Kisah ini diceritakan oleh sahabat kami, Fitri. Saat ini Fitri bekerja di salah satu kantor berita, usianya 23 tahun.
***
Saat kecil, seperti anak-anak yang lain, aku selalu dekat dengan ayah dan ibu. Semua hal aku ceritakan pada mereka. Aku sering memeluk mereka, mencium pipi mereka, begitu juga sebaliknya. Hingga tahun demi tahun, usiaku bertambah. Seperti ada penghalang tak terlihat yang membuatku semakin jauh dari ayah dan ibu.
Advertisement
Entahlah, mungkin karena dorongan masa puber, bahwa aku bukan anak-anak lagi, aku bebas menentukan apa yang aku mau. Saat usiaku masih 14 atau 15 tahun, aku merasa kedua orang tuaku terlalu mengatur, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Anak puber menjelang remaja punya emosi yang belum stabil, akupun demikian, aku tidak suka diatur, bahkan oleh orang tuaku sendiri.
Hal ini terus berlangsung hingga aku duduk di bangku SMA. Setiap pulang ke rumah, aku langsung masuk ke kamar, memutar musik dengan suara keras. Aku hanya keluar kamar untuk mandi atau ke toilet. Bahkan aku baru mau makan jika tidak semeja dengan orang tuaku. Aku menghindari mereka, aku malas diceramahi, aku malas dilarang-larang, aku tidak peduli dengan mereka. Bahkan saat ayah mengatakan ingin bicara, aku cuek saja. Kehidupanku terus begitu hingga menjelang hari kelulusan SMA.
Pada suatu malam, aku tidak sengaja satu meja makan dengan ayah. Aku tidak berani memandang matanya, atau lebih tepatnya, aku tidak peduli dengan ayah. Entah kenapa, aku membenci suasana pada saat itu.
"Kamu tidak apa-apa, nak?" tanya ayah.
Aku menjawab tanpa menatap wajahnya, bahwa aku tidak apa-apa.
"Setiap malam, setelah ayah pulang dari kantor, kamu selalu berada di dalam kamar," lanjut ayah, aku mendengar ada getar dalam suaranya, seperti bukan ayah yang dulu sering bermain bersamaku. "Fitri, ayah kangen dengan anak perempuan ayah yang dulu. Sekarang kamu seperti menjauh dari kehidupan ayah dan ibu,"
Aku masih belum berani menatap ayah. Setelah beberapa saat, aku mendengar isak tangis. Ayah yang selama ini aku anggap sebagai pria yang sekuat baja, ternyata bisa mengeluarkan air mata. Aku tidak kuasa untuk tidak melihat wajahnya. Aku seperti tertampar, ayah benar-benar menangis hingga pipinya basah.
Selama 17 tahun, aku tidak pernah melihat ayahku menangis. Aku bisa melihat gurat lelah di wajahnya, penderitaan dalam matanya, dan itu semua karena aku. Aku menjauhi kedua orang tuaku tanpa alasan yang jelas. Rasanya dadaku sesak melihat wajah ayah. Semua ini salahku. Aku tahu bahwa ini adalah salahku.
Dengan tenggorokan seperti tercekat, aku memberanikan diri untuk mengucapkan beberapa kata. "Jangan menangis ayah, maafkan aku," ujarku dengan suara terbata-bata. Tanpa terasa, ada air mata yang meleleh di pipiku.
Tahun demi tahun terbuang begitu saja. Ayah bercerita bahwa dia merindukan aku yang dulu, yang selalu bercerita ini dan itu, yang selalu memeluk ayah, yang tidak pernah lupa hari ulang tahun ayah dan ibu. Air mataku semakin deras mengalir.
Aku dan ayah sama-sama menangis. Lalu ayah meminta maaf karena dia menangis di depanku, seharusnya seorang anak tidak menangis di depan anaknya. Aku menggeleng, ayah tetaplah ayah, manusia yang punya hati. Dan aku telah menyakiti hatinya teramat dalam.
Sejak saat itu, aku menyesuaikan diri dengan keluargaku. Aku yang tadinya tidak peduli mulai menanyakan kabar ayah, pekerjaannya, juga ibu, aku baru menyadari bahwa rambut mereka semakin putih, semakin banyak kerutan di wajah mereka.
Aku tidak ingin melakukan hal yang sama sekali lagi. Aku tidak tahu sampai kapan umurku, juga umur kedua orang tuaku. Aku akan memperlakukan mereka dengan baik. Syukurlah, hubungan keluarga kami semakin membaik hingga saat ini. Rumah kami kembali diisi canda dan tawa, ayah dan ibu semakin sehat dan terlihat muda. Kami semua bahagia.
Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi sahabat Vemale. Jika ada kerenggangan dengan orang tua, kenapa tidak merekatkannya kembali, selalu ada kebahagiaan di sana, bila kita mau mengupayakannya.
(vem/yel)