Advertisement
Next
Menikmati Hidup Layaknya Remaja
Menikah dan keluar dari rumah nyaris tidak pernah terpikir dalam benak Brian, bahkan saat usianya menginjak 30 tahun. Laki-laki yang bekerja sebagai quality controller sebuah perusahaan yang bergerak di bidang alat kesehatan ini, lebih suka menjalankan hidup bebas tanpa tanggung jawab. Selama beberapa tahun terakhir, Brian menolak memiliki hubungan cinta yang serius dan mengarah pada pernikahan. Bukan hanya tidak serius menjalani percintaan, karier pun tidak jauh berbeda. Demi memenuhi hobinya touring mengendarai motor besar, Brian bisa memutuskan bolos dari tempat kerja sekalipun di hari itu ada meeting penting dengan klien. “Lebih baik menggunakan gaji untuk aksesoris motor, daripada menabung untuk cicilan rumah,” ujarnya.
Advertisement
Tidak jauh berbeda dengan Brian, Rani (25) tidak pernah berpikir serius soal karier atau masa depan. Perempuan yang bekerja sebagai Marketing Communication di sebuah retail company, sama sekali tidak khawatir akan perkembangan kariernya yang stuck di tempat. Latar belakang keluarganya yang cukup berada juga membuat Rani tidak perlu repot memikirkan masalah finansial. Belum lagi, Rani masih tinggal dengan orangtua sehingga tidak perlu ada biaya untuk rumah tangga yang harus dikeluarkan. Penghasilan yang didapatnya selama ini lebih sering terpakai untuk shopping, hangout, atau traveling. Kalau pun gajinya tidak cukup memenuhi kebutuhan bulanan tadi, orangtuanya masih rutin memberikan bantuan.
Next
Ya, Brian dan Rani menjalankan hidup layaknya Kidult. Istilah Kidult yang dipopulerkan oleh psikolog Jim Ward Nicholas merupakan sebutan untuk mereka yang berusia 20 tahun ke atas dan masih menikmati budaya anak-anak atau remaja, baik dari penampilan fisik, gaya hidup, maupun pemikiran yang sebenarnya tidak cocok lagi bagi usia mereka sesungguhnya. Ciri kidult yang terlihat biasanya masih tinggal serta ditanggung oleh orangtua, tidak memiliki pekerjaan tetap, tidak memiliki hubungan serius, tidak mandiri secara finansial, dan kurang bertanggung jawab atau memiliki komitmen penuh.
Fenomena Kidult sendiri sebenarnya sudah terjadi di awal 1960-an, namun dari tahun ke tahun fenomena ini semakin marak terjadi. Di Amerika misalnya, jumlah orang berusia 26 tahun yang masih tinggal dengan orangtua meningkat dari 11% pada 1970 menjadi 20% di 2005. Menurut Bernard Salt, ahli kependudukan, fenomena Kidult juga menjakiti orang-orang berusia 25 tahun ke atas di Australia. Mereka memilih menunda menikah, menunda memiliki anak, menunda membeli rumah, lebih memilih berkeliling dunia daripada hidup mapan, dan membelanjakan uang tanpa rencana. Semakin maraknya fenomena ini, beberapa negara juga memiliki istilah sendiri dalam menyebut kidult. Seperti kippers di Inggris, nesthockers di Jerman, mammones di Perancis, dan freeters di Jepang.
Yang mengejutkan, fenomena Kidult justru banyak terjadi di negara-negara maju dan kota-kota besar. Kondisi perekonomian orangtua yang mapan, lapangan kerja yang kompetitif bagi laki-laki dan perempuan muda, harga-harga barang yang mahal, dan gaya hidup mewah dinilai jadi penyebab semakin luasnya fenomena Kidult. Lalu, bagaimana dengan fenomena Kidult di Indonesia?
Advertisement
Next
Berpotensi Terjadi di Indonesia
Walaupun belum ada penelitian khusus, namun sosiolog V. Sundari Handoko beranggapan fenomena ini mungkin terjadi di Indonesia. Apalagi budaya Indonesia memiliki konsep keluarga besar (extended family), yang memiliki ikatan emosional tinggi. Dalam ikatan ini, ada kewajiban untuk saling membantu. Termasuk bantuan ekonomi dari orangtua, saat anak-anak mereka belum mapan bahkan setelah menikah atau ketika memiliki penghasilan sendiri.
Ketidakmandirian dan kemanjaan anak menjadi penyebab utama fenomena kidult. Meskipun beberapa orangtua di kota besar memperbolehkan anak-anaknya bersekolah ke luar kota atau luar negeri, menurut Sundari tidak menjadi jaminan anak tersebut mandiri. Tidak jarang orangtua menyediakan rumah kontrakan yang nyaman, asisten rumah tangga, sampai mengirimkan uang tiap bulan. Perlakuan orangtua di kota terhadap anak-anaknya berbeda dengan orang tua di desa. Potensi ekonomi yang lebih rendah di desa menyebabkan banyak orang muda yang justru berani meninggalkan keluarga dan hidup mandiri di kota.
Next
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nadya Pramesrani, M.Psi., dari Klinik Psikolog Bingkai, pada FIMELA.com. Menurut Nadya, faktor lingkungan dan keluarga sangat berpengaruh dalam proses pendewasaan. “Keluarga yang terlalu melindungi dan lingkungan yang seringkali menempatkan seseorang sebagai ‘anak bawang’ bisa menjadi faktor penyebab seseorang tidak dewasa,” ujarnya.
Menjadi tua memang tidak bisa dihindari, tapi menjadi dewasa merupakan pilihan. Lalu, bagaimana kalau kita harus menghadapi pasangan yang Kidult? Cek di artikel FIMELA.com berikutnya!