Advertisement
Next
HE Says:
“Lebih baik bad sex, karena laki-laki perlu memuaskan hasrat seksualnya. Yang penting kita bisa menyalurkan, daripada ditahan-tahan.”
Advertisement
-Agung, 30 tahun, staf keuangan-
“No sex. Benahi dulu hubungan, baru pikirkan seks. Walaupun aku laki-laki yang lebih mementingkan kepuasan, tapi aku juga mau pasangan merasa puas. Jadi, kedua belah pihak diuntungkan.”
-Apri, 26 tahun, dosen-
“No sex. Kalau aku suka sementara pasangan terlihat nggak menikmatinya, aku lebih memilih menghindari seks. Kalau dipaksain, aku bisa jadi ilfeel.
-John, 20 tahun, mahasiswa-
“No sex, karena bad sex itu nggak enak banget rasanya.”
-Bobby, 27 tahun, dokter gigi-
“Pilih seks yang buruk karena makin sering dilakukan, makin belajar lebih baik lagi. Daripada berhenti mencoba, kan.”
-Kriss, 26 tahun, entrepreneur-
Next
SHE Says:
“Aku lebih memilih tidak melakukan hubungan intim sama sekali daripada tidak nyaman. Hubungan intim dilakukan untuk mencari kenyamanan, nah kalau tidak mendapatkannya untuk apa? Tapi, kalau memang aktivitas seks buruk karena suatu sebab permanen, ya semua harus kembali dikomunikasikan.”
-Ara, 28 tahun, senior account executive-
“Enggak keduanya. I don’t like bad sex and I don’t like if I don’t have sex. Tapi, kalau terpaksa aku lebih memilih bad sex karena lebih baik nggak mencapai klimaks daripada nggak melakukannya sama sekali.”
-Indy Barends, 40 tahun, Fimelista-
“Bad sex. Menurutku seks yang buruk masih bisa dikomunikasikan, daripada nggak berhubungan intim.”
-Dilla, 24 tahun, promotion staff-
“Tidak cuma mencari kepuasan lahiriah, tapi juga batiniah. So, better no sex!”
-Retno, 28 tahun, graphic designer-
“Bad sex. Alasannya jelas, aku tetap bisa merasa dekat dengan pasangan walaupun nggak merasakan klimaks.”
-Tyas, 25 tahun, writer-
Advertisement
Next
Banyak pasangan lebih memilih menyembunyikan atau berpura-pura tak peduli dengan kekurangan dirinya maupun pasangan saat di ranjang, sehingga tak tertarik mencari solusi atas masalah itu. Tidak adanya keterbukaan membuat permasalahan ini makin lama makin membuat jengah. Padahal sederhana sekali, solusi masalah ranjang sebenarnya terletak di diri sendiri dan pasangan kita. “Sempatkan berbicara tentang kebutuhan dan keinginan masing-masing untuk mencapai klimaks bersama, itu solusinya,” saran Seksolog Mulyadi Tedjapranata dari Medizone Clinic.
Atas bermacam alasan pula, mulai dari aktivitas yang padat sampai tak ada waktu untuk melakukannya, aktivitas seksual tak berjalan lancar, bahkan sama sekali dilupakan. Padahal, dalam Till Sex Do Us Part karya seorang pakar seks Trina Read, kita perlu merencanakan aktivitas ranjang untuk mendapatkan kepuasan bersama, sementara kebanyakan perempuan masih menganggap seks identik dengan spontanitas. Hal ini pulalah yang membuat aktivitas ranjang seringkali jadi masalah, yang berujung pada seks yang buruk.
Dari jawaban yang sudah kalian baca tadi, seks buruk maupun pilihan untuk tidak melakukan hubungan intim dipilih setelah melalui pertimbangan yang mengaitkannya dengan perasaan atau emosi tertentu. Karena itu, untuk mendapatkan seks yang hebat, kita harus melupakan hal lain dan hanya fokus pada sesi bercinta. Rasa lelah, kesal, bahkan tidak percaya diri dengan bentuk tubuh bukan halangan untuk tetap bercinta karena justru dengan aktivitas itu segala macam rasa tak nyaman bisa perlahan hilang. Ini terjadi karena hubungan intim yang memuaskan bersifat analgesik.
Atau, kalau masih tak merasa nyaman untuk berintim ria dengan pasangan, Stella Resnick melalui bukunya, Heart of Desire, menyarankan kita untuk berbaring dengan keadaan telanjang dengan pasangan dan pastikan tetap bersentuhan, karena kontak kulit dengan kulit dengan sendirinya memicu gairah. So, bad sex bukan momok lagi kan, untuk kita dan pasangan? Sukses atau buruknya kehidupan seksual ditentukan oleh bagaimana kita selalu berpikir positif, mengorganisasi perasaan, dan menjaga keharmonisan hubungan.
Yuk, siap-siap menikmati sensasi bercinta tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan buruk atau berpikir untuk berhenti melakukannya. Just enjoying “the game”, Fimelova!