Advertisement
Next
Tiap pilihan selalu punya sisi positif & negatif
Sejak kecil, Vivi mengaku lebih dulu bisa menggambar ketimbang menulis. Walaupun begitu, ia sama sekali tak memasukkan “profesi” seniman dalam daftar karier impiannya, karena rofesi pertama yang ia kenal justru pramugari. Toh, akhirnya ia memang tak bisa jauh dari seni. Pertama kali bekerja sebagai account executive di sebuah agensi, Vivi kemudian menerima tawaran bekerja untuk South East Asia Painting Department Sotheby’s ketika berusia 26 tahun, dan sempat pula memimpin Acting Representative Office Sotheby’s di Indonesia. “Penyakitku sebenarnya tidak suka dengan kenyamanan. Tak perlu 10 tahunlah, 5 tahun pertama sudah ingin keluar tapi ditahan,” Vivi membuka rahasia.
Advertisement
Lanjut Vivi, “Aku cuma berpikir sudah 10 tahun di Sotheby’s, masak mau selamanya di sana. Sotheby’s itu sekolah bagiku, dan vivi yip art room untuk mengaplikasikan apa yang kupelajari di sana dengan kreativitasku sendiri. Saat resign pun belum berpikir mau apa ke depannya. Sempat ditawari menjadi direktur galeri di Beijing. Sudah hampir mengiyakan waktu itu, tapi kemudian berpikir ulang. Ternyata aku ada nilainya ya, sampai ditawari posisi itu. Artinya, kalau aku bisa melakukan sesuatu kenapa aku harus melakukannya untuk seniman Beijing, kenapa tidak untuk seniman Indonesia?”
Akhirnya Vivi menolak tawaran bekerja di Beijing dan memilih santai selama sekitar 1 tahun. Di sela-sela waktu santainya itu ia sempat mengurus boutique hotel dan membuat workshop desain di Yogyakarta. “Dipikir-pikir lagi, ya sudah bikin galeri aja. Dan ketika ide itu muncul kebetulan sudah ada jalannya. Berlanjut sampai sekarang, deh. Di sini aku bisa merasakan menjual artworks seharga 20 juta rupiah dengan lukisan seharga USD 1 juta ketika di Sotheby’s itu sama nikmatnya. Tapi kembali lagi, tiap pilihan selalu punya sisi positif-negatif, baik-buruk, dan untung-ruginya.”
Tak punya mimpi, yang penting menikmati…
Selama berkarier di Sotheby’s sampai akhirnya sukses mendirikan vivi yip art room, Vivi menganggap perjalanan kariernya selalu lancar, tanpa halangan berarti. “Puji Tuhan selalu ada malaikat-Nya dan teman-teman yang siap mendukung. Tidak ada kejadian dramatis yang bisa diceritakan sih, tiap hari kita juga bisa up and down, tapi itulah hidup. And life is beautiful that way. Belum pernah, misalnya, sudah tanggalnya pameran tapi karya belum, atau klien tidak membayar. Aku selalu percaya kita akan menuai apa yang kita taburkan, jadi yang harus selalu diingat menaburlah yang baik, itu aja. As simple as that,” cerita Vivi.
Lalu apa sih, impian Vivi dalam waktu dekat maupun jangka panjang yang menunggu untuk terwujud? Tak ada. Vivi memilih membiarkan semuanya mengalir. Tapi justru itu yang membuat segalanya berjalan lancar dan terus maju tanpa harapan muluk. Ungkapnya, “Just live one day at a time and enjoy every second. Contohnya nih, galeriku yang baru 5 tahun berdiri sudah berkali-kali diundang ke art fair luar, sementara galeri lain yang jauh lebih tua banyak yang belum pernah mendapat undangan. Bahkan sampai dipaksa-paksa ikut, lho. Intinya, yang terpenting kita melakukan apa pun dengan baik dan benar, dan kita menikmatinya. Soal hasilnya bagaimana itu reward. Banyak anak muda sekarang hanya melihat gaji ketika bekerja. Padahal, kita tidak cuma mendapatkan materi, tapi juga proses belajar, koneksi, sampai pembentukan kepribadian dari pekerjaan kita. Itu yang harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.”
Next
Rasa hormat, kunci hubungan langgeng
Menikah dengan Bre Redana—redaktur seni dan budaya harian Kompas—sejak tahun 2005, Vivi mengaku sangat mudah beradaptasi. “Kami dekat bukan karena terpaksa atau dipaksa, juga tidak secara spesial mencari waktu. Aku bercerai, dan saat bertemu dengan Bre itu bukan dalam rangka mencari suami. Ya mencari teman aja. Tidak ada yang spesifik kenapa akhirnya kami bisa menikah. Dibilang selalu nyambung juga tidak. Kalau dibilang bisa sama-sama karena kami aktif di dunia seni juga tidak, kan kami beda ‘jalur’. Banyak hal yang kadang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. You only know it. Makin saling kenal dan tahu, makin suka aja,” itu yang Vivi ungkapkan ketika ditanya tentang hubungan asmaranya.
Vivi berbagi pengalaman, “Kuncinya komunikasi, bukan harus secara verbal, tapi lebih ke saling mengerti. Kita ini individu yang menikah, jadi bukan lantas jadi satu orang. Kita tetap individu yang independen dengan ruang masing-masing. Aku pernah gagal dalam rumah tangga. Dan kesalahan yang paling fatal bukan karena ada atau tidak adanya cinta, tapi rasa hormat yang hilang. Saat kita dekat dengan seseorang dan sudah tahu baik-buruknya, kadang kita lebih berani menuding atau mengoreksinya saat dia melakukan kesalahan. Kalau kita masih menaruh hormat, itu akan mencegah salah pengertian. Kalau untuk kelanggengan hubungan, harus respect. Singkatnya, semua mengalir tanpa paksaan dan batasan. Ya, kita ngomongin segala macam, we are best friend for each other. Saling becermin, saling berbagi, saling menertawakan....”
“Perfer et obdura, dolor hic tibi proderit olim: be patient and tough, one day this pain will be useful to you.”
Sukses karena konsekuen
“Waktu aku mau keluar dari Sotheby’s, Bre memberi kebebasan. Aku mau kerja boleh, tidak kerja juga tak masalah. Aku bekerja dari umur 19 tahun dan ini saatnya aku bebas melakukan apa yang aku mau. Apa pun yang aku lakukan dia mendukung. Kalau banyak perempuan bekerja yang tidak didukung suami, mungkin karena mereka tidak konsekuen dengan pilihannya. Pulang kerja berkeluh-kesah capek, suami diomelin, anak tidak diurus, suami kan, jadi sebel juga. Atau merasa bossy karena punya penghasilan sendiri, misalnya. Jadi, sebagai perempuan karier kita harus konsekuen,” tegas Vivi.
Vivi berujar lagi, “Meski klise, penting untuk diingat: know yourself, be yourself and express yourself.” Tiga hal ini jadi kunci untuk terus belajar dan berkembang. “Perfer et obdura, dolor hic tibi proderit olim: be patient and tough, one day this pain will be useful to you,” ia melengkapi. Menurutnya, dalam berproses kita pun harus terus bersabar dan kuat, karena yang akan kita temui dan alami, seburuk apa pun, pasti berguna di masa depan. Ya, tak perlu muluk-muluk memimpikan sesuatu, jalani semua sebaik mungkin dan konsekuen dengan pilihan yang kita ambil, mimpi itu nanti akan terwujud dengan sendirinya. Great lessons!
Advertisement
Next
Rumah: tempat favorit habiskan waktu
Menjadi pemilik sebuah galeri, bukan berarti hari-harinya disibukkan dengan banyak aktivitas. Vivi malah lebih suka tinggal di rumahnya di Ciawi, Bogor, yang diakuinya sebagai tempat favorit untuk refreshing maupun mencari ide. “Aku tidak punya rutinitas tetap, sih. Biasanya bangun pagi, sarapan, olahraga, bekerja di rumah 2 sampai 3 jam per hari. Ke galeri cuma kalau ada janji,” ungkapnya santai. Siapa menduga sosok yang dikenal seniman di kalangan sosialita dan sebagai sosialita di kalangan seniman ini hobi masak. Ya, ia menceritakan cara ternyamannya menghabiskan waktu: masak; baca; makan; tidur; spend time bersama sang suami, keluarga, dan sahabat. “Begitu terus setiap hari,” ungkap Vivi sambil tersenyum.
Fashion is fun!
Dalam memilih karya, Vivi menjadikan alam sebagai sumber inspirasinya, demikian juga ketika memilih outfit dan teman-temannya, “Memilih fashion juga begitu kan, variasinya macam-macam,” imbuhnya. Dan ketika ditanya mengenai kefanatikan dengan brand tertentu, Vivi pun mengaku lebih senang memadu-padankan sendiri, “Fashion itu fun, jadi be creative aja!”
Suka Harry Potter, benci film horor
Ternyata, perempuan kelahiran tahun 1972 ini juga suka sekali membaca. Ia mengaku membaca apa saja, “Mulai dari Harry Potter sampai karya Thomas L. Friedman.” Selera musiknya pun beragam, asal enak didengar, katanya. Untuk film, Vivi juga penikmat segalanya kecuali film horor, kekerasan, dan perang. Segala hal yang berbau eklektik, sudah pasti sesuai dengan seleranya.
Next
Vivi Yip di mata sahabat
Berbincang panjang-lebar dengan Vivi, kurang afdal jika kami tak menanyai langsung para sahabat tentang sosoknya. Beruntung, kami pun dapat “bocoran” dari salah satu Fimelista kami, Samuel Mulia, dan Cicilia King, Communication Manager Louis Vuitton (Indonesia).
- Vivi Yip itu...
SM: Baik banget sebelas-dua belas sama malaikat. Selain bisa judes dan galak, dia juga pintar.
CK: Always a “to the point” person, very self confident, and a kind hearted person.
- Tentang style…
SM: Out of the box. Dia itu memiliki kepribadian yang sangat kuat. Dia tidak meniru tren, dia menciptakannya sendiri. Orang itu kalau percaya dirinya tinggi, ya gaya berpakaiannya bisa keren. Dia juga tidak bergantung pada brand tertentu, bisa beli sepatu YSL sekaligus tas tangan yang murah meriah.
CK: Edgy, Androgyne, has her own-style, explorer in any fashion statement including color (not a too bright girlie color person), she loves (unique) clutches, she loves booties... wedges and gladiator strap sandals (with or without heels).
- Vivi Yip dan hobi memasak...
SM: Hahahaha, yang ini saya nggak tahu, tapi dia memang suka upload masakannya di group chat sih, seingat saya. Saya sendiri belum pernah merasakan makanannya. Hobi lain Vivi itu traveling dan spiritualism.
CK: She loves to try cook different dish (mostly Indonesian dishes). Other hobbies: traveling, sleeping, hair coloring… and meditation.