Advertisement
Next
Diundang untuk bertemu dengan seorang pemilik dan pendiri sebuah Sekolah Tinggi ternama di Jakarta, yang terbayang di kepala kami (tim FIMELA.com), kami akan masuk ke dalam sebuah ruangan “kaku” layaknya ruangan para petinggi. Namun ternyata, yang menjadi kantor sekaligus tempat meeting Prita Kemal Gani, pemilik London School of Public Relation dan ketua Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), lebih tepat jika disebut dengan ruang keluarga mengingat ruangan konsep rumah seutuhanya dituangkan Prita pada tempat kerjanya.
Memiliki waktu ngobrol terbatas dengan ibu dari tiga orang anak ini, kami pun tidak banyak membuang waktu dan segera memberondong Ibu Prita terkait dengan kehidupannya di dunia PR dan juga dunia autistik. Dengan senyum, Prita menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang kami ajukan.
Next
Berbicara soal dunia public relation, komunikasi, dan humas, mau tidak mau kita harus mengaitkan sosok Prita Kemal Gani. Bagaimana tidak, perempuan yang pernah menempuh pendidikan Management di London, Inggris, ini merupakan perintis sekolah tinggi public relation untuk profesional pertama di Indonesia.
“Jujur, alasan pertama saya membuka sekolah public relation karena rasa prihatin. Saya melihat di Indonesia belum ada lulusan dari komunikasi maupun PR yang siap terjun ke dunia profesional. Dan awalnya saya mendirikan London School of Public Relation adalah sebagai sebuah training school untuk mereka yang ingin menjadi profesional PR,” Prita mengawali cerita.
Masuknya berbagai perusahaan asing ke Indonesia pada tahun 1950-an yang membawa metode PR sendiri, akhirnya membuat Indonesia sadar akan pentingnya dunia humas dan PR pada tahun 1970 dengan didirikannya Perhumas. “Belum populernya dunia PR di Indonesia, membuat kita kekurangan tenaga PR profesional. Dan saya merasa bahwa ini adalah sebuah peluang pendidikan tersendiri karena saya pikir bahwa PR merupakan bagian penting dari perusahaan maka akrhinya saya mendirikan lembaga pendidikan yang masih berlangsung hingga saat ini,” istri jurnalis Kemal Effendi Gani ini melanjutkan.
Advertisement
Next
Memiliki karir dan keluarga sempurna, Prita pun diberi ujian dengan anugrah seorang anak yang menyandang autistik di tengah-tengah keluarga. Tidak percaya dan seolah ingin menyangkal kondisi autis yang disandang anak perempuannya, Prita dan suami melakukan berbagai cara untuk membuktikan bahwa anaknya tidak menyandang autis. Setelah hampir satu setengah tahun dalam keadaan menyangkal, Prita akhirnya sadar dan menerima kondisi anaknya.
“Jujur, saya sempat menyangkal kondisi autistik anak saya. Namun, setelah mendapat teguran dari orangtua, mata saya terbuka dan mulai memberikan perhatian serta perawatan khusus pada si bungsu. Saya yang memiliki sebuah sekolah tinggi komunikasi yang cukup besar dikaruniai seorang anak autistik oleh Tuhan. Seorang anak yang memerlukan metode dan cara berkomunikasi khusus dengan mereka,” tutur Prita.
Kesadaran Prita terhadap kondisi anak autis yang memerlukan perhatian khusus dalam pendidikan membuat Prita akhirnya mendirikan sebuah lembaga yang berfungsi untuk memberikan pengetahuan khusus tentang anak autis kepada masyarakat.
“The Center for Autism Awareness dibuat untuk mengedukasi masyarakat untuk bisa menangani dan mengenali anak-anak autis. Salah satu yang kami lakukan di sana adalah memberikan pelatihan kepada guru-guru di sekolah khusus anak-anak autis bagaimana cara untuk menangani anak autis dengan tepat. Dan juga, kita memberikan edukasi kepada orangtua tentang apa saja penyebab yang bisa membuat orangtua melahirkan seorang anak autis karena ternyata faktor eksternal, seperti obat-obatan dan bahan kimia lainnya, juga berperan pada calon anak kita. Preventif dan juga edukasi masyarakat tentang autis adalah tujuan didirikannya lembaga ini,” perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua Perhumas ini bercerita.
Prita pun bisa kembali fokus menjalani dunia PR yang dan juga berkonsentrasi kepada Lembaga Autisme yang ia dirikan setelah ia bisa mengambil hikmah dari anugrah yang diberikan Tuhan melalui anak bungsunya.