Advertisement
Next
Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan selalu meningkat setiap tahunnya. Angkanya bisa mencapai lebih dari 80.000 jiwa. Gelandangan dan pengemis ini terdiri dari warga setempat atau para pendatang. Bahkan, di beberapa momen tertentu seperti Bulan Ramadhan dimanfaatkan baik oleh para gelandangan dan pengemis. Jumlah mereka bisa meningkat hingga 10% pada bulan tersebut. Setelah melakukan investigasi kecil-kecilan, saya baru mengerti mengapa peningkatan ini terus terjadi.
Seorang teman pernah bercerita tentang pengalamannya melihat sebuah mobil berhenti pada pukul 01.00 pagi di bawah jalan layang sebuah kawasan perumahan di Tangerang. Mobil tersebut kemudian mengangkut beberapa gelandangan dan pengemis yang sudah berkumpul sebelumnya. Rasa penasaran terhadap cerita ini mengantarkan saya bertemu dengan Dodo (10), seorang pengemis di kawasan perumahan tersebut. Lewat obrolan santai, malam itu ia bercerita tentang kesehariannya sebagai pengemis, salah satunya adalah mengenai adanya orang yang mengkoordinatori para pengemis.
Advertisement
Koordinator pengemis ini memiliki beberapa ‘anak buah’ yang kemudian dibentuk menjadi kelompok-kelompok yang masing-masing beranggotakan 7-10 orang. Berdasarkan pengalaman Dodo, para pengemis biasanya diantar pada pagi hari ke titik-titik tempat yang telah ditentukan. Mereka mulai bekerja dari jam 06.30 sampai sekitar 17.00. Lalu mereka akan kembali dijemput pada dini hari, saat jalanan mulai kosong. Setiap harinya, Dodo dan beberapa pengemis yang lain harus menyetor sekitar Rp 30.000,00 kepada koordinatornya.
Beberapa dari kita mungkin heran, karena jumlah tersebut semestinya terbilang banyak bagi seorang pengemis. “Bayar segitu sih masih bisa, mbak. Saya dapet jauh lebih gede, kok,” ungkap Dodo dengan menyebutkan bahwa dalam sehari minimal yang dia dapat adalah Rp 300.000,00. Jelas jumlah tersebut tidak sedikit. Padahal Dodo ditempatkan di kawasan perumahan, bagaimana dengan pengemis di jalan utama ibukota? Seorang pedagang kaki lima di daerah Bulungan, Blok M, mengakui bahwa pengemis yang berkeliaran di sekitar daerah tersebut dapat berpenghasilan tidak kurang dari Rp 500.000,00 setiap harinya. “Mereka bisa dapetin sampai Rp 700.000,00. Kita sering kok nuker uang kecil sama mereka.”
Next
Tidak percaya dengan fenomena ini? Coba kita lakukan hitung-hitungan kecil tentang penghasilan para pengemis. Menurut Dodo, tempat mengemis paling strategis memang di lampu merah. Rata-rata mereka bekerja dari pukul 07.00-17.00 (10 jam) dengan lampu merah biasanya menyala selama 60 detik. Dalam satu jam, lampu merah bisa menyala 30 kali. Kalau rata-rata setiap lampu merah menyala, seorang pengemis mendapatkan Rp 2000,00 (saja), maka dalam satu jam pendapatannya bisa mencapai Rp 60.000,00. Lalu kita kalikan 10 jam waktu kerja dia, sehingga jumlah penghasilannya dalam sehari bisa mencapai Rp 600.000,00. Berarti dalam sebulan, mereka bisa memiliki sekitar Rp 18.000.000,00. Setahun? Bisa kamu kalikan sendiri. Jumlahnya pasti besar.
Melihat kenyataan ini seharusnya kita jadi sadar alasan Pemerintah Provinsi selalu menghimbau masyarakatnya agar jangan memberikan sedekah kepada pengemis. Kerja sedikit dengan keuntungan yang besar jelas menjadi lahan aktivitas menggiurkan, namun menanamkan mental pemalas yang dapat merugikan masa depan bangsa. Lebih jauh lagi, kegiatan menjanjikan ini dapat memancing pendatang dari luar daerah untuk ikut mengemis di Jakarta.
Hmm, sepertinya akan lebih bijak jika kita bersedekah langsung ke yayasan atau lembaga resmi yang memang disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Bagaimana menurutmu?