Sukses

Lifestyle

Kado Terakhir dari Alawy

Alawy Yusianto Putra (16) adalah siswa kelas X-8 SMA Negeri 6 Jakarta. Di sekolah, ia dikenal sebagai anak yang ceria, humoris, jahil dan aktif dalam ekstrakurikuler seni. Tidak pernah sehari pun dilewatinya tanpa usil kepada teman satu sekolahnya. “Ia suka menempel tulisan di punggung temannya terus kabur,” ujar Adam, teman sebangku Alawy mengenang. Senin terakhir di bulan September lalu, adalah hari pertama Alawy mengikuti pekan ujian awal semester gasal. Tidak ada yang menyangka kalau hari itu juga menjadi hari terakhirnya di sekolah sekaligus hari terakhir hidupnya. Pagi itu, Adam menangkap ada sesuatu yang tidak biasa. Cara Alawy bicara tidak seceria biasanya. “Alawy itu kalau bicara biasanya selalu melihat ke atas, tapi hari itu tumben sekali ia bicara dengan melihat ke arah bawah. Selain itu, tidak tahu maksudnya apa, Alawy sempat mengatakan bahwa ia bosan dan ingin segera pulang,” kata Adam.

Hari itu seperti biasanya, setelah makan siang di daerah bunderan mahakam sepulang sekolah, Alawy bergegas mengambil motor yang diparkirnya di depan minimarket terdekat untuk menuju tempat latihan futsal di daerah Permata hijau. Tanpa diduga, tiba-tiba dari arah utara bunderan mahakam, puluhan pelajar datang membawa berbagai benda tajam seperti bambu, pedang, dan celurit. Mereka menyerang tanpa sebab yang pasti. Bunyi deru lalu lalang kendaraan dengan sekejap berganti teriakan dan derap kaki berlarian mendekat. Spontan Alawy meninggalkan sepeda motornya dan berlari menyelamatkan diri. Namun malang, tanpa diduga sebuah benda tajam menusuk tubuhnya dari belakang. Seketika seragam putihnya memerah. Dengan menahan sakit,, ia memegang dadanya yang bersimbah darah sembari tetap berupaya lari menyelamatkan diri. Wajahnya pucat. Langkah kakinya pun melambat. Tubuhnya lalu sempoyongan. Dalam usaha pelariannya, Alawy pun jatuh di ujung trotoar yang membelah jalan Mahakam.

”Alawy jatuh. Alawy jatuh!” teriakan itu menggema di tengah kisruhnya suasana tawuran. Menurut Adam, konsentrasi kedua belah pihak sempat terpecah mendengar teriakan itu. Para siswa SMA Negeri 6 lainnya juga berlarian dari arah sekolahnya menuju tempat kejadian. Bentrokan semakin memanas. Namun dengan sigap dua orang teman Alawy segera membawa Alawy ke Rumah Sakit Muhammadiyah, Taman Puring, Kebayoran Baru. Sayangnya, sesampainya di rumah sakit, nyawa Alawy tidak bisa terselamatkan.

(GH/yel)

Tanpa Firasat Buruk

Di saat yang bersamaan, di tempat berbeda, Ayah Alawy, Tauri Yusianto (49) bekerja seperti biasanya. Ia tengah melakukan aktivitasnya sebagai wiraswasta agen minuman ringan saat menerima kabar tak mengenakan tentang putra bungsunya. Tauri bertutur saat menerima kabar melalui telepon awalnya ia menyangka Alawy kecelakaan. Terkejut dan panik menguasai dirinya.

Dengan segera ia bergegas menuju rumah sakit. Selama perjalanan, tidak henti-hentinya telepon berdering dari guru-guru dan teman-teman Alawy. “Maaf bapak, saya tidak bisa menjelaskannya di telepon. Lebih baik bapak segera tiba di rumah sakit,” ujar salah seorang kawan Alawy, ketika telepon diangkat dan Tauri menanyakan bagaimana keadaan Alawy. Kedua kalinya telepon diangkat, seorang guru juga mengatakan hal yang serupa. “Saya jadi semakin panik. Dua orang yang berbeda mengatakan hal yang sama jika saya menanyakan keadaan anak saya,” kata Tauri.

Sesampainya Tauri di rumah sakit, suasana begitu mencekam, dipenuhi isak tangis dari para teman dan guru-guru Alawy. Mereka mendatangi dan memeluk Tauri dengan tangis sambil berucap maaf. “Saat itu saya sudah merasa bahwa anak saya tidak selamat,” kenangnya sedih.

Tauri diantar masuk ke dalam ruang jenasah oleh guru dan dokter untuk melihat jasad anak laki-laki semata wayangnya. Kakinya mulai lemas melihat tubuh yang tertutup kain kafan. Ketika kain kafan mulai dibuka sekujur tubuhnya lunglai seketika. “Rasanya ingin pingsan melihat wajah itu membiru. Bekas tusukan itu ada di dada tubuh Alawy yang sudah terbujur kaku. Saya berteriak dan menangis sekerasnya,” tutur Tauri.

Tauri berbicara seolah menggambarkan hatinya. Suaranya tercekat, sisa kesedihan nyata terdengar. Ia mengaku sempat merasa sangat marah dan merasa ini semua tidak adil. Tauri sempat berteriak dalam hati, “Dosa apa ya Tuhan, hingga Engkau mengambil anakku seperti ini?”

Dua hari sebelum kepergiannya, Alawy beserta kakak dan ibunya sempat memberikan kadi spesial bagi Ayahnya yang berulang tahun. “Di ulang tahun saya kali ini saya mendapatkan dua kejutan. Pertama, sebuah lilin dan sepasang sepatu yang ternyata menjadi kado terakhir dari Alawy. Kedua, berita duka cita ini,” ungkapnya pahit. Namun sebenarnya tidak ada firasat buruk yang dirasakan keluarga.

Hanya pesan singkat kepada ibunya yang disadari sebagai pesan terakhir Alawy. “Ma, minggu ini akan ada gebrakan dari aku. Tunggu saja,” cerita Tauri. Mendengar perkataan Alawy, ibunya mengira bahwa gebrakan itu berupa berita gembira akan prestasinya di sekolah ataupun bersama band-nya. Ternyata, gebrakan itu diyakini sebagai kabar dirinya yang mengegerkan.

Setelah kepergiannya, tidak ada lagi anak yang minta dibuatkan sayur asem dan ayam goreng yang menjadi makanan favoritnya. Tidak ada lagi bunyi tabuhan drum yang mengganggu Yunita (19) kakaknya yang sedang belajar. Yang ada hanya kenangan manis yang akan selalu dikenang. Bukan hanya keluarga yang kehilangan. Adam, teman Alawy pun merasakan hal yang sama. “Sekarang sudah tidak ada teman yang bisa diajak bercanda dan belajar bareng. Anehnya, hingga saat ini saya merasa ia ada. Bahkan setiap tiba di kelas, saya selalu berpikir, Alawy belum datang. Kemudian teringat, bahwa ia sudah tidak ada,” kenangnya.

Segitaga Sama Sisi

Pihak sekolah pun tidak tinggal diam atas tragedi yang menimpa siswanya. “Sebagai warga negara yang patuh hukum, kami menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian,” ujar Dra. Hj. Etty Ekowati, Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 6 Jakarta. Piket guru-guru yang bekerja sama dengan kepolisian di sekitar sekolah juga terus dilakukan. Himbauan kepada siswa juga terus diteriakkan agar mereka tidak dendam, karena tidak akan menyelesaikan masalah. Penyebab tawuran pun hingga kini belum diketahui. “Siapa yang dibela dan karena apa anak-anak melakukan tawuran. Kejadian yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini sangat sulit dicari akar masalahnya,” ujar Etty.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab? “Anak bukan tanggung jawab sekolah saja. Konsep pendidikan bagi anak bagaikan segitiga sama sisi, yaitu ada orangtua, sekolah, dan pihak masyarakat yang di dalamnya juga ada pemerintah. Ketiganya saling mendukung untuk menciptakan pendidikan berkualitas,” ujar Etty. Tidak sedikit orangtua yang mulai cemas dan menganggap bahwa sekolah bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi anak untuk menimba ilmu. “Wajar jika mereka was-was. Proteksi yang dilakukan orangtua memang hak mereka. Namun anak-anak masih berhak mengembangkan dirinya di tempat yang diinginkan,” kata Etty.

Harus ada pihak yang dapat menyudahi tradisi tawuran ini. Jika tidak, akan ada korban selanjutnya. Jangan biarkan generasi muda belajar bahwa kekerasan cara paling efektif memecahkan masalah. Tauri berharap ada keadilan yang setinggi-tingginya dan dapat menjadi pembelajaran bagi pelajar lainnya.

Hindari Sikap Otoriter

Sangat tidak bijak mengatasi ketakutan akan kenakalan tawuran dengan pindah sekolah. Yang harus dilakukan adalah mengatasinya, seperti penyakit yang harus diobati agar tidak menjalar. Memindahkan ke sekolah lain sama artinya dengan membiarkannya bukan mengatasinya.

Tanamkan nilai positif yang kuat dan prima agar mereka tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan di luar rumah. Ajarkan anak Anda untuk bersikap demokratis dengan mendengarkan pendapat mereka dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengembangkan diri sesuai minat yang mereka inginkan.

Kenal dan selami dunia mereka. Arahkan anak-anak Anda dengan pendekatan yang hangat dan bukan dengan sikap otoriter apalagi kekerasan. Ajarkan juga mereka untuk mematuhi aturan. Hal tersebut bisa dimulai dari dalam rumah dengan memberikan sanksi jika melanggar. Nilai-nilai agama yang kuat pada diri anak juga akan berpengaruh pada dirinya kelak. Prof. Dr. H. Arief Rachman, M. Pd, Pakar Pendidikan. [initial]

Source: GoodHouseKeeping, Edisi November 2012, Halaman 61

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading