Fimela.com, Jakarta Pada usia prasekolah, anak mengalami perkembangan psikis menjadi lebih mandiri, autonom, dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta lebih mengekspresikan emosinya. Bentuk luapan emosi yang biasa terjadi adalah menangis atau menjerit saat anak tidak merasa nyaman.
Sifat perkembangan yang terbentuk ini dapat mempengaruhi pola makan anak. Hal tersebut menyebabkan anak terkadang bersikap terlalu pemilih, misalnya cenderung menyukai makanan ringan, sehingga menjadi kenyang dan menolak makan saat waktu jam makan.
Anak juga sering rewel dan memilih bermain saat orangtua menyuapi makanan. Anak akan mengalami kesulitan makan jika tidak segera diatasi. Proses pembelajaran makan yang baik sangat penting bagi anak di fase usia prasekolah agar ia tumbuh sehat dan cerdas.
Advertisement
Angka kejadian masalah kesulitan makan di beberapa negara cukup tinggi. Sebuah penelitian oleh The Gateshead Millenium Baby Study pada tahun 2006 di Inggris menyebutkan, 20% orangtua mengatakan anaknya mengalami masalah makan, dengan prevalensi tertinggi anak hanya mau makan makanan tertentu. Survei lain di Amerika Serikat tahun 2004 menyebutkan 19-50% orangtua mengeluhkan anaknya sangat pemilih dalam makan sehingga terjadi defisiensi zat gizi tertentu.
BACA JUGA
Penelitian yang dilakukan Sudibyo Supardi peneliti di National Institute of Health Research and Development terhadap anak prasekolah di Jakarta tahun 2015 menunjukkan hasil prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6%. Adapun 44,5% di antaranya menderita malnutrisi ringan sampai sedang dan 79,2 % dari subjek penelitian telah mengalami kesulitan makan lebih dari 3 bulan. Kelompok usia terbanyak mengalami kesulitan makan adalah usia 1 sampai 5 tahun (58%). Sebanyak 43% anak yang mengalami kesulitan makan mengalami gizi buruk.
Advertisement
Picky eater
Masih merujuk studi Sudibyo, kebanyakan kasus terdiri dari kemampuan menghabiskan makanan kurang dari sepertiga porsi (27,5%), menolak makan (24,8%), anak rewel dan merasa tidak senang atau marah (22,9%), hanya menyukai satu jenis makanan (7,3%), hanya mau minum susu (18,3%), memerlukan waktu > 1 jam untuk makan (19,3%), dan mengemut (15,6%). Adapun sebanyak 50% anak yang mengalami susah makan memiliki keluhan gangguan kenaikan berat badan, 22% rewel, 12% nyeri epigastrium, 10% back arching, dan 6% nyeri menelan serta sering muntah.
Kondisi anak pilih-pilih makanan seperti itu dikenal dengan istilah picky eater. Picky eater bisa menjadi gejala yang merugikan kesehatan anak apabila tidak segera diatasi. Picky eater bisa membuat anak kekurangan asupan gizi yang selanjutnya menyebabkan anak mengalami gizi buruk.
Menurut sensus yang dilakukan World Health Organization (WHO) (2012, dalam Rohmasari, 2013) diketahui bahwa 42 % dari 15,7 juta kematian anak di bawah 5 tahun terjadi di negara berkembang dan sebagian besar disebabkan gizi buruk. Dari data tersebut sebanyak 84% kasus kekurangan gizi anak usia di bawah lima tahun (balita) terjadi di Asia dan Afrika. Sedangkan di Indonesia, tahun 2012, terdapat sekitar 53% anak di bawah usia 5 tahun menderita gizi buruk yang disebabkan oleh kurangnya makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari (Depkes, 2012). Kondisi ini menyebabkan banyak anak Indonesia mengalami stunting.
Stunting
Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%).
Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan, balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun. Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani, dan diperparah dengan gelaja picky eater.
Sayangnya Indonesia berada di peringkat ke 5 negara dengan angka stunting tertinggi di dunia. Pemerintah pun gusar dengan kondisi ini. Beberapa program dan kampanye digelar. Salah satunya Isi Piringku yang diluncurkan pada Hari kesehatan Nasional (Harkesnas) tahun lalu.
Menurut Prof. Dr. Rini Sekartini, SpA, picky eater merupakan gangguan perilaku makan pada anak yang berhubungan dengan perkembangan psikologis tumbuh kembangnya dan ditandai dengan keengganan anak mencoba jenis makanan baru (neofobia), pembatasan terhadap jenis makanan tertentu terutama sayur dan buah, dan secara ekstrim tidak tertarik terhadap makanan dengan berbagai cara yang dilakukan, yaitu menampik makanan yang tidak dia sukai, mengemut makanan, dan menutup mulut dengan rapat pada saat menghadapi makanan yang tidak dia sukai.
"Anak yang suka pilih-pilih makanan atau hanya mau makanan tertentu sering disebut picky eater. Sebagian besar ibu mungkin anaknya pernah mengalaminya. Anak biasanya hanya mau makan makanan tertentu, sering tutup mulut menolak makanan yang diberikan, bahkan sampai nangis terus-menerus,” ujar Prof. Rini.