Advertisement
Next
Mari menilik definisi keduanya. Agama dijelaskan sebagai ajaran, sistem yang mengatur keimanan, termasuk hubungan manusia dengan manusia maupun lingkungannya. Sementara moral adalah ajaran tentang baik-buruk yang diterima masyarakat umum tentang perbuatan, sikap, kewajiban, sampai akhlak dan budi pekerti. Kalau agama mengatur hubungan manusia, artinya moral masuk ke dalam persoalan yang diajarkan agama. Benarkah begitu?
Putri (33, accounting) pun bersuara. Miris katanya, melihat agama tak lagi murni dan sakral. Saking sensitifnya, agama dijadikan media untuk menarik simpati atau didomplengi kepentingan tertentu. Oknum-oknum “berselimut” agama, padahal penuh motivasi lain di dalamnya. “Agama melahirkan moral. Itulah mengapa seseorang yang dikenal beriman bisa melakukan perbuatan tak bermoral. Karena dia sendiri tak menerapkan ajaran agamanya.”
“Dua hal itu memang bisa berjalan berdampingan, dan saling melengkapi. Namun, apa yang kita lihat mereka justru berjalan sendiri. Jujur ya, aku agnostik, tapi aku mengerti apa itu moral, dan aku selama ini menerapkannya dalam hidupku. Kepercayaan akan adanya Tuhan tak mempengaruhi ada atau tidaknya moral seseorang,” Laras (25, volunteer, agnostik) berujar, “Berkacalah pada pejabat korup yang katanya petinggi agama. Dikenal beriman, tapi mencuri uang rakyat. Atau, yang mengaku ilmu agamanya tinggi, tapi memperistri lebih dari 4 perempuan.” Baginya, orang yang memiliki moral, akhlak, jauh lebih baik daripada yang mengaku beragama tapi tak mengerti bagaimana cara berbuat baik. “Apa agama hanya sebagai kedok untuk mewujudkan obsesi pribadi? Agama bukan bisnis, bukan alat, lho. Kasihan kalau agama kemudian menjadi kambing hitam akibat perilaku buruk segelintir orang. Itu jadi salah satu alasan aku memilih netral,” tambah Laras.
Advertisement
Next
Putri percaya ada korelasi antara agama dan moral, berkebalikan dengan Laras yang menegaskan moral bisa berdiri tanpa agama. Seorang ahli primata di Atlanta, Frans de Waal, pun punya pendapatnya sendiri. Penasaran dengan perdebatan sejak dulu kala soal agama dan moral, dia pun melakukan penelitian bertahun-tahun dan menjawabnya dalam sebuah buku, The Bonobo and the Atheist. Kalau para pemeluk agama menganggap moral berasal dari iman, Wall mengungkap bahwa manusia percaya kepada Tuhan karena moral yang sudah ada dalam tiap pribadi. Pernyataan itu didasarkan penelitiannya pada primata besar yang memiliki bibit moral, yaitu empati. Hal itu ditunjukkan dari cara mereka saling melindungi dan berbagi, menyerupai sifat manusia. Dan moralitas, menurut Waal, berkembang sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, bukan berasal dari agama.
Sementara berdasarkan penelitian ahli biologi Universitas Harvard, Marc Hauser, secara sederhana moral pun diartikan sebagai sesuatu dalam diri manusia yang membuatnya mampu menentukan mana yang baik dan buruk, walau terkadang mereka sendiri tak tahu apa alasannya. Hauser memberikan sejumlah pertanyaan tentang kebaikan dan hal buruk kepada orang yang beragama, juga ateis. Hasilnya, patokan mereka mengenai kebaikan sama saja. Ukuran kebaikan orang yang memiliki iman dan tidak, tak ada bedanya. Kami jadi ingat, beberapa waktu lalu si cantik Aelke Mariska pun pernah mengungkapkan kepada kami, sebagai penganut agnostik dirinya tetap bisa menjadi orang yang baik. “Ya, tanpa agama pun saya tetap bisa menjadi orang yang baik, kebaikan bukan ditentukan dari apa agama saya.”
Sebenarnya, soal mana yang harus dipercaya tak lagi perlu diperdebatkan, sama seperti iman yang dipegang tiap orang. Moral maupun agama didasari kebaikan untuk menghasilkan sesuatu yang baik pula. Kalau kemudian menjadi negatif, salah satunya hanya sedang didomplengi maksud-maksud tertentu, dari pihak tertentu. Sesederhana itu.