Advertisement
Next
Mari kembali menelurusi poin keempat. Benarkah seseorang nggak bisa hidup bahagia tanpa pendamping? Ya, banyak orang yang percaya mereka hanya bisa bahagia ketika bersama seseorang yang mereka inginkan. Kalau kamu juga salah satu yang berpikir seperti itu sementara setelah penantian dan pencarian belum juga menemukan pasangan sumber kebahagiaanmu itu, apakah kamu akan terus merana, terpuruk, dan patah hati? Sadar nggak sih, emosi yang timbul hari ini, sedih dan senang, sebenarnya diciptakan oleh diri kita sendiri?
Terkadang kita merasa kecewa pada orang lain dan perasaan kecewa itu terbawa sampai merusak mood, atau gebetan tiba-tiba menghubungi dan kegembiraan itu terbawa sampai membuatmu seharian penuh berseri-seri. Kemudian, kita berpikir bahwa merekalah yang membentuk emosi kita dan yang bertanggung jawab atas perasaan kita. Padahal, sebenarnya kita sendiri yang memilih mau kecewa atau gembira, kita yang mengizinkan salah satu emosi dalam diri menonjol dan mendominasi emosi lainnya.
Advertisement
Next
Mutia (29 tahun, traveler) berujar “Tahun pertama dan kedua lajang itu saat paling berat buat aku. Dari yang sama sekali nggak pernah sendiri, harus merasakan sendiri sekian lama. Kalau melihat teman lain sama pasangannya, atau satu per satu menikah, rasanya miris. Balik lagi selalu menyalahkan keadaan kenapa aku nggak bisa sebahagia mereka. Tapi, lama-lama aku sadar kalau sekarang harus membagi pikiranku antara karier dan pasangan rasanya aku memang belum mampu. Dari sana aku bisa menikmati kesendirian ini. Ketika ikhlas, ternyata rasanya plong juga dan hidupku buktinya tetap menyenangkan.”
“Sementara aku sudah tiga tahun menikah, tapi bisa dibilang tiap hari hidup sendiri. Suami berlayar dan baru pulang 6 bulan sekali. Jadi, mau nggak mau aku harus turun tangan mengurusi semua urusan rumah tangga. Berat pasti kalau terus diratapi,” sambung Olan (25 tahun, ibu rumah tangga) membagi pengalamannya, “Tapi, jangan mengecilkan kemampuan kita sendiri. Justru perempuan dikaruniai kelebihan untuk me-manage segala sesuatu dengan baik. Aku juga merasa lebih mandiri karena situasi membentukku demikian, dan siapa bilang nggak bahagia. Aku punya mimpi, punya suami yang kutunggu kepulangannya, jadi nggak ada alasan untuk nggak bahagia.”
“Kamu harus percaya pada dirimu sendiri, dengan begitu punya seseorang di sisimu atau nggak, nggak akan jadi masalah buatmu karena modal utama untuk menyelesaikan segalanya sendirian sudah kamu pegang. Yang kedua, apapun keadaanmu, jadikan sebagai pelajaran baru yang menguntungkan sehingga harus ditanggapi dengan positif plus ucapan syukur,” Mez (33 tahun, supervisor purchasing) ikut memberi masukan berdasarkan pengalamannya yang pernah gagal dalam pernikahan. Seperti kata Robert Emmons, Profesor psikologi dari University of California-Davis, bersyukur adalah faktor yang seringkali dilupakan untuk mencari kebahagiaan. Dengan bersyukur kita pun mampu mempertahankan ketenangan dan kepuasan lahir dan batin.
Makin yakin kalau kita memang berkuasa penuh atas perasaan dan pikiran kita sendiri, kan? So, sudah saatnya perempuan memerdekakan diri dari mitos-mitos yang menahannya bahagia dengan jurus-jurus ampuh, apalagi kalau bukan percaya diri, ungkapan syukur, dan bentuklah kebahagiaan itu sendiri ketika keadaan sedang menjauh dari sana.
“Sangat berat menerima kenyataan harus berjuang sendirian. Tapi, hidup selalu penuh kejutan dan pengalaman berharga yang membuat kita, perempuan, makin kuat. Menyesal dan kecewa wajar, tapi membiarkan diri terus terpuruk itu sia-sia,” tutup Mez. Mulai, atau malah sudah lebih dulu berpikir demikian?