Fimela.com, Jakarta Kasus kekerasan seksual terhadap Agni, mahasiswi UGM yang diduga dilakukan oleh rekannya mengingatkan kita, betapa banyak pihak masih menilai korban perkosaan dengan pandangan yang timpang.
Salah satu anggota Departemen Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM pun awalnya enggan menyebut bahwa Agni adalah korban. “Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” ujar orang tersebut seperti dikutip FIMELA dari Balairung Press.
Ini bukan kali pertama, orang-orang berpengaruh memiliki pandangan yang tak adil terhadap korban pelecehan dan pemerkosaan. Kalau kita membalik waktu, mantan Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo dulu pernah memberi komentar terhadap kasus pemerkosaan di angkot dan berujar bahwa perkosaan tak akan terjadi jika korban tidak menggunakan rok mini. Walaupun pada akhirnya ia meminta maaf atas pernyataannya tersebut.
Advertisement
Pejabat publik lain yang juga “keseleo lidah” menanggapi kasus perkosaan adalah Mohammad Nuh Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan , saat mengomentari kasus perkosaan terhadap gadis 14 tahun yang kemudian malah dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap membawa aib.
“Bisa terjadi karena suka sama suka…lalu yang perempuan menuduhnya pemerkosaan,” ujarnya enteng dengan menyalahkan korban.
Beberapa contoh di atas mungkin sudah cukup menggambarkan betapa ‘jahatnya’ mayoritas masyarakat terhadap korban kejahatan seksual. Tak ada rasa empati, justru tuduhan tanpa dasar yang seringkali terucap, seakan tak peduli efeknya terhadap psikologis korban.
FIMELA sadar, kasus pelecehan seksual itu bisa terjadi sehari-hari, dari yang kadarnya ringan maupun berat. Tak ingin korban hanya pasrah karena takut dinilai rendah, kami pun melakukan korespondensi dengan psikolog perempuan sahabat FIMELA, Ayoe Sutomo, M.Psi, Psikolog dari Citra Ardhita Psychological Services dan membahas, bagaimana seharusnya kita bersikap ketika sahabat, orang terdekat atau teman kita bercerita bahwa mereka mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
Advertisement
Dengarkan korban dan berempatilah
“Hal pertama yang harus dilakukan bila korban kekerasan seksual bercerita ialah mendengarakan ceritanya tanpa menyalahkan atau judgement, karena untuk menceritakan ketakutan sudah merupakan usaha besar yang patut kita hargai,” Demikian ujar Ayoe.
Sudah dipastikan saat itu korban sedang dilanda kecemasan dan ketakutan, sikap menghakimi adalah hal terakhir yang mereka perlukan. Cobalah memposisikan dirimu mengalami hal yang mereka alami, sehingga kamu bisa berempati.
1. Hindari pertanyaan yang tidak sensitif
“Emang pakai baju apa?”, “Ngapain keluar malam?” tak perlu mengeluarkan pertanyaan seperti itu. Ingat perkosaan itu salah pelaku, jangan sampai pertanyaan itu justru memberi kesan menyalahkan korban. Yang perlu diingatkan kepada semua orang, apapun bajunya, bagaimanapun gaya hidupnya, tak ada satupun perempuan yang layak diperkosa atau mengalami pelecehan.
"Oke ini berat sekali, aku tahu apa yang kamu rasakan," Apa yang bisa saya bantu", "Kita jalani bersama-sama”, ini adalah beberapa kalimat yang tepat untuk dikatakan menurut Ayoe.
2. Tawarkan bantuan
Jika dirasa korban sudah tenang, ada baiknya untuk menawarkan bantuan yang sifatnya pendampingan. Misalnya ajak untuk visum ke dokter, atau ke lembaga-lembaga yang memang memiliki kapasitas untuk membantu korban kekerasan seksual.
Tapi ingat, jangan memaksa, perhatikan juga kesiapan korban, sambil yakinkan mereka bahwa ini adalah jalan terbaik.
“Kali pertama hargai perasaanya, hargai ketakutannya, juga keberaniannya sudah mau cerita. Menghargainya tidak dengan melakukan judgment dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyalahkan korban,” tutup Ayoe.
Yuk hentikan menyalahkan korban kekerasan seksual, sekarang.