Vemale.com - Chatty Chant: Sophia Hage
Chantal Della Concetta (Ch): Saat orang berlomba-lomba menjadi dokter demi menumpuk kekayaan, Sophia justru sibuk terlibat dalam kegiatan sosial. Apa yang menjadi 'panggilan' Sophie?
Sophia Hage (SH): "Kedengarannya klise, but it's true. Saya termasuk orang yang percaya bahwa masing-masing dari kita punya peran dalam dunia ini. Dan saya menemukan kebahagiaan ketika saya dapat menolong orang atau membantu orang, bahkan di hal terkecil sekalipun. Pada akhirnya hal yang mendorong saya adalah keinginan untuk berguna bagi orang lain melalui apa yang saya perbuat, bahkan mungkin setelah saya tak ada di dunia ini. Saya ingin berusaha sebaik mungkin to leave my mark in the world and try to make it better. Oleh karena itu, saya akhirnya memutuskan menjadi dokter karena merasa bahwa dalam posisi ini saya lebih berpeluang membantu menyampaikan pesan yang bermanfaat bagi orang banyak.
Advertisement
Ch: Lentera, sebuah support grup untuk para penyintas atau survivor tindak kekerasan. Dari sekian banyak issue, kenapa secara spesifik Sophie memilih untuk terlibat di Lentera?
SH: Ini berkaitan erat dengan keyakinan saya bahwa setiap orang patut hidup bebas dari dominasi dan kekerasan. Trauma mengubah hidup seseorang. Tetapi kebanyakan penyintas kekerasan seksual bahkan tidak bisa mengakui bahwa mereka mengalaminya. Saat memulai gerakan ini, bersama Wulan Danoekoesoemo (psikolog klinis) dan Venus (blogger), kami melihat banyak penyintas kekerasan seksual yang sebenarnya menderita sendirian karena begitu banyak stigma masyarakat yang dilekatkan pada mereka. Tidak jarang justru mereka yang disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka.
Terlebih lagi isu kekerasan seksual merupakan masalah yang tidak mengenal batas, dapat terjadi pada siapa saja, terlepas dari kelas sosial, gender, usia, dan lain lain. Berdasarkan insiden yang waktu itu memicu lahirnya Lentera Indonesia (memetwit yang membuat perkosaan sebagai bahan bercandaan), saya melihat bahwa banyak sekali orang yang berpikir bahwa hal ini adalah hal yang sepele dan lebih dikaitkan dengan seks daripada kekerasan. Padahal, perkosaan adalah bentuk kekerasan, bentuk dominasi, bukan hubungan seks semata.
Sedih sekali melihat penyintas saat ini masih harus berhadapan dengan stigma tersebut, sehingga tidak mengejutkan apabila akhirnya mereka memilih diam dan tidak bercerita kepada siapapun, menyimpan lukanya sendirian, padahal yang dibutuhkan adalah memulai pemulihan atas trauma yang terjadi. Ketika itu, kami melihat belum ada kelompok dukungan (support group) seperti Alcoholic Anonymous di Indonesia untuk isu ini, padahal para penyintas pasti akan merasa lebih aman bercerita dengan seseorang yang memahami apa yang terjadi pada dirinya karena yang mendengar juga pernah mengalami. Dari situlah saya memutuskan untuk membantu sebisa saya dalam mewujudkan kelompok dukungan (support group) ini dengan harapan hal ini dapat menjadi salah satu dari sekian banyak aspek yang membantu para penyintas.
Jadi, isu kekerasan seksual adalah sesuatu yang penting bagi saya. Masih banyak hal yang dapat dan perlu dikerjakan di sini, dan semakin banyak yang berperan dalam isu ini semakin baik karena tidak mungkin melakukan perubahan apabila tidak terjadi kerja sama antar banyak pihak.
Ch: Boleh ceritakan keterlibatan Sophie di Lentera seperti apa?
SH: Saat ini, selain sebagai salah satu co-founder, saya juga bertanggung jawab atas program Public Awareness Lentera. Jadi, salah satu pilar Lentera selain menyediakan 'safe place' dan membantu pemulihan bagi penyintas adalah meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu kekerasan seksual. Hal ini kita lakukan melalui seminar, talkshow, workshop ataupun aksi kampanye online maupun offline. [quote]
Contohnya adalah talkshow yang kita lakukan tanggal 21 April 2012 di FX bekerja sama dengan ngerumpi.com. Topik yang kita angkat kali ini adalah Abusive Relationship. Alasan kita mengangkat topik ini adalah karena tidak jarang orang-orang yang berada dalam hubungan yang abusive (baik fisik maupun mental) beresiko mengalami kekerasan seksual ataupun merupakan penyintas kekerasan seksual sebelumnya. Menyadari bahwa dirinya saat ini berada dalam hubungan yang abusive merupakan langkah pertama untuk keluar dari hubungan tersebut, sebaliknya mengetahui hubungan seperti apa yang bersifat abusive dapat membantu seseorang untuk menghindari hal tersebut terjadi padanya.
Ch: Bukan hanya di Indonesia, di negara maju seperti Amerika saja penyintas masih dianggap sebagai penyebab tindak kekerasan. Bagaimana Sophie menyikapi tantangan ini?
SH: Isu ini memang sesuatu yang terjadi lintas negara, lintas budaya. Sampai saat ini kekerasan seksual begitu erat asosiasinya dengan aspek seksual, sehingga bagi masyarakat lebih mudah untuk menghakimi penyintas daripada mengkaji aspek lain. Padahal daripada aspek seksual, hal ini lebih erat dengan dominasi, kekerasan dan kontrol. Sejak pertama kali saya memutuskan masuk ke dalam isu ini, saya sudah menyadari betapa banyak tantangan yang akan dihadapi. Stigma dan pola pikir masyarakat bukan sesuatu yang mudah diubah, tetapi hal ini bukan sesuatu yang mustahil. Maka saya percaya perubahan dapat dimulai dari diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita, dalam hal ini dari Lentera Indonesia. Perubahan tidak terjadi begitu saja, tetapi terjadi perlahan-lahan dari hal yang paling kecil. Mudah-mudahan ini akan menjadi awalan untuk menjawab tantang besar tersebut.
Ch: Respon dari para penyintas yang ikut kegiatan sharing Lentera seperti apa? Apa manfaat yang mereka rasakan?
SH: Respon mereka sejauh ini cukup bagus. Ada yang melalui kelompok dukungan Lentera akhirnya memulai proses pemulihan setelah bertahun-tahun tidak pernah mengakui bahwa hal tersebut mempengaruhi hidupnya tanpa ia sadari. Dengan mengakui bahwa mereka mengalami kekerasan seksual, merupakan langkah pertama pemulihan. Rasa keamanan dan kenyamanan berbagi cerita dalam lingkaran yang terpercaya juga sangat membantu mereka dalam memulai pemulihan. Contoh simpel, apabila kita mengalami masalah dan bercerita atau curhat pada teman terpercaya kita, setelah itu biasanya ada rasa lega dan kepercayaan diri bahwa masalah tersebut dapat dilewati, bukan?
Prinsip umum ini juga terjadi pada kelompok dukungan. Dengan bercerita, ada kelegaan dan kepuasan tertentu sehingga proses pemulihan dapat berjalan kemudian. Kami pun tidak memaksa penyintas untuk terus datang dan tidak ada ikatan apapun yang mengharuskan mereka untuk bercerita. Apabila mereka hanya ingin datang dan mendengar yang lain bercerita pun tak apa. Satu hal yang saya pribadi lihat adalah bahwa kekuatan untuk pulih dapat datang dari diri sendiri ataupun dari orang lain. Melalui bentuk kelompok dukungan, hal ini benar-benar nyata. Tentunya setiap orang pasti memiliki preferensi mereka sendiri dalam menjalani pemulihan (to each person their own 'drugs'). Ada juga yang merasa lebih nyaman mengikuti konseling pribadi (one-on-one). If it's not their cup of tea, it's okay.
Ch: Sophie juga aktif dengan gerakan 'Selamatkan Ibu'. Apa yang Sophie lakukan di sini?
SH: Melalui Selamatkan Ibu saya mengajak partisipasi aktif masyarakat untuk ikut berperan dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia menempati posisi pertama dalam tingkat AKI di Asia. Ketika saya membentuk Selamatkan Ibu bersama dr.Adirahman dan dr. Aditya, kami percaya bahwa ada cara untuk membantu menurunkan AKI. Kami akhirnya melakukan edukasi dan promosi mengenai kehamilan yang sehat kepada masyarakat supaya terjadi penurunan resiko komplikasi saat persalinan. Di luar dari saran dan prasarana (yang saat ini belum dapat disentuh Selamatkan Ibu), kami berharap dengan mengedukasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai duta bagi keselamatan ibu, akan terbentuk suatu tingkat kesadaran masyarakat mengenai isu kesehatan ibu Indonesia.
Edukasi adalah kunci dari perubahan. Konsep inilah yang saya angkat di Selamatkan Ibu. Dengan edukasi, masyarakat akan terbekali dengan pengetahuan yang dapat membantu pengambilan keputusan yang lebih bijaksana. Dalam hal AKI, pengetahuan tentang kesehatan ibu hamil diharapkan akan membantu keputusan untuk melakukan hal-hal yang akan menurunkan AKI di Indonesia.
Ch: Agar seorang ibu bisa selamat dan sehat saat melahirkan, dukungan apa saja yang sang ibu butuhkan?
SH: Sebenarnya, yang paling penting dalam mengusahakan keselamatan ibu saat persalinan adalah pemeriksaan saat hamil (antenatal care/ANC). Kesadaran ibu maupun orang lain di sekitarnya, contoh paling dekat adalah suami, untuk memeriksakan kehamilan ibu sangat penting dalam memastikan terjadinya proses persalinan yang baik. Pemeriksaan kehamilan harus dilakukan minimal 4 kali. Selain itu, tentunya pola hidup yang baik, aktifitas dan nutrisi yang adekuat juga berperan penting dalam memastikan persalinan yang baik. Hal-hal tersebut di atas tentunya bukan menjadi tanggung jawab ibu saja, tetapi juga tanggung jawab suami, dan atau anggota keluarga yang lain. Dukungan semacam itulah yang diperlukan untuk membantu ibu melewati proses yang sebenarnya membahayakan hidup ini. Support system yang baik bertugas untuk mengingatkan ibu dan memastikan bahwa segala langkah yang diambil saat kehamilan bertujuan untuk mencapai persalinan yang baik.
Ch: Dengan Lentera maupun Selamatkan Ibu, ada benang merah yang saya lihat. Perempuan harus berani bersikap, berani memperjuangkan hak. Apa sikap ini akan membuat perbedaan?
SH: Pasti. Cepat atau lambat, sikap akan membawa perubahan, dimulai dari ruang lingkup paling kecil, yaitu kehidupan pribadi hingga ruang lingkup yang lebih besar, yaitu ruang publik. The first step is to take a stand. Langkah pertama dan yang paling penting adalah dengan mengambil sikap. Tentunya, setelah mengambil sikap, jangan lalu berhenti di sini. Perempuan Indonesia harus berani mengambil sikap dan bergerak atau bertindak menuju perubahan yang diinginkan.
Ch: Menurut Sophie apakah perempuan Indonesia saat ini di sudah berpikir maju atau masih dengan pola pikir masa lalu?
SH: Hal ini sayangnya menurut saya belum dapat digeneralisasikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, terlihat bahwa kaum perempuan sudah memiliki pemikiran yang maju akan perannya baik dalam masyarakat maupun dalam ruang pribadi dari hidupnya. Tetapi, di daerah perifer Indonesia, di mana perempuan masih diharapkan tinggal di rumah atau bahkan tidak perlu sekolah, jelas masih banyak pola pikir yang perlu diubah di Indonesia. Tetapi, terkadang musuh terbesar perempuan adalah perempuan itu sendiri. Seringkali kita merasa kita dibatasi oleh ekspektasi masyarakat atas peran seorang perempuan. Padahal, apabila kita berani mengambil keputusan atas hidup kita sendiri, kita dapat menjadi apapun yang kita inginkan.
Setiap hari saya terinspirasi oleh perempuan Indonesia di lingkungan saya yang berhasil menjadi sosok yang begitu maju dalam berpikir dan bertindak. Tidak sedikit yang berhasil menjadi tokoh penting dalam bidangnya masing-masing. Hal ini untuk saya menggambarkan bahwa perempuan Indonesia mulai bergerak maju dan melepaskan diri dari pola pikir konvensional.
Ch: Mandiri menurut Sophie adalah...
SH: Memiliki pendapat dan sikap sendiri, tanpa harus merasa tergantung terhadap pihak lain. Selain itu, juga mampu mengambil keputusan dan melaksanakannya tanpa terpengaruh orang lain.
Ch: Apakah perempuan harus mandiri? Mengapa?
SH: Harus. Seorang perempuan adalah tetap seorang manusia, seorang individu yang mampu berfungsi dengan sendirinya, terlepas dari ada atau tidaknya pihak lain di luar dirinya. Dalam hal ini, seorang perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki, dapat menjadi tulang punggung keluarga, dapat menjadi tokoh panutan, dan yang paling penting dapat menentukan hidupnya sendiri.
Ch: Perempuan adalah...
SH: One half of the species without which men simply can't function.
(vem/bee)