Vemale.com-
Saat Kairo tengah dihadapkan dengan konflik internal yang begitu mencekam, Lyndsey Shepherd, 26, harus memilih apakah ia tetap membangun kisah cintanya dengan sang tunangan, atau ia malah kembali ke negara asalnya?
Tidak pernah terbesit oleh saya untuk menemukan cinta di negara lain, hingga menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Ya, bisa dibilang saya termasuk wanita yang simpel dan tidak macam-macam, begitu juga dengan kriteria mencari sosok Mr. Right. Karena buat saya, menemukan cinta sejati itu bukan dilihat dari rentetan persyaratan yang dilayangkan kepada sejumlah pria, tapi justru dari rasa nyaman dan feeling kuat yang didapat yang akan jadi kunci sukses mencari sang pujaan hati.
Advertisement
Tapi nyatanya, saat saya didekati oleh pria, yang saya lakukan hanyalah diam dan tidak memberikan feedback apapun. Karena saya adalah tipikal wanita yang sangat tertutup.
Ah, enough! Lupakan sejenak soal gambaran pria idaman, karena yang menjadi fokus sekarang ini adalah saya ingin menjajal beragam pengalaman seru di negara yang berbeda. Berlibur serta meninggalkan rutinitas saya sebagai pengajar Bahasa Inggris! Saat tengah mencari destinasi untuk berlibur, tiba-tiba adik saya spontan mengatakan, “Apakah kamu sempat terpikir untuk pergi ke Mesir?”
Tanpa berpikir panjang, ia pun sukses membuat saya berkata iya. Tak lama, kami merencanakan perjalanan selama dua minggu, memesan tiket pesawat, dan menyewa apartemen yang menawarkan tour guide untuk menemani kami berkeliling di Mesir. And voila! Semua pun terencana dengan seksama.
Sehari sebelum penerbangan, excitement kami kian menggebu-gebu. Bagaimana tidak? Terbang beribu mil dari negara asal kami tidak mematahkan semangat untuk pergi menikmati atmosfer yang berbeda. Merasakan hempasan pasir dan suhu yang kerap mencapai 40 derajat celcius (bahkan lebih), menjadi challenge tersendiri buat kami. Apalagi dengan objek pariwisata yang tak kalah menariknya! Sesaat sampai di airport, kami langsung disapa oleh pemandu wisata...yang sangat menarik perhatian saya.
Pria yang memiliki bola mata berwarna cokelat, dan berwajah tampan itu bernama Eslam, berusia 22 tahun. Ia menyambut kami dengan ramah, dan langsung menawarkan diri untuk membantu mengangkat barang-barang bawaan kami. Di saat itu juga perasaan kalau ia akan menjadi sosok yang penting bagi kehidupan saya pun terasa begitu kuat.
But back to reality, saya tidak mengunjungi Mesir untuk menemukan soul mate. Jadi, saya tetap fokus dengan ekspedisi kami, untuk melihat sebanyak mungkin barang-barang pra sejarah yang ada di sana. Selama beberapa hari ini, Eslam mengantarkan kami ke beberapa tempat yang (selama ini) hanya bisa melihatnya di televisi. Seiring perjalanan, ia begitu perhatian dan baik hati, sepertinya ia benar-benar tulus menemani kami untuk berkeliling di negeri piramida tersebut.
Merasakan ada percikan-percikan chemistry, di suatu malam ia pun memberanikan diri untuk mengajak saya melihat pemandangan Kairo di malam hari. Sontak, saya sangat terkejut kala mendengarnya. Sebenarnya saya ingin sekali menerima ajakannya, tapi yang terlontar malah kata tidak. Pergi bersama keluarga dan memiliki affair dengan pria yang notabene berasal dari belahan dunia yang berbeda? Hmm, sepertinya hal itu bukan ide yang baik.
Setelah dua minggu kami bertemu dan (hampir) menghabiskan waktu lebih dari 12 jam setiap harinya, akhirnya Eslam pun mengantarkan kami menuju ke airport. Sedih rasanya harus meninggalkan dirinya. Sebelum menuju ke boarding room, ia berjanji untuk tetap keep in touch dengan saya. Saat berpisah, saya dan Eslam pun tak lupa bertukar alamat email dan nomor telepon. And again, i got the sense we would see each other again...SOON. [initial]
Bagaimana kisah cinta mereka selanjutnya? Silakan baca: Karena Cinta, Saya Rela Tinggal di Negara Konflik II
Source: Cosmopolitan Edisi Mei, halaman 203
(cosmo/yel)