Advertisement
Next
Deadline, artinya ada batas waktu dan jadwal tertentu yang merupakan harga mati. Penuhi batas waktu itu, atau lupakan sama sekali. Memutuskan menikah, seperti yang sudah dikatakan, membutuhkan kemantapan hati dan perlu mempertimbangkan berbagai hal. Tapi, bagaimana jika deadline menikah terus membayangi dan “meneror” hidup kita? Bagaimana menyelaraskan kebutuhan untuk memenuhi target dengan kemantapan hati tanpa terbawa emosi sesaat, juga perencanaan rumah tangga yang matang?
Biasanya, orangtua menginginkan anak menikah pada usia tertentu, sehingga ketika mendekati batas umur yang diinginkan, mereka terus-terusan mengingatkan, bahkan ikut andil mencarikan pasangan. “Nggak masalah mereka ikut mencarikan pendamping, yang penting keputusan final tetap ada di aku. Aku sendiri nggak mau sembarangan memilih, tapi juga serba salah karena mereka ngotot masalah target. Aku bahkan sempat berpikir untuk menerima seadanya saking putus asanya,” Heny (31 tahun, staff administrasi) berbagi kisahnya. Pada akhirnya, Heny menemukan pendamping lewat dari deadline orangtuanya, tapi ia nggak menyesal karena pasangannya sekarang adalah laki-laki yang paling tepat. “Orangtua pasti ingin yang terbaik untukku, makanya mereka mau aku menikah dengan orang yang tepat di usia yang pas juga, 26 tahun, tapi kan, jodoh bukan kita yang mengatur. Stres saat-saat berat itu terbayar sudah. Coba ketika itu aku asal memilih, entah jadinya seperti apa rumah tanggaku,” tutup Heny.
"Sadar atau nggak, deadline hanya akan membuat siapa pun terburu-buru mengambil sikap, kehilangan fokus pada masalah yang lebih penting: kesiapan mental dan pertimbangan matang sebelum memutuskan beranjak ke hubungan yang lebih jauh."
Advertisement
Tak cuma orangtua, kita sendiri pun punya target menikah. Tiba usianya, pernahkah langsung berpikir pasangan kita saat itulah yang akan jadi teman menghabiskan sisa hidup? Atau, masih terus membuka diri untuk kemungkinan-kemungkinan bertemu pasangan lain? Loli mengatakan pernah bertunangan dengan laki-laki yang dipacarinya saat umurnya mendekati target impian untuk menikah. Alasannya karena dua keluarga sudah setuju dan mereka sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Tapi, di luar ia pun nggak menutup diri dan dekat dengan banyak laki-laki. “Mungkin itu yang membuat aku berpikir ulang, selain aku juga belum sepenuhnya cinta dengan tunanganku. Sadar sepertinya dia bukan yang terbaik, aku pun memutuskan pertunangan,” ceritanya.
Ini salah satu hal membuat banyak hubungan yang sudah terjalin serius akhirnya kandas juga, hanya karena pemikiran kurang matang dan keraguan yang sebenarnya masih ada tapi tertutupi dengan deadline. Sadar atau nggak, deadline hanya akan membuat siapa pun terburu-buru mengambil sikap, kehilangan konsentrasi dan nggak fokus pada masalah yang lebih penting: kesiapan mental dan pertimbangan matang sebelum memutuskan beranjak ke hubungan yang lebih jauh. Siapa pun sangat paham jika mengambil keputusan dengan terburu-buru nggak akan memberikan hasil maksimal, tapi siapa pun juga akan melupakan pehamanan itu ketika terpojok oleh tenggat atau batas waktu yang bagai teror itu.
Next
“Sebenarnya deadline nggak selalu berefek buruk. Cinta memang nggak bisa terburu-buru. Karenanya, dalam hubungan yang masih baru, kita harus benar-benar yakin ada cinta di sana, lalu cukup berkomitmen untuk pelan-pelan menumbuhkan kepercayaan dan kepedulian. Baru setelah semua unsur ada, beranikan diri membuat target bersama pasangan, bukan target pribadi, agar perjuangan menuju ke pernikahan bisa dilakukan bersama-sama. Itu sih, yang aku terapkan dalam hubunganku sampai akhirnya menikah. Semua berjalan mulus dan deadline umur pernikahan, ketika itu 26 tahun, sangat membantu kami bersemangat mewujudkannya,” Nara (28 tahun, entrepreneur) membagi rahasia hubungannya.
"Deadline hanyalah sarana untuk membantumu membuat rencana ke depan dan merealisasikannya, bukan hukum wajib yang berdosa bila nggak dipenuhi atau jadi teror sampai target terpenuhi."
Menarik ya, nggak cuma tugas kuliah dan pekerjaan yang membutuhkan deadline. Pernikahan pun punya batas waktunya sendiri bagi tiap individu. Orangtua mendesak padahal calon belum menampakkan batang hidungnya, calon mertua berkali-kali bertanya, pacar ngebet melamar, sampai diri sendiri yang keburu ingin merasakan pahit-manisnya hidup berumah tangga. Nggak ada salahnya mulai mengomunikasikan semua dengan lebih terbuka ke pasangan, keluarga, dan calon mertua tentang pertimbangan-pertimbangan yang kamu pikirkan, dan mencari jalan keluar bersama-sama tanpa perlu terburu-buru dan terpatok dengan deadline. Deadline hanyalah sarana untuk membantumu membuat rencana ke depan dan merealisasikannya, bukan hukum wajib yang berdosa bila nggak dipenuhi atau jadi teror sampai target terpenuhi.
Ingat, pernikahan bukan final, melainkan start. Untuk menuju permulaan “hidup baru” itu perlu perencanaan masa depan yang matang, lepas dari pas atau nggak dengan deadline. Daripada memikirkan batas waktu yang kian dekat, seperti dalam The Hard Questions: 100 Essential Questions To Ask Before You Say ’I Do’-nya Susan Piver, lebih baik memikirkan apa yang akan kamu lakukan saat sudah berumah tangga nanti, dari penyesuaian diri, tempat tinggal, rencana memiliki anak, pembagian tugas rumah tangga, dan hal lainnya. Kalau sudah siap “bertemu” dengan banyak hal baru yang nggak bisa disepelekan itu, baru kejarlah targetmu untuk menikah!