Fimela.com, Jakarta Mengawali suatu gerakan yang melibatkan banyak orang tak semudah membalik telapak tangan. Du’Anyam yang awalnya membina perajin anyaman daun lontar di Nusa Tenggara Timur (NTT) harus melewati jalan berliku sampai akhirnya karya ibu-ibu binaan mereka dipercaya publik dalam dan luar negeri. Tak berlebihan kalau destinasi acara jelajah Flores yang digelar DBS Bank menyambangi binaan Du'Anyam.
Pengalaman empiris ibu-ibu perajin daun lontar sejumlah desa di Flores Timur yang dibina oleh Du'Anyam adalah inspirasi yang amat bagus. Relasi antara pendiri dan pengelolah Du'Anyam yang merupakan wirausaha sosial dengan ibu-ibu perajin anyaman daun lontar, sejalan dengan gerakan yang dilakukan oleh DBS melalui kegiatan lomba foto DBS Life More Society: Photo Competition 2018 yang mengusung tema “Your Daily Kindness”.
Advertisement
BACA JUGA
Sejak berdirinya Du'Anyam pada tahun 2014, target awal yang mereka tetapkan adalah memberdayakan perempuan. Selama ini perempuan di Flores amat tak berdaya dan bergantung sepenuhnya pada suami. Mereka tak punya pilihan apa pun. Mereka tak berdaya karena secara ekonomi tak memiliki pendapatan.
Di lain sisi NTT adalah satu provinsi termiskin dengan salah satu tingkat kematian ibu dan bayi baru lahir tertinggi di Indonesia. "Target kami membuat perempuan berdaya secara ekonomi. Karena mereka sudah punya penghasilan sendiri dari hasil anyaman. Dengan begitu diharapkan tingkat kesadaran untuk menjaga kesehatan pun bisa meningkat," Hanna Keraf, menjelaskan hal ini di sela-sela kunjungan ke kampung Wulublolong yang terletak di pulau Solor, pada Jumat (12/8/2018).
Meski terlibat dalam kesibukan menganyam daun lontar yang dibuat beragam perkakas dapur, rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari lainnya, para ibu-ibu di sini tak melupakan tugas pokoknya. Menganyam bukan pekerjaan utama bagi para ibu-ibu yang bergabung dengan Du'Anyam. Mereka tetap sebagai ibu yang bertanggungjawab pada pendidikan anak, sebagai istri yang harus melayani suami dan anak-anak mereka.
Bahkan bagi yang punya pekerjaan tetap sekalipun dia dipersilahkan melakukan kegiatan utamanya terlebih dahulu. "Mereka menganyam hanya part time. Hanya empat hari dalam sehari. Dengan begitu kewajiban utama tetap tidak terabaikan," kata Hanna sembari menambahkan secara harfiah dalam bahasa Flores, Du'Anyam berarti ibu menganyam.
Advertisement
Awal yang Sulit
Mengubah kebiasaan pada ibu yang semula menganyam seadanya menjadi menganyam dengan rapih, teliti dan tepat waktu bukanlah perkara mudah. Namun perlahan-lahan Hanna dan kawan-kawan mampu membimbing pada ibu yang bergabung hingga hasil karya mereka mendapat kepercayaan bukan hanya konsumen di Indonesia namun juga dunia.
Menurut Hanna sejak berdiri hingga sekarang Du'Anyam telah memberikan pendampingan anyam bagi para perempuan di Flores Timur. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 Desa yang ambil bagian. Jumlah perempuan yang tergabung sudah lebih dari 500 orang.
Pelan Tapi Pasti
Sejak 2015 lalu dan hingga kini jumlahnya telah mencapai 500 penganyam yang tersebar di 31 desa. Kini tidak hanya pasar nasional, Du'Anyam telah berhasil menjual produk-produk hasil anyaman perempuan NTT ke berbagai negara lain seperti Amerika, Jepang, Canada, dan Milan. "Sejauh ini pemesanan terbesar dari panitia Asian Games 2018. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kami harus menyediakan 16.000 pesanan. Syukurlah kami bisa memenuhi permintaan itu," tambahnya.
Pelan namun pasti pendapatan ibu-ibu yang bergabung dalam Du'Anyam meningkat. Artisnya tingkat kesejahteraan ibu-ibu meningkat dan mereka bisa lebih berdaya. Meningkatnya meghasilan juga meningkatkan kesejahteraan para ibu uang terlibat. Seperti dua sisi mata uang, peran Du'Anyam beriringan antara aspek sosial dan bisnis.
Advertisement
Jaga Kualitas
Sebelum bergabung dan mendapat binaan dari Du'Anyam, ibu-ibu melakukan aktivitas menganyam hanya ala kadarnya. Tak ada pola baku dalam ukuran, kerapihan dan kualitas. Hasil anyaman pun hanya di jual di sekitar pulau dan pulau-pulau terdekat dengan domisili mereka. Kini penjualan kerajinan mereka sudah lintas benua dan dijual secara online di dunia maya. "Sebelum bergabung dengan Du'Anyam kami asal anyam saja. Hasil anyaman kami paling dijual ke Larantuka," kata salah seorang perajin anyaman yang berdomisli di Wulublolong.
Pihak Du'Anyam, kata Hanna Keraf memang menerapkan quality control yang ketat. Hanya hasil anyaman yang memenuhi standar yang akan dieskport atau dikirim ke pada pemesan. "Yang tidak lolos QC terpaksa tidak bisa dieskport. Kami juga sekali agar konsumen percaya dan mereka bisa pesan kembali," ujarnya.
Dengan aturan yang demikian ketat, tak semua pesanan bisa depenuhi. Kini perajin yang dibawah Du'Anyam hanya mengerjakan anyaman sesuai dengan pesanan yang masuk.