Advertisement
Next
Emosi sangat mungkin membuat siapa pun terpancing untuk mengeluarkan perkataan pedas, juga nada bicara yang tinggi. Ini saya alami beberapa waktu lalu. Saya sempat bertemu dengan seorang owner salah satu perusahaan yang sedang berkembang pesat di sebuah acara. Kesan pertama, beliau terlihat profesional dan menyenangkan. Tapi, tak sampai 4 jam bersama beliau bersikap, yang menurut saya dan beberapa teman, sangat tidak profesional. Ketika ada yang membuatnya tak berkenan, beliau mengeluarkan kata-kata pedas, dan beberapa kali bicara dengan nada yang tak enak didengar, padahal beliau ada di ruang publik, dan di sekelilingnya pun “bertebaran” publik figur lain. Emosi yang memuncak membuatnya tak lagi menjaga pencitraan, ribut ke sana-sini, minta ini-itu tanpa memedulikan sopan santun. Sikap profesional yang semula ditunjukkan hilang begitu saja. Lantas, jadi wajar kan, ketika akhirnya tak satu pun orang respect dengan beliau?
Momen-momen seperti itu tentu tak hanya membuat orang-orang di sekeliling jengah, tapi juga merugikan diri sendiri yag kehilangan simpati publik. Padahal, siapa sih, yang rela emosi yang meluap membuat image yang sudah dibangun susah-payah tercoreng begitu saja? “Saya juga pernah memiliki atasan perempuan yang suka sembarang bicara, apalagi kalau marah. Anehnya, itu dilakukan cuma di depan anak buah, sementara dengan teman atau klien sikapnya manis banget! Akhirnya, anak buahnya satu per satu kabur saking nggak betah sama sikap semena-menanya,” cerita Venilla Maria (24 tahun, frontliner).
Perempuan memang cenderung dikenal lebih menggunakan perasaan ketimbang pikiran. Memahami kekurangan diri sendiri, seharusnya kita bisa mengatasinya, dong? Paling tidak, meminimalisasi dengan berusaha mengendalikan diri. Tak mudah memang, tapi kita bisa mulai dengan terapi berterima kasih. Dalam tiap hal yang kita alami atau lakukan, yang di dalamnya melibatkan orang lain, dalam situasi apa pun, berterimakasihlah.
Advertisement
Next
Berterima kasih yang tak sekadar ucapan tentunya, tapi dengan tulus. Berterima kasih merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur yang membuat kita selalu berpikir positif, sehingga secara tak langsung berpengaruh pada kondisi emosi kita sendiri. Daripada berpikir tentang apa yang menyakitkan, apa yang hilang, dan apa yang terlewatkan, lebih baik berpikir tentang pelajaran apa yang kita dapat dari kejadian yang kita alami, apa yang diambil dari kejadian itu untuk membuat pribadi kita menjadi lebih baik.
Ungkapan syukur akan membuat kita makin sabar dan bijak menghadapi apa pun. Cuma dengan berterima kasih, segala hal menjadi lebih baik dan perkataan sembarangan tak lagi sempat kita pikirkan. “Orang cenderung enggan mengucapkan terima kasih saat suasana hati sedang tak baik, apalagi ketika sedang marah. Padahal, kalau mau sedikit saja bersikap rendah hati dengan mengucapkan terima kasih di segala situasi, kita nggak perlu kehilangan banyak energi untuk marah atau berkata-kata. Orang makin menghormati kita karena sikap bijak kita, sementara kita pun diuntungkan dengan emosi yang stabil,” saran Christine Sukmasari (27 tahun, entrepreneur).
Ya, terima kasih tak melulu harus diucapkan atas bantuan atau kebaikan orang lain. Tak ada salahnya terus mengucapkannya tiap saat, karena kehadiran siapa pun dalam hidup kita pasti memiliki sisi positif. Seperti kata Amie Gordon, seorang peneliti asal University of California, Berkeley—yang pernah mengadakan riset mengenai kebiasaan masyarakat Inggris mengucapkan terima kasih—dengan sering mengucapkan terima kasih artinya kita menciptakan sebuah hubungan yang sehat dan bahagia, wujud atau bukti kita menghargai orang lain dan menjauhi emosi yang cuma memancing konflik batin baru.
Speak for peace, bicarakan hal yang menurut kita bermanfaat ketika diungkapkan, dan redam emosi yang memancing konflik dengan ucapan terima kasih. Hidup damai, selalu lebih menyenangkan ketimbang terjebak dalam emosi dan perseteruan. Setuju?
Empowered by: