Advertisement
Next
Andai bisa memilih…
Kata orang, kita tak bisa memilih kepada siapa akan jatuh cinta. Mungkin benar. Andai bisa, saya pasti akan memilih tak memiliki kisah cinta aneh seperti ini. Aneh? Ya, kurang normal menurut saya. Hubungan guru dan murid seharusnya tercipta hanya sebatas urusan sekolah, tak sampai masuk ke kehidupan pribadi seperti yang saya alami dulu. Bagaimana semua bisa terjadi? Emmmm, where do I have to start? Saya juga bingung. Perlahan, saya dan guru saya didekatkan oleh yang namanya situasi serba kebetulan. Kebetulan, saya masuk jurusan yang salah satu mata pelajarannya dipegang oleh dia. Kebetulan pula, saya cukup pandai di mata pelajaran itu. Kebetulan, saya tak memiliki teman dekat laki-laki waktu itu. Kebetulan, dia ternyata tertarik kepada saya. Dan… macam-macam kebetulan lainnya.
Advertisement
Sedikit demi sedikit, tanpa disadari, kami banyak mengobrol. Awalnya sebatas tentang pelajaran, lama-kelamaan merambat ke hal pribadi, seperti hal favorit kami; bagaimana serba-serbi kuliahnya yang menurutnya wild, young and free sehingga banyak memberikannya pelajaran hidup; dan apa pendapat masing-masing tentang suatu hal yang akhirnya menjadi topik pembicaraan panjang. Pada masa itu, di saat saya belum banyak tahu dunia luar, sosok guru ini menjadi laki-laki yang memberikan warna dalam hidup saya. Usianya yang jauh di atas saya dan pengalamannya yang banyak, menjadi kombinasi yang pas untuk seorang pelajar SMA seperti saya. Sesekali, saya merasa mampu mengimbangi ceritanya dengan celetukan yang membuatnya tertawa lepas. From those laughs, then came another thing called affection.
Next
Never been kissed until…
Mengikuti alur, hubungan kami pun akhirnya memasuki zona intim. Saya bukan lagi sekadar muridnya, dan dia bukan hanya guru saya. Keluar kata-kata penyataan kasih sayang dari mulutnya, yang kemudian saya terima. Kami saling tahu bagaimana perasaan kami satu sama lain. Tentu saja, itu semua diucapkan tanpa boleh ada orang yang tahu. It’s our big secret, yang pada masa itu justru menjadi perekat hubungan kami. I was his and he’s mine, tapi tak bisa kami ikrarkan dengan suara lantang karena tentu saja akan membahayakan kariernya sebagai guru dan nasib saya sebagai murid sekaligus seorang anak. Mau jadi apa saya kalau orangtua saya tahu anak perempuannya “intim” dengan laki-laki dewasa, yang ternyata gurunya sendiri?
Sadar karena kondisi kami sama-sama tak menguntungkan, ada semacam perjanjian tidak tertulis yang membuat kami tak keberatan untuk melakukan “hubungan bawah tanah”. Kami hanya bisa berbicara dan berlaku layaknya pasangan kekasih ketika tak ada orang di sekitar kami. Sampai suatu sore, saat jam sekolah usai dan hanya tinggal kami berdua di sana, ia memberikan ciuman pertamanya sebagai seorang kekasih. Right on the lips, quite long and wet, and he did it passionately. Jujur, saya kaget dia melakukan itu. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa tanda-tanda, membuat saya terkejut seolah diguyur seember air es dan disetrum dengan ribuan volt. Yang ada di pikiran saya: now, I’m no longer never-been-kissed-girl. I’ve been kissed by someone that I like. Double bonus. Ciuman pertama itu pun berlanjut menjadi ciuman kedua, ketiga, keempat, and it kept counting, selama kondisi memungkinkan untuk kami memiliki kesempatan intim.
Advertisement
Next
The end
Hubungan berbahaya yang memacu adrenalin ini berlangsung sekitar satu tahun. Ada naik turun di dalamnya, tapi bisa kami lewati dengan cara kami sendiri. Pada masa itu, kami seperti sepasang aktor dan aktris kawakan yang sangat pintar berakting—menyembunyikan letupan asmara ketika sedang berbaikan dan emosi saat sedang bertengkar—di depan orang banyak. Kalau dipikir-pikir sekarang, kami pantas diganjar dengan piala Oscar atas gemilangnya akting kami menjalani hubungan backstreet ini. Lucunya, karena tahu ini hubungan abnormal, terlarang, dan tak memiliki masa depan, masing-masing tak pernah bersikap posesif. Dia membuka kesempatan lebar-lebar kepada saya untuk dekat dengan laki-laki lain yang sebaya dengan saya, yang tentunya menawarkan hubungan normal. Kami pun tak takut dengan perpisahan, karena tanpa terucap pun, kami tahu akan datang saatnya kami harus berhenti berhubungan dan memisahkan diri.
Saat perpisahan itu akhirnya datang juga. Saya lulus dengan nilai baik dari bangku SMA dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sementara ia, tetap di sekolah melanjutkan kariernya sebagai pengajar. Pada hari kepergian saya, dia mencium saya untuk terakhir kalinya di tempat yang sama ketika dia pertama kali mencium saya. Bila diartikan dengan kata-kata, ciuman itu mungkin mengatakan, “good bye and good luck for your life.” Dan dengan senyuman, kami mengakhiri hubungan asmara terlarang ini sambil berjanji untuk merahasiakannya sampai kapan pun juga.
Kini, setelah lebih dari 10 tahun berlalu, saya tak memungkiri masih sering teringat dengannya, walau tanpa disertai keinginan untuk bersatu kembali. Kami punya kehidupan kami sendiri. Juga, tak ada satu pun dari kami yang berusaha saling memberi kabar atau sekadar menyapa. Semua sudah berakhir. Bagi saya, ini bukan kisah cinta yang patut saya banggakan, karena meninggalkan penyesalan yang membuat saya merasa seperti pembohong besar. Tapi, tetap saja ada hikmah di baliknya. Saya menjadi perempuan yang “terpaksa” menjadi dewasa lebih dini untuk mengenal laki-laki. Pengalaman ini juga membuat saya tak lagi naïf memandang hubungan cinta.