Advertisement
Next
Bermula dari hobi yang menguras kantong….
“Sepatu saya jumlahnya segambreng, dari flat sampai yang tinggi, dari yang murah sampai yang mahal. Memang sudah bawaan orok mungkin, jatuh cinta pada sepatu!” canda Lianna ketika ditanya mengenai hobinya mengoleksi sepatu. Ya, Lianna memiliki hobi yang menurutnya tak wajar, karena ia tak pernah tahan melewatkan sepatu yang menurutnya cantik. “Bahkan, saat hamil yang mengharuskan saya berpuasa memakai sepatu ber-hak, saya masih saja membeli beberapa sepatu dengan alasan akan memakainya usai melahirkan,” tambah Lianna, tersenyum geli.
Advertisement
Tahun 2008, Lianna memutuskan berhenti bekerja agar bisa fokus mengurus anak. Kesibukannya otomatis membuat ia lebih banyak berada di rumah. Namun, bukan berarti Lianna “cuti” dari perburuan. “Saya mulai gatal membeli sepatu, satu-satunya cara adalah berbelanja lewat internet. Kebetulan, dari sana saya tahu kalau kita bisa membuat sepatu sendiri. Selama ini kan, kita membeli sepatu yang sudah jadi. Tidak berpikir dua kali, saya mencoba memesannya lewat Facebook. Itu pertama kali dalam hidup saya bisa menentukan sendiri model sepatu yang saya inginkan,” terang Lianna, antusias.
Lianna mengaku baru menemukan peluang bisnis setelah foto-foto sepatu yang ia desain dipajang di Facebook dan mendapat respons positif. Dari semula melepas sepatu-sepatu yang ia desain itu tanpa sepeser pun untung, Lianna menjadi makelar sungguhan. Ya, bermula dari hobi yang menguras kantong, Lianna justru bisa menghasilkan pundi-pundi uang dari sana pula. “Sepuluh pasang, lima belas, terus naik. Akhirnya, saya serius berjualan dengan mengganti label sepatu pesanan dengan label saya sendiri, La Spina,” lanjutnya.
Dari Custom made shoes, “hijrah” ke sepatu kain tradisional…
Tantangan lain datang. Order sepatu dari customer yang mencapai 50 pasang per bulan tiba-tiba saja tak dapat ia penuhi karena pemasok sepatunya selama ini memutuskan kerja sama secara sepihak. Lianna pun sempat kelabakan menghadapi customer yang sebagian sudah membayar lunas sepatu pesanan mereka. Dari sana, Lianna terjun langsung mencari perajin hingga ke pelosok Bogor. Beberapa bulan sudah ia berbisnis custom made shoes, tapi bukannya menikmati, ia malah merasa bisnisnya tak membanggakan karena hanya merupakan hasil contekan beberapa model yang sudah ada, belum lagi ongkos dan risiko gagal produksi yang terlalu tinggi.
Lianna kemudian terinspirasi dengan kain batik yang ketika itu ramai dibicarakan. “Kenapa tidak membuat sepatu khas Indonesia, yang tanpa perlu melepas dan melihat mereknya, sudah tahu itu asli negara sendiri? Kebetulan saya memang suka dengan budaya Indonesia. Segala macam tarian Jawa saya kuasai dan saya pun sangat familiar dengan batik,” katanya, mengingat-ingat.
Next
Berhasil berkreasi, Lianna tak langsung memasarkan produknya tersebut. Barulah, 6 bulan setelah berkutat dengan proses produksi ratusan sepatu, sejak 2010, akhirnya April 2011 La Spina pun diperkenalkan ke publik di Inacraft 2011. Perjuangan La Spina masuk ke Inacraft sebenarnya tak mudah. Semula La Spina tak lolos uji akurasi. “Mereka menawarkan tempat untuk La Spina setelah salah satu peserta mundur. Itu juga karena saya proaktif menanyakan letak kekurangan produk saya. Bagi mereka itu bentuk kegigihan. Dari sana, La Spina laris-manis, ludes terjual pada hari ketiga pameran, dan langsung mendapatkan sejumlah penghargaan,” ucap Lianna bangga.
Berkembang pesat hanya dalam waktu singkat
Selesai Inacraft, bisnis costum made shoes sengaja Lianna hentikan karena pesanan sepatu batik yang begitu banyak, belum lagi pada bulan Mei ia diminta berpartisipasi dalam Pameran Gelar Sepatu, Kulit dan Produk Fashion. “Sama, di sana antusiasme pengunjung luar biasa dan kami juga kembali memenangkan penghargaan desain sepatu terbaik 2011,” kata Lianna.
Satu setengah tahun sudah La Spina berdiri, dan secara mengejutkan berkembang sangat pesat. Dalam hitungan bulan setelah penjualan perdananya April 2011, La Spina sudah bisa ditemukan di beberapa tempat. “Pertama kali di Alun-alun, Mall of Indonesia, lalu Debenhams,” sambungnya. Dari 20-30 pasang tiap bulan, kini La Spina juga sudah memproduksi hingga 500 pasang sepatu, dengan pasar yang kian luas hingga ke mancanegara, seperti Jepang dan beberapa negara di Eropa.
Sebentar lagi, La Spina bahkan bisa ditemukan di Garuda Indonesia. “Salah satu impian saya berikutnya adalah untuk mempercantik ikon nasional kita. Saya pun menyampaikan keinginan saya karena merasa bisa melakukan yang terbaik. Pihak pemerintah dan Garuda pun merespons positif. Setelah membuat sepatu sesuai dengan spesifikasi dan standar keamanan, kini saya hanya tinggal menunggu kesepakatan, dan tahun ini juga semua akan terealisasi,” ujarnya sambil tetap mengumbar senyum.
Advertisement
Next
Bermula dari batik Garut, produk La Spina kini sudah berkembang menggunakan material lain, seperti tenun, songket, ukir, dan tikar. “Nanti, tiap 4 bulan kami akan mengeluarkan material baru lagi. Namun, batik tetap kami pertahankan karena memiliki peminatnya sendiri. Dari sepatu, saya juga baru saja terjun ke pemroduksian tas. Itu pun setelah mendapatkan permintaan dari customer yang ingin memadu-padankan sepatu dan tas yang mereka pakai,” ungkap Lianna.
Momen berkesan, impian besar, sampai kunci sukses ala Lianna
Ditanya mengenai momen mengesankan selama berbisnis, Lianna pun dengan cepat menceritakan salah satunya, sambil terharu, “Pertamakali ikut Inacraft, banyak sekali media yang meliput. Ternyata, berita itu disaksikan orang-orang yang tinggal di luar Jakarta. Ada salah satu customer datang dari Depok cuma untuk membeli La Spina. Perjuangan mereka itulah yang membuat saya bersemangat. Kebanggaan mereka mengenakan produk saya otomatis menjadi kebanggaan saya juga.” Momen paling berkesan lainnya bagi Lianna adalah saat ia memperoleh Cartier Women’s initiative Awards 2012. Lanjutnya, “Saya sama sekali tak pernah membayangkan, dari Semarang (kota kelahiran) bisa sampai ke Paris!”
Di antara kebahagiaannya menjalankan bisnis yang sesuai dengan hobi, Lianna mengaku dirinya pun harus merelakan lebih banyak waktu daripada ketika bekerja kantoran. “Kita mesti bekerja keras untuk mencapai target dan menjadi lebih baik lagi. Impian saya jelas, inginnya La Spina makin besar, karena ketika kita diberi kesempatan untuk bisa berbisnis, kita memiliki kekuatan untuk berbuat sesuatu bagi orang lain,” kata Lianna.
Salah satu hal sederhana yang dilakukan Lianna untuk mengenalkan La Spina ke banyak orang adalah lewat dirinya sendiri, “Saya tidak bisa meng-endorse selebriti untuk memakai sepatu saya, jadi saya harus memakainya sendiri. Tiap kali orang tahu pekerjaan saya di dunia sepatu, mereka otomatis akan melihat sepatu yang saya pakai. Kan, tidak lucu kalau saya memakai sepatu buatan orang lain.” Benar, kecintaan dan kebanggaan atas karya sendiri adalah kunci untuk bisa sukses dalam segala hal, termasuk dalam berbisnis.
Kecintaan dan kebanggaan Lianna terhadap La Spina pun diwujudkan dengan usahanya untuk maju dan mengukir prestasi. Agar bersemangat menghadapi tantangan dan konsisten dengan visi dan misinya, Lianna rajin membaca buku, terutama yang sanggup memotivasi diri. Buku Yoris Sebastian, Martha Tilaar, sampai Pia Alisjahbana, hanyalah beberapa dari daftar koleksinya. “Kita bisa melihat, setelah sukses dengan karya masing-masing, mereka tak pernah diam. Mereka meneruskan karya mereka,” tutup Lianna. Pelajarannya adalah, setelah mencapai satu target, kita harus terus membuat target baru untuk terus dan makin sukses!