Vemale.com- Diceritakan langsung kepada Julie Weingarden Dubin.
Perkenalan saya dengan Tom begitu singkat. Sewaktu saya duduk di bangku kuliah di Indiana University, kami berdua dipertemukan oleh seorang teman pada tahun 2005 lalu. Sejak itu, hubungan pertemanan kami menjadi lebih intens dan sangat dekat. Hobi kami berdua kebetulan serupa, yaitu sama-sama suka bersepeda. Dan setahun kemudian, saya dan Tom merencanakan sebuah petualangan seru: mengelilingi kota tempat saya tinggal dengan mengayuh sepeda tua. Setelah beberapa kilometer dilalui, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Entah mengapa, kala saya dan Tom tengah asyik berbincang, saya baru menyadari kalau ia memiliki mata biru dan senyuman yang dapat meluluhkan hati.
Bisa dibilang hari itu adalah kencan pertama kami. Sepertinya Tom memang sengaja memilih rute perjalanan yang jauh. Suasana yang tercipta pun semakin seru ketika ia mengeluarkan jiwa kompetitifnya. Semenjak itu, kami berdua menjadi pasangan yang tak terpisahkan. Menjalani hari bersamanya benar-benar pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Rasa nyaman dan kasih sayang yang ia berikan kepada saya, begitu luar biasa. Dan pada tahun 2008, setelah saya lulus dan Tom masih tengah menuntaskan degree-nya, ia pun melamar saya! Saya terkejut dengan aksinya itu. Saya tidak menyangka kalau ia benar-benar menjadi pria yang akan mewarnai hidup saya untuk selamanya.
Advertisement
Kurang lebih selama 18 bulan, diselimuti rasa cinta yang kian bersemi, kami berdua sama-sama mewujudkan impian pesta pernikahan yang didamba selama ini. Mengucap janji di dalam gedung tua dengan nuansa sore hari, menjadi pilihan kami kala itu. Yang paling membahagiakan lagi, saat kakak perempuan saya menyetujui permintaan kami untuk jadi maid of honor. Apalagi kelima pasang sahabat saya dan Tom akhirnya bersedia menjadi bridesmaids dan groomsmen. Hari besar kami pun terasa lebih sempurna, karena salah satu sahabat Tom semasa kecil, Jim, menyanggupi untuk meresmikan jalinan cinta kami saat hari besar nanti. Ia langsung menyelesaikan online course supaya ia bisa mengesahkan ikatan suci kami secara legal.
Seiring berjalannya waktu, hari besar menuju pernikahan pun semakin dekat. Tepat tanggal 5 Juni 2010, saya merasa sangat diberkati. Bagaimana tidak? Saya tidak sabar menikahi sahabat saya sendiri dan memulai kehidupan kami sebagai sepasang suami dan istri.
Momen Yang Mengerikan
Cuaca yang terlukis di luar gedung begitu gloomy. Meskipun demikian, orang yang berlalu-lalang terlihat sibuk membereskan tempat untuk pernikahan kami. Lima setengah jam sebelum wedding ceremony dimulai, saya dan Tom pun memutuskan untuk mengambil foto bersama di restoran yang lokasinya tak jauh dari tempat acara kami berlangsung. Akhirnya kami semua – saya, Jim, para sahabat yang menjadi bridesmaids dan groomsmen, plus fotografer – bersiap untuk pergi.
Tak lama, bus yang kami sewa pun datang. Walaupun awalnya saya memesan bus yang bisa memuat 18 penumpang, namun nyatanya bus yang datang sangat sempit dan memiliki komposisi tempat duduk berbentuk huruf U. Walau begitu, kami tetap berangkat. Tom dan saya tepat duduk di belakang sopir, sementara Jim terpaksa berdiri. Semestinya saya menyadari kalau bus ini benar-benar tidak aman, apalagi melihat setiap tempat duduknya tidak dilengkapi dengan safety belt. Namun saya pun tidak mengindahkannya karena suasana kegembiraan yang kian menyeruak.
Tiba-tiba, salah satu groomsmen yang duduk di seberang saya berteriak, “Awaaaas!!” Spontan Tom langsung menarik dan memeluk saya dengan erat. Tom bercerita nantinya kalau ia sempat menangkap raut wajah ketakutan salah satu sahabatnya. Yang tidak ia sadari adalah pada saat itu, sopir bus telah menerobos lampu merah dan sahabatnya tersebut tengah melihat langsung sebuah mobil SUV yang akan menabrak bus dari sisi kanan.
Untungnya, mobil tersebut sempat banting setir untuk menghindar, namun tetap bagian depannya menabrak rodak depan bus. Akibatnya, bus berputar hingga 180 derajat, terbalik, dan akhirnya menghantam tiang lampu merah. Sesaat kemudian, saya sudah tidak mengingat apapun dan penglihatan berubah menjadi hitam. Ketika tersadar, hal pertama yang terbesit dalam pikiran saya adalah untuk segera keluar dari bus ini! Dengan gaun yang bersimbah darah, saya memecahkan jendela depan dengan tenaga yang masih tersisa. Dan saat sudah sampai di luar, saya melihat yang lainnya juga melompat dari belakang bus, terkapar di bagian bahu jalan.
Suasana yang terjadi pada saat itu benar-benar chaos. Kakak perempuan saya berlari mendekati dengan luka parah di bagian tangannya, beberapa di antara mereka berjalan tertatih-tatih dengan telanjang kaki, ada pula yang tengah merintih kesakitan dengan baju yang tersobek penuh darah. Dengan penglihatan yang agak samar, saya pun mencari Tom dengan saksama. Saat melihatnya, kami berlari dan langsung berpelukan erat, bersyukur kalau kami selamat. Thank God...kami berdua dalam keadaan baik, meskipun wajah Tom dilumuri darah, dan bagian punggung dan leher saya sakit. Tak lama seseorang menelepon 911, dan Tom mengumpulkan semua korban di lapangan parkir. Tapi kala mobil ambulans datang, saya mendengar pembicaraan kalau satu di antara kami ada yang kritis. Asumsi saya pada saat itu, mungkin orang yang berada di dalam SUV.
Namun dugaan saya salah. Ketika berada di ruang tunggu rumah sakit, ibu saya datang menghampiri dan memberitahukan kalau ternyata korban yang meninggal itu adalah Jim. Sontak, tubuh saya langsung terkulai lemas. Ternyata, pada saat bus mengerem untuk menghindari mobil SUV tersebut, Jim yang paling kencang terlempar dari dalam. Ia meninggal seketika. Seharusnya, hari itu adalah hari paling bahagia buat saya, bukan menjadi hari yang tragis.
“I Still Want to Marry You Today”
Sementara saya masih mencerna berita kematian Jim, Tom keluar dari emergency room dengan kursi roda. Ekspresi duka terpancar dari raut wajahnya saat didorong paramedis mendekati ruang tunggu. Saya sadar, kalau Tom pasti sudah mengetahui semua berita ini. Bahkan ia mengatakan kalau ia adalah orang pertama yang menemukan jasad sahabatnya semasa kecilnya dulu. That’s why, setelah kecelakaan ia membawa kami ke area parkir, agar kami semua tidak melihat jasad Jim yang sudah hancur. Lantaran perasaan saya masih dirundung rasa panik, mendadak saya merasa tidak bisa menopang semua tragedi ini; saya pun tak kuasa menahan tangis di depan Tom. Dengan perlahan, ia memeluk saya dan menyuruh saya untuk melepaskan semua beban yang ada.
Saya baru menyadari kalau luka yang saya derita tidak terlalu parah, seperti memar dan goresan akibat pecahan kaca jendela. Namun luka-luka orang lainnya ternyata cukup serius – luka dalam, goresan, dan beberapa bagian tubuh yang terkilir. Sementara Tom sendiri menderita gegar otak ringan dan tulang punggung patah (yang malah baru terdiagnosa hampir sebulan kemudian!).
Setelah Tom diperiksa luka kepalanya oleh dokter, ia menghampiri saya dan membisikkan ke telinga, “Saya masih ingin menikahimu hari ini.” Sontak saya langsung menyetujui permintaannya. Tanpa membutuhkan waktu lama, dengan bantuan dari suster, kami pun menyulap ruang tunggu rumah sakit menjadi tempat pernikahan darurat untuk mengikat janji suci. Tugas saya selanjutnya: menghubungi keluarga untuk datang ke acara pernikahan kami. Dan teman saya, Natalie, menyanggupkan untuk mengesahkan kami sebagai suami-istri. Sebagai pengganti altar, kami menggunakan perkakas yang diselimuti oleh kain berwarna putih.
Momen yang paling mengharukan buat saya adalah ketika melihat Natalie tengah mempersiapkan diri dan menyematkan bunga boutonniere di sakunya – seharusnya Jim yang memakainya saat di atas altar. Kala menunggu saya dipanggil, tiga suster yang baik hati membersihkan noda darah yang ada di gaun pengantin saya satu per satu. Dan lucunya, saya dan kelima bridesmaids sama-sama mengenakan kaos kaki rumah sakit berwarna cokelat, gelang ID, dan wristband berwarna biru, plus perban dan gips. Akhirnya....saat yang ditunggu-tunggu telah tiba, ayah mengantarkan saya menuju “altar”. Dengan cepat, kami mengucapkan kata “I do” disaksikan sekitar 100 orang dari teman, keluarga, dan staf rumah sakit.
Jujur, di dalam lubuk hati saya paling dalam, saya terpukul kehilangan Jim. Namun, saya merasa bersyukur karena Tom dan saya akhirnya bisa menikah di hari yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Tentu rencana pergi honeymoon ke California kami batalkan. Daripada terburu-buru mengejar flight pesawat, lebih baik kami pergi ke penguburan Jim, yang menjadi korban kecelakaan di hari besar kami.
Filled With Grief
Beberapa minggu setelah kecelakaan dan duka atas kehilangan sahabat, saya kembali bangkit dan mulai aktif bekerja sebagai crime analyst. Begitu juga dengan Tom, yang sudah kembali bekerja sebagai personal trainner. Meskipun pada kenyataannya, kami kerap dihantui oleh memori kejadian tersebut. Akhirnya, saya dan Tom memutuskan pergi ke counselor untuk mencoba menyembuhkan trauma kami, dan melepaskan amarah terhadap alasan di balik kecelakaan. Apalagi setelah mengetahui sang sopir bus hanya dihukum dengan surat tilang karena menerobos lampu merah. Setelah melalui beberapa sesi bersama counselor, kami berdua merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Penyesalan kami atas kehilangan sahabat tercinta, Jim, memang sangat mendalam. Terkadang saya kerap menyalahkan diri sendiri dan Tom, - kalau bukan karena permintaan kami, saat ini mungkin kami masih bisa melihat senyuman dan celotehan nakalnya. Tapi...kami tersadar, semua itu sudah takdir yang harus dijalani.
Tepat bulan Januari, pengacara kami memidanakan kecelakaan ini kepada pengelola gedung yang kami sewa untuk pernikahan. Pasalnya, bus tersebut milik mereka. Namun, yang membuat kami semakin kecewa, pihak dari manajemen bus tersebut menyangkal kalau mereka tidak bertanggung jawab atas tragedi waktu itu.
Tiada hari berlalu tanpa memikirkan tentang kecelakaan tersebut, kematian sahabat kami, dan cedera yang dialami oleh Tom sampai sekarang ini. Ia terus menjalani operasi untuk cedera punggungnya, menderita gegar otak ringan, dan tengah ikut terapi untuk mengembalikan daya ingatnya yang sempat hilang gara-gara kecelakaan. Dengan kondisi yang tidak sesehat dulu, kecintaan Tom pada dunia sepeda mungkin akan terpaksa ditinggalkannya.
Saat saya mengingat semua kejadian yang dilalui, terkadang saya merasa iri dengan pasangan lainnya. Tentu mereka mengawali pernikahannya dipenuhi dengan kebahagiaan. Namun awal pernikahan kami justru berhubungan dengan dokter, pengacara, dan rasa sakit kehilangan sahabat. Meskipun roda kehidupan berputar, saya percaya kalau nantinya kami bisa melewati masalah seberat apapun. [initial]
Source: Cosmopolitan Edisi Februari 2012, Halaman 199
(cosmo/yel)