Menikah di usia muda itu sama sekali bukan kesalahan. Satu-satunya hal yang salah adalah aku menikah karena gengsi, karena aku takut disebut perawan tua. Karena teman-teman seusiaku juga sudah ribut menikah. Dan karena aku inginkan status itu segera melekat sehingga aku tak jadi bahan pembicaraan orang.
Dan keputusan yang terlalu terburu-buru itu salah besar.
Tahun pertama menikah, kami dikaruniai anak di usia yang sangat muda, 23 tahun. Bagiku ia adalah segalanya, aku sangat menyayanginya dan tak ingin hal-hal buruk terjadi padanya.
Advertisement
Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu sibuk, aku beruntung karena suamiku sudah mapan, punya rumah besar dan pekerjaan tetap yang penghasilannya lebih dari cukup. Kegiatanku sehari-hari mengurus anak dan rumah tangga. Sayangnya, di tahun kedua pernikahanku, aku mulai jenuh. Aku bosan. Aku iri dengan teman-teman lain yang masih bisa sekedar nongkrong di mall, mereka yang tak harus ribet mengurus anak dan bisa pulang pergi kapanpun mereka mau. Sedangkan aku, waktuku tersita untuk anakku, Pita. Aku merindukan kebebasanku.
***
Anakku sudah selangkah lebih dewasa, sudah 3 tahun usianya, mulai banyak bertanya, dan pertanyaan itu seringkali membuatku lelah. Ia suka berlarian di dalam rumah. Membuat semua mainannya berantakan dan berserakan di mana-mana. Ia ceria, namun juga sekaligus membuatku pusing. Makannya lama, dan tak mudah dibujuk. Melakukan apa-apa tidak pernah bisa cepat. Dan aku merasa ia menghabiskan waktuku :(
Sekali lagi, aku merindukan kebebasanku.
***
Suatu hari aku bertemu seseorang di akun Facebook. Kami jadi rutin berbincang lewat SMS, telepon dan chatting. Hari-harikupun berubah, rasanya lebih berwarna. Aku merasa kembali seperti dulu. Aku jatuh cinta kepada pria ini (namun aku juga masih mencintai suamiku).
Suamiku adalah sosok pekerja keras, tidak romantis (menurutku), tidak pernah mengungkapkan cintanya lewat kata-kata manis (padahal seharusnya aku bisa merasakan itu lewat sikap dan tanggung jawabnya). Dan dia jauh berbeda dari pria yang baru kukenal ini. Sikapnya hangat, selalu menghujaniku dengan pujian. Setiap saat mengatakan ia rindu padaku, melarangku pergi ke sini da ke situ. Membuatku tersipu, serta membuatku merasa menjadi wanita seutuhnya (yang padahal tanpa kusadari aku sudah menjadi wanita utuh yang bahagia bersama Pita dan suamiku.)
***
Pita mulai bersekolah di sebuah playgroup. Setiap pagi ia tampak bermalas-malasan dan seperti biasa ia lambat melakukan segala hal. Emosiku mulai tak terkontrol. Aku jadi sering memarahinya, meninggikan suaraku (mungkin semua tetangga juga sering mengeluh), dan meneriakinya seperti ia telah menjadi sebuah kesalahan besar di hidupku. Demikianlah setiap harinya, semakin hari suaraku semakin menjadi-jadi.
Suamiku tampaknya menyadari perubahanku, ia pernah mengajakku berbicara dan bertanya apakah yang sedang terjadi? Apakah aku terlalu lelah? Stres? Namun ia sangat bijaksana, tak pernah memarahiku di depan anakku, karena menurutnya anakku juga harus menurut pada ibunya. Aku mengatakan padanya, aku tak apa-apa, dan dia memberikan kepercayaan penuh sebagai ibu kepadaku.
***
4 Januari 2011,
Pria yang sedang dekat denganku mengajakku untuk copy darat, dan akupun tak sabar ingin bertemu dengannya. Aku rindu padanya. Dan aku tak ingin hanya sekedar saling berkirim foto saja.
Siang itu, Pita begitu manja. Langkah kakinya lambat dan emosiku mendadak memuncak. Aku meneriakinya sepuas hatiku. Melampiaskan semua emosi yang beberapa tahun terakhir ini menumpuk. Mengeluarkan semua unek-unek pada anak kecil yang langkah kakinya pendek-pendek itu. Ia bahkan tak tahu, mengapa aku bisa sebegitu marah kepadanya, hanya karena ia ingin dipeluk dan bermanja di pangkuanku. Aku sudah sangat ingin bertemu kekasih gelapku. Hari itu setelah puas aku melampiaskan emosiku aku pergi, dan Pita kubiarkan tidur di kamarnya.
***
Masih teringat jelas di benakku setiap kejadian detail 4 Januari itu. Hari di mana anakku Pita menghembuskan nafas terakhirnya. Tak ada sakit yang dideritanya, ia tertidur pulas untuk selamanya sambil memeluk boneka kesayangannya. Dokter hanya menyatakan, ia pergi karena sudah 'waktunya'. Dari hasil pemeriksaan terakhir, ia tak memiliki penyakit kronis apapun. Ia benar-benar pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Kejadian itu seolah memukulku begitu keras. Aku selama ini mengeluhkan langkah kakinya yang lambat, menyeretnya agar ia berjalan lebih cepat. Tetapi, itu semua karena ukuran kaki anak-anaknya yang memang tak selebar langkah kaki orang dewasa.
Aku yang selama ini meneriakinya karena ia enggan makan ini dan itu. Tetapi, itu semua karena aku kurang kreatif dan kurang bisa membujuknya dengan menu makanan sehat yang sudah kusiapkan.
Aku yang selama ini membentaknya karena ia lambat melakukan apa-apa. Hey... ia adalah seorang anak kecil, yang harus diberi contoh bukan diteriaki dengan penuh emosi.
Aku yang selama ini haus perhatian, kasih sayang dan pujian. Namun pada anak dan suamiku saja, aku tak pernah memberikannya. Bagaimana aku bisa mendapatkan perhatian, kasih sayang dan pujian bila aku tak pernah memberikannya terlebih dahulu?
Aku yang selama ini melakukan semua karena takut dinilai orang. Yang melakukan semua hal karena gengsi semata. Seharusnya aku berpikir lebih panjang dan dewasa. Dan menjalani semua penuh dengan tanggung jawab selayaknya orang dewasa.
Anakku Pita, maafkan ibu, nak. Terima kasih banyak atas kehadiranmu yang sekejap. Terima kasih untuk setiap langkah kecilmu yang membuat ibu sadar bahwa kau adalah anak kecil yang butuh dihujani dengan perhatian dan kasih sayang, bukan limpahan emosi dan keegoisan ibu semata. Ibu berjanji akan menjadi istri dan ibu yang jauh lebih baik dan lebih siap. Yang tidak akan protes karena langkah-langkah kecil kaki adik-adikmu. Yang tidak akan mengeluh karena ayahmu tak pernah mengatakan rindu, karena ia selalu datang tepat waktu. Yang tak akan pernah mengeluh bagaimana repotnya menjadi ibu rumah tangga, sementara teman-teman ibu masih menantikan pasangan hidupnya. Yang tak akan berteriak keras di saat adik-adikmu enggan menyantap makanan yang mungkin mereka sudah bosan. Yang tak akan menghukum dengan keras saat adik-adikmu melakukan kenakalan anak-anak. Yang akan selalu mencintai ayahmu dan adik-adikmu.
Peluk hangat untukmu, Pita. Langkah kecilmu, selalu ada di hati ibu.
(vem/bee)