Advertisement
Next
Hayo mengaku, siapa yang gara-gara patah hati atau depresi akibat terlalu lama lajang pernah, bahkan seringkali, kehilangan semangat dan motivasi? Saya jamin, tak ada satu pun dari kita yang menyangkal. Situasi kehilangan cintayang begitu berharga biasanya malah membuat si makhluk pengandal perasaan (alias perempuan!) lantas menganggap hidup tak ada lagi artinya. Padahal, faktanya cinta bukanlah faktor utama dan segala-galanya dalam hidup.
Ballerin (28 tahun, pengajar) pun tak bisa menyangkal hadirnya perasaan tak berguna sekian lama akibat berpisah dari tunangannya pertengahan tahun lalu. “Heran, sampai sekarang saya masih saja terpuruk dan malas melakukan apa pun. Saya merasa percuma berjuang karena dia sudah tidak ada lagi di sisi saya. Bagi saya, motivasi yang sesungguhnya cuma dia. Jangankan mengajar, beraktivitas sehari-hari saja rasanya malas sekali,” papar perempuan yang dulu dikenal paling anti-absen mengajar ini.
“Perpisahan pasti menyakitkan. Tapi, aku percaya ada kebaikan di balik kesedihan. Beberapa hari terpuruk rasanya cukup buatku, setelah itu aku mencari pelarian. Aku setuju dengan pelarian yang positif. Kalau cinta tak bisa dipegang, apalagi yang bisa kita seriusi selain karier? Ya, kan? Positifnya, aku jadi punya banyak waktu untuk pekerjaan. Lembur yang dulu paling anti didengar, sekarang jadi momen menyenangkan, pembunuh waktu sekaligus belajar lebih banyak. Makin loyal sama perusahaan, akan makin sering dimintai tolong dan pertimbangan, yang otomatis membuat potensiku makin berpeluang terlihat,” dengan antusias Yunita Dwi (24 tahun, reporter) berbagi pengalaman. Patah hati setelah putus dari sang kekasih dua bulan lalu ia percaya malah memberi manfaat dan membuka peluang karier. Imbuh Yuni, “Saatnya bersikap dewasa, serius dan bertanggung jawab pada satu hal yang memang lebih bisa dipegang ketimbang cinta. Pekerjaan bagiku sekarang lebih nyata, sementara cinta selalu abstrak.”
Advertisement
Next
Memang, dibutuhkan kedewasaan dalam menyikapi persoalan cinta, hal itu pulalah yang diutarakan psikolog Fara Dwi Andjarsari dari UPI YAI, agar apa pun yang terjadi dalam suatu hubungan, senang maupun sedih, tidak berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Lebih baik lagi jika persoalan hati itu menjadi warna tersendiri yang bisa memotivasi hidup. “Siap merasakan cinta. artinya siap untuk patah hati, dan sikap dewasalah yang diperlukan untuk menyikapinya,” jelas Fara.
Perbedaan sikap seseorang menghadapi patah hati, seperti kasus Erin dan Yuni, menghasilkan suntikan semangat yang berbeda. Semangat itulah yang nantinya akan mempengaruhi kesuksesan seseorang. Sementara Titis (33 tahun, senior trainer), justru tak menjadikan urusan hati sebagai poin penting dalam hidupnya. “Aku tak menjalin hubungan serius 8 tahun lebih, lho. Beberapa kali kencanku tak berlanjut karena keasyikanku bekerja dan sibuk dengan teman-temanku sendiri. Pada akhirnya, yang aku lebih pikirkan sekarang adalah bagaimana aku bisa terus sukses dan membahagiakan orang-orang yang kusayangi. Pasangan hidup masih bisa dicari, tapi kesempatan naik jabatan, juga menyenangkan mama-papa, misalnya, kan ada batas waktunya.”
Happiness is not having what you want, but wanting what you have. Cintai dan nikmati pekerjaanmu kalau memang karier yang bisa kamu pegang saat ini, dengan begitu kamu akan selalu melakukan yang terbaik. Jadikan karier sebagai sesuatu yang berharga sekaligus media untuk membuat diri lebih berharga, maka orang lain pun bisa lebih menghargaimu. Kalau sudah begitu, siapa sih yang bakal berpaling ketika melihat perempuan lajang yang menarik, supel, smart, plus punya jenjang karier membanggakan? No one!