Vemale.com - Oleh: EW Andayani
Sebagai pribadi yang lemah lembut dan indah, kita sebagai wanita sering dianggap sebagai pribadi yang bisa menerima apa pun itu perlakuan pahit dan rasa tidak enak. Pahlawan perjuangan wanita Indonesia yang begitu termasyur, RA Kartini, berusaha memperjuangkan pendidikan untuk wanita. Mungkin dengan harapan, pendidikan yang mencukupi akan menjadi bekal bagi para wanita untuk membela dirinya.
Berpuluh-puluh tahun kemudian kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan mendapatkan pekerjaan bagi wanita mulai terbuka, namun revolusi ini tidak menjawab semua masalah kesetaraan gender pada wanita. Untuk urusan hati, wanita masih sering dikesampingkan dan dianggap sudah biasa jika harus menelan pendapat-pendapatnya kembali. Oleh karena itu, kali ini Vemale akan mengajak Anda untuk menilik sosok tokoh wanita yang bisa menjadi contoh perjuangan kesetaraan gender dalam diamnya, dalam keanggunannya, Gusti Nurul dari keraton Surakarta.
Advertisement
Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi museum seni dan budaya Jawa, Ullen Sentalu, di Kaliurang, Yogyakarta, dan menemukan putri keraton yang bersahaja ini dalam sejarah yang begitu kaya. Lahir pada tahun 1921, Gusti Nurul dikenal sebagai putri keraton yang modern dengan cerita hidup yang masih sangat relevan dengan kehidupan saat ini. [quote]
Sebagai putri tunggal, Gusti Nurul dilimpahi kasih sayang oleh kedua orang tuanya yang mengijinkan dia bersekolah di sekolah anak-anak pejabat Belanda. Kesempatan menimba ilmu sebanyak-banyaknya ini juga diimbangi dengan didikan ibu Gusti Nurul untuk menjadi putri keraton yang memegang adat dan kebudayaan Mataram Islam dengan taat. Keseimbangan ini menjadikan sosok Gusti Nurul sebagai putri yang cantik, pintar, modern dan berbudi tinggi.
Keistimewaan ini telah banyak dimiliki oleh wanita era modern sekarang ini, namun belum tentu sama pada penerapannya untuk menghadapi masalah-masalah pelik yang dihadapi wanita. Pada masa itu, poligami di kalangan keraton dan petinggi pemerintahan adalah hal biasa, bahkan adalah suatu kebanggaan jika bisa diperistri oleh orang-orang yang penting. Namun Gusti Nurul menolak pinangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan juga presiden Soekarno sebagai bentuk keyakinannya untuk menolak poligami.
Dasar penolakannya adalah karena Gusti Nurul menjunjung tinggi kesetaraan gender, dan poligami adalah salah satu bentuk ketidaksetaraan yang ditentang oleh Gusti Nurul. Akhirnya pilihan Gusti Nurul jatuh pada seorang perwira Angkatan Darat, dan beliau menikah di usia yang bagi wanita pada zamannya dianggap 'telat menikah'. Bagaimana dengan Anda, beranikah memegang teguh prinsip yang dimiliki walaupun zaman menentangnya dan juga Anda harus berhadapan dengan para pembesar seperti Gusti Nurul menghadapi pinangan presiden Soekarno dan Sultan Hamengku Buwono IX?
Kesetaraan pendidikan dan karir saja tidak cukup untuk Kartini-Kartini masa kini. Jika dulu nasehat 'bersikaplah seperti satria, memegang teguh prinsip dan janjinya' hanya ditujukan untuk pria, kini tidak ada alasan bagi para wanita untuk tidak menerapkan nasehat ini juga. Ya, kita setara dengan pria, termasuk dalam hal ketetapan hati dan memegang prinsip.
(vem/miw)