Kisah pengorbanan kerap begitu menyentuh. Tak ada yang pernah mengira akan hidup bagaimana, seperti apa suatu saat nanti, tapi semua orang pasti punya mimpi. Pengorbanan mimpi itulah yang Jane lakukan demi sahabatnya. Dia dengan rela melepas karier dan hidup sederhana demi merawat Lewis (14 tahun) dan Ashton (7 tahun). Padahal, dia sendiri memiliki 3 anak kandung yang juga membutuhkan perhatian. “I didn’t think twice about taking them on?Gina was my best friend and I would have done anything for her,” ungkapnya begitu yakin.
Leonardus Kamilius (Owner Koperasi Kasih Indonesia) memilih keluar dari pekerjaan impiannya sebagai Business Analyst di McKinsey & Company hanya untuk membantu perekonomian warga miskin dengan memberikan dana pinjaman tanpa jaminan dan bunga. Tak berlimpah harta seperti mimpinya dulu, Leon malah mengaku lebih bahagia. “Saya merasa lebih bahagia dan puas. Kalau kebahagiaan identik dengan uang, saya kehilangan gaji tapi jadi lebih bersemangat.”
Lalu, Priskilla Smith Jully (owner The School of Life (TSoL)) memilih mengabdikan hidup untuk orang-orang yang kurang beruntung. Kepahitan masa lalu yang membuatnya sempat terbuang mendorongnya menampung para penyandang cacat seperti dia, juga orang terlantar dan penderita gangguan jiwa di shelter-nya. “Pertama kali di hati rasanya ada panggilan bahwa saya harus mengabdikan hidup pada Tuhan dan sesama,” kenang ibu satu anak yang rela banting tulang demi kesejahteraan penghuni shelter.
Advertisement
Selain mereka, masih banyak orang yang sudah mendapatkan kenyamanan dan meraih mimpi mereka, tapi akhirnya memilih hidup untuk ikut berkontribusi mendukung kesejahteraan orang lain. Seolah tak masuk akal, tapi yang terjadi nyatanya begitu. Apa yang dicari? Tidak ada, selain perasaan bahagia ketika melihat orang lain bahagia. Kebahagiaan yang muncul berkat kemampuan menerima keadaan, melihat segala hal dari sisi positif, dan merelakan perubahan hidup dengan ikhlas, kalau kata psikolog Monty Satiadarma dari Fakultas Psikologi Untar.
Sayang, kebanyakan orang sibuk membuat mimpi dan berkutat mewujudkan ambisi pribadi, lupa ada dunia tempat mereka berpijak, yang juga butuh diperhatikan. Toh, tak ada kepastian dalam hidup, termasuk soal harapan. Mimpi hari ini bisa berubah esok hari, keinginan detik ini bisa berganti sedetik kemudian. Dan untuk orang-orang seperti Leonardus yang melepas mimpi demi bisnis sosial, juga Jane yang merelakan karier demi sahabatnya, perubahan fokus hidup sama sekali tak mengurangi kebahagiaan mereka. Itu karena mereka tahu, kebahagiaan bukan soal kesuksesan semata, melainkan perasaan puas karena paham benar keputusan besar yang diambil dalam hidup, memang yang terbaik.