Advertisement
Next
Kita tahu, media sosial adalah media relasi yang menghubungkan kita dengan banyak orang. Dari sana, kita bisa menemukan beragam tipe, sifat, maupun kepribadian orang lain, termasuk kebiasaan mereka membuat status penting-tak penting (baginya penting, tapi tidak bagi kita), bahkan tak jarang mengarah ke pihak-pihak tertentu.
Setujukah kalau hal itu dikategorikan sebagai verbal bullying? Parahnya, kekerasan verbal itu tak hanya meresahkan korban “objek penderita”, tapi juga kita sendiri sebagai orang-orang yang secara sengaja maupun tidak menjadi pelanggan setia yang membaca tiap status buatan mereka. Maksud awal yang mengarah pada satu atau beberapa pihak, justru hasilnya berdampak lebih luas. “Benar banget, bukan cuma orang yang dituju kan, yang membaca status yang seseorang buat? Semua orang yang membaca akan ikut risih kalau terus-menerus disuguhi tulisan kasar, umpatan, sindiran,” ungkap teman saya saat membahas perihal status-status mengganggu ini. “Lepas dari ikut tersindir, atau cuma sekadar risih, tetap saja mengganggu mata,” teman lain menanggapi.
Tak jarang media sosial jadi tempat berkeluh-kesah, tempat orang menumpahkan uneg-uneg, protes, sampai perkataan yang mengarah ke pihak tertentu. Seolah menjadi sangat sulit menemukan orang-orang yang senantiasa berpikiran positif. Kalau ditilik ulang, wajar kita berujar apa pun di media sosial, wajar juga orang berpikiran negatif. Semua manusiawi, dengan catatan selama itu masih masuk dalam taraf yang wajar.
Advertisement
Next
Pikiran negatif nyatanya memang senang berada di sekeliling kita sehingga lebih mudah ditangkap daripada pikiran positif. Mungkin, apa yang kita maupun orang lain utarakan adalah hal negatif yang sepele dan biasa saja, seperti keluhan saat rekan kerja telat, jalanan macet, sampai gerah mendengar obrolan orang sebelah yang tak bermutu. Tapi, ternyata keluhan demi keluhan itu lama-kelamaan bisa berubah “mengganggu”. “Saat buka timeline maunya refreshing di sela-sela rutinitas kerja, eh tapi jadinya tambah malas gara-gara isinya orang yang mengeluh, yang marah-marah,” cerita Rury (25 tahun, reporter).
Pikiran negatif tak datang sendiri Fimelova, melainkan bisa juga terpengaruh dari lingkungan sekitar, apa yang kerap kita lihat dan juga perhatikan. Makin banyak orang berpandangan, berucap, bertingkah negatif, kita pun akan ikut melakukannya karena orang-orang sekitar punya andil cukup besar untuk ikut membentuk pikiran kita. Sebaliknya, kita pun punya andil membentuk pikiran orang-orang terdekat. Karena itu ada baiknya saling menjaga sikap dan perkataan agar sama-sama membangun, bukan saling menjatuhkan dengan obral kata-kata negatif.
Sudah tahu kan, sebegitu mengganggunya pikiran negatif orang yang terungkap di media sosial? Kalau kita dan orang lain merasa terusik, sudah saatnya move on dan lupakan untuk berkeluh kesah di ranah tersebut. “Sebenarnya bisa kok, menghindari curhat nggak penting di media sosial. Ganti saja dengan quote motivasi atau kata penyemangat. Kan, masih dalam rangka menggambarkan perasaaan kita, tapi dengan cara yang lebih berguna. Bermanfaat juga untuk orang lain, bisa ikut termotivasi,” saran Nike (24 tahun, beauty advisor).
Bukannya dalam Efek Kesehatan dari Pikiran Negatif karya Masaru Emoto dijelaskan bahwa pikiran negatif cuma akan membawa pengaruh yang negatif pula untuk kita? Stres akibat pikiran negatif menyebabkan gangguan pencernaan, membiarkan rasa takut memenuhi hati akan membuat ginjal bermasalah, kerap emosi membuat virus hepatitis mendekat. Dan, satu lagi, bahwa pikiran sampai ungkapan negatif bak virus yang siap menular dengan cepat, virus merugikan yang paling ampuh mengembangbiakkan verbal bullying. Kalau tak mau resah dan risih dengan perkataan orang lain, tahan diri sendiri dulu untuk berkata-kata sembarangan. Peace!
Empowered by: