Tita (25 tahun, frontliner) terkenal suka gonta-ganti pacar. Belum cukup, dia juga suka bersikap mesra pada teman-teman di kampus, sampai-sampai sering terjadi konflik internal yang intinya memperebutkan Tita. Dia pun nggak segan menganggap perempuan yang dekat dengan laki-laki di sekelilingnya sebagai musuh, karena itu dia nggak begitu disukai dan jadi bahan omongan. Tita nggak mau dilupakan dan kehilangan perhatian teman laki-lakinya.
Track record-nya gonta-ganti pacar juga nggak jadi masalah selama masih banyak laki-laki di sekelilingnya. Dia beranggapan, makin banyak jadian-putus, makin banyak juga pengalaman yang dia dapat, daripada sekadar berhubungan dengan satu orang dan terjebak di dalamnya tanpa opsi lain. “Bagaimana kita menjalin hubungan dengan lawan jenis itu sangat dipengaruhi oleh bagaimana hubungan kita dengan orangtua, lho,” Psikolog Roslina Verauli yang saat ini aktif mengisi bermacam talkshow, juga mengajar di Untar, membuka penjelasan saat tim FIMELA.com menanyakan sikap Tita itu.
Verauli kembali menjelaskan, “Cinta adalah emosi yang sangat besar, saking besarnya dia bisa membangkitkan pengalaman-pengalaman emosi masa lampau. Seperti yang aku bilang, kedekatan dengan pasangan merepresentasikan kedekatan kita dengan keluarga. Bisa sama polanya, atau malah berkebalikan, manifestasi dari kekurangan hubungan tersebut. Takut kehilangan fans bisa jadi manipulasi dari dua pola. Dia terbiasa mendapat siraman kasih sayang berlebih dari orang-orang di sekitarnya saat masih kecil, jadi ketika dewasa dia nggak mau kehilangan fans karena kebutuhan egonya yang besar untuk diperhatikan. Atau sebaliknya, dulu terabaikan sehingga punya ego yang lapar, butuh perhatian lebih dari banyak orang.” Dilihat dari sana, perilaku Tita memang beralasan. Masa kecilnya dia lewati tanpa perhatian cukup. Ibu Tita meninggal saat Tita masih kecil, dan kenangan yang dia ingat tentang orangtuanya hanyalah pertengkaran mereka yang kerap terjadi.
Advertisement
Shinta, 28 tahun, sales manager, juga mengaku senang dan merasa hidupnya makin lengkap dengan perhatian ketiga teman laki-lakinya di kantor. Padahal, dia juga sedang menjalin hubungan dengan seseorang. “Mereka punya kekhasan yang membuat aku nggak bosan dekat sama mereka. Senang lho, tiap saat ada yang care. Aku nggak tahu siapa dari mereka yang paling aku suka, atau aku cintai. Mereka semua istimewa, dan masing-masing bisa memberikan apa yang aku butuhkan,” ungkap Shinta.
“Cinta itu emosi yang bisa naik dan turun. Seseorang dengan emosi yang sehat akan mampu mencintai dan mempertahankan cintanya dengan normal. Tapi, nggak semua orang punya emosi yang sehat. Ada yang nggak paham dengan rasa yang dia punya, mungkin itu yang Shinta rasakan,” ungkap Verauli, “Tita pun begitu, cemas untuk lekat atau menjalin kedekatan mendalam dengan orang lain. Saat sudah dekat dia akan mulai galau, mencari-cari masalah, kemudian putus. Dia bingung dengan apa yang dia sendiri rasakan, sementara itu dia mencari kenyamanan lain dari laki-laki di sekelilingnya.”
Yap! Kesimpulannya, semua perilaku yang terkait dengan cinta selalu punya sejarah, punya masa lalu yang ikut menentukan cara bagaimana kita mendefinisikan dan memperlakukan cinta itu sendiri. Cheers!