya memiliki sifat dasar ingin tahu, pencemburu, dan menyukai hal-hal detail.
Pencarian ‘kebenaran’ yang berjalan terus menerus ini tidak bisa dikatakan sebagai kecanduan. Rasa penasaran itu akan muncul tergantung seberapa besar pasangan itu menghayati perasaan tersakitinya di masa lalu. Wajar atau tidaknya memata-matai akun jejaring sosial pasangan, tergantung kesepakatan bersama.
[initial]
Source: GoodHouseKeeping, Edisi Oktober 2012, Halaman 52
(vem/gil)
Advertisement
Bisa Melelahkan
Kalau kita melakukannya karena rasa curiga itu tidak menyenangkan, sebab apa yang kita buka lebih sering membuat deg-degan karena tidak tahu apa yang akan ditemukan. Artinya saat mencari tahu, orang tersebut sebenarnya tahu bahwa ia akan mendapatkan sesuatu yang tidak mengenakkan, sayangnya setelah membuka kita jadi tidak bisa berhenti, ujar Ika.
Misalnya, seorang istri menemukan fakta suaminya sudah berkomunikasi dengan perempuan lain, janji bertemu, kemudian komunikasi mereka semakin intens, bahkan ia menemukan suaminya telah bercinta dengan perempuan lain. Artinya kegiatan mencari tahu ini terus terjadi sampai ia menemukan fakta-fakta yang sebenarnya tidak ingin diketahui. Anda seperti memiliki banyak pertanyaan di kepala, Jadi dia bertemukah? Apa saja yang ia lakukan? Apakah dia sudah bercinta dengan suamiku? Sebenarnya memata-matai akun jejaring sosial itu melelahkan, ujar Ika. Seseorang yang mencari tahu itu sebenarnya mencari efek meledaknya atau puncaknya. Kalaupun tidak meledak sebenarnya masih ada masalah yang mengganjal.
Jejaring sosial berpotensi merusak hubungan pasangan suami istri sebab pasangan tidak tahu kalau ranah pribadinya sedang dimata-matai. Selain itu, komunikasi di jejaring sosial bisa lebih intens dibandingkan berkomunikasi di dunia nyata.
Tindakan memata-matai atau berbagi kata sandi itu bisa bermasalah ketika seseorang tidak sepaham. Kalau salah satunya tidak mau memberikan kata sandi, maka bisa timbul percekcokan. Atau salah satu memblok akun jejaring sosial pasangan, bahkan berpisah karena lelah diteror.
Perlu VS Tidak Perlu
Di dalam suatu hubungan tentu ada ranah-ranah pribadi yang perlu dijaga. Suami atau istri sebenarnya tidak perlu salling terbuka. Ada kalanya setiap individu ingin merasa sendiri dan tidak ingin terbuka pada siapapun bahkan pasangan. Sebaiknya wajar kalau setiap pasangan punya ranah pribadi untuk menghindari adanya kecurigaan. Berikan informasi sewajarnya dan berkaitan dengan pasangan.
Bertukar kata sandi dengan pasangan dapat dikatakan perlu ketika ia meminta Anda untuk membalaskan pesan penting. Namun memiliki banyak kerugian. Ketika ada masalah, sebaiknya dekatilah pasangan dari dunia nyata bukan dari dunia maya.
Namun, Ika juga menyarankan apabila pasangan memata-matai akun jejaring sosial Anda, cukup tanyakan, "Apa yang kamu mata-matai dari saya?" Misalnya dia jawab, "Ya, aku tidak yakin kalau kamu...." Katakan saja kalau sebenarnya yang ia khawatirkan itu tidak ada. Jika pasangan masih belum percaya, tanyakan apa yang harus Anda perbuat, apakah harus memberikan kata sandi? Kalau iya, berikanlah dan buktikan Anda tidak menyembunyikan apapun.
Keharmonisan suami dan istri membutuhkan usaha, Anda dan pasangan tidak bisa saling memaksakan kehendak. Kalau pasangan sedang goyah karena merasa kepercayaannya sudah dirusak, perbaiki hubungan dengan menunjukkan usaha nyata.
Advertisement
SURVEI! Perempuan Cenderung Lebih Penasaran
Hasil studi Retrevo yang ditulis Huffington Post, pada 1000 orang dari berbagai gender, umur, penghasilan, dan lokasi di AS. 33 persen perempuan dan 30 persen pria mengaku periksa e-mail dan tab history telepon pasangan tanpa diketahui. Situs Socyberty yang mengutip China Daily dari survei perusahaan komunikasi Australia mengungkapkan satu dari tiga perempuan (dari 500 perempuan berusia 18-29 tahun) memeriksa SMS pasangan. Situs ini juga melansir harian Telegraph tentang penelitian pada 920 pasangan oleh London School of Economics di Inggris. Sebanyak 14 persen istri memerika e-mail suami diam-diam, 13 persen istri memeriksa SMS suami, 10 persen memeriksa history web browser di komputer suami. Data lain 8 persen suami mengaku memeriksa e-mail istrinya, 6 persen diantaranya memeriksa SMS istrinya, dan 7 persen memeriksa history web browser istrinya.