Advertisement
Next
Ibu pernah mengatakan, kebahagiaan terbesarnya adalah ketika ia bisa memberikan apa yang saya inginkan. Seringkali ibu mengidamkan sesuatu, tapi seringkali pula keinginannya itu diabaikan demi mengalokasikan bujetnya untuk membeli barang impian saya.
Contoh lain adalah Leonardus Kamilius, 26 tahun, Owner Koperasi Kasih Indonesia, yang juga rela keluar dari zona nyaman, pekerjaan impiannya, sebagai Business Analyst di McKinsey & Company untuk membantu perekonomian warga miskin lewat Koperasi Kasih Indonesia. Ia memberikan dana pinjaman tanpa jaminan dan bunga. Yang menarik, apa alasan memilih berjuang demi orang lain ketimbang memuaskan diri sendiri dengan kesejahteraan dan materi berlimpah? Leon mengaku ia mendapatkan kebahagiaan di kehidupan barunya, walaupun jauh dari kata mewah. Demi mewujudkan keinginannya aktif di kegiatan sosial, yang sebenarnya baru akan ia laksanakan ketika usianya menginjak 40 tahun, Leon sempat menganggur selama setahun lebih sehingga tak berpenghasilan dan mengandalkan hidupnya beserta istri dari tabungan pribadi.
Memberi tak semata dengan materi, melainkan lebih dengan hati. Mungkin itu yang bisa dipetik dari cerita di atas. Memberi bukanlah investasi untuk mendapatkan imbalan lebih, melainkan dengan tulus merelakan yang kita punya untuk orang lain, baik berupa materi maupun pikiran. Ungkapan itu sangat akrab di telinga kita, tapi bagaimana dengan praktiknya?
Advertisement
“Tak jadi masalah memberi sesuatu ke orang lain, masalahnya kebaikan kini dijadikan bisnis. Lihat saja para pengemis yang masih membanjiri Ibukota. Penghasilan mereka dari belas kasihan orang mungkin jauh lebih besar ketimbang gajiku sebagai pegawai negeri. Bukannya pelit, aku jadi lebih was-was dan memilah mana orang yang benar-benar butuh bantuan dan mana yang sekadar memanfaatkan,” jelas Mutia, 24 tahun, pns. Dan ini kata Sandra, 29 tahun, sekretaris, “Niat berbuat baik pasti ada, tapi aku sama sekali nggak punya waktu luang untuk ikut kegiatan sosial. Waktuku habis di kantor dan mengurus keluarga. Kalaupun memberi lewat lembaga tertentu, aku kurang percaya bisa sampai di tangan yang tepat. Jadi, baru sekadar niatan.”
Next
Ya, banyak orang yang punya niat tulus berbagi, memberi sesuatu yang mungkin biasa baginya tapi sangat berarti untuk orang lain. Tapi, niat itu masih sebatas wacana yang entah kapan akan terwujud. Selain tak ada waktu memikirkan kegiatan sosial, ada pula yang merasa takut salah memberi. Sementara untuk terjun langsung mengorbankan mimpi dan karier demi beralih profesi menjadi pekerja sosial, sepertinya tak akan jadi pilihan banyak orang, seperti yang Leonardo Kamilius lakukan.
"Ada baiknya mempraktikkan budaya memberi dan membuktikan sendiri kepuasannya, tanpa perlu khawatir salah sasaran, rugi, tak punya waktu khusus...."
Lain lagi dengan Dian Noeh, Co-Founder sekaligus CEO Kennedy, Voice & Berliner, perusahaan yang berkecimpung di bidang business development dan public relations. Ia memberikan ilmu dan membagi pengalamannya sebagai seorang PR kepada mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di tengah kesibukannya. Ketika ditanya, kenapa mengambil pekerjaan “sampingan” sebagai dosen di saat ia pun sedang sibuk membangun usahanya sendiri, Dian berujar singkat, “Ilmu harus dibagikan ke orang lain atau akan mati, dan saya suka menyebarkan ilmu tentang apa yang saya tekuni supaya membawa manfaat. Supaya ketika saya mati nanti, setidaknya sudah ada yang saya tinggalkan untuk orang lain.”
Muhamad Iman Usman, pendiri blog Indonesian Future Leaders (IFL), bahkan mulai “memberi” sejak masih duduk di bangku kuliah. Iman membuat organisasi kepemudaan nonprofit untuk memberdayakan anak muda agar mampu membuat perubahan dan jadi solusi berbagai permasalahan sosial tahun 2009 di usianya yang ketika itu baru menginjak 18 tahun. Saat teman-teman sebayanya masih mencoba meraba mimpi, ia sudah memimpin beberapa program pelayanan masyarakat, pembangunan kapasitas kaum muda yang secara rutin digelar, seperti Children Behind Us, SEAChange, IFL Goes to School, Speak Up!, sampai menggelar berbagai pelatihan dan seminar. Iman mengaku sengaja memberikan ilmu dan pengetahuan, juga pemikirannya agar orang lain mendapatkan yang sama seperti yang ia dapatkan.
Ada baiknya mempraktikkan budaya memberi dan membuktikan sendiri kepuasannya, tanpa perlu khawatir salah sasaran, rugi, tak punya waktu khusus, sampai takut mengganggumu mencapai mimpi, karena memberi tak membutuhkan perhitungan dan makan banyak waktu. Just do it. Dan, seperti kata Dian, generasi akan terus berganti dan kita tak akan meninggalkan apa pun kecuali pemberian kita yang bisa terus berguna untuk orang lain.