Advertisement
Next
Fira (27 tahun, editor) mengungkapkan, “Sebelum menikah aku nggak pernah berhubungan intim dengan pasangan, tapi nyerempet-nyerempet ke sana pernah. Ya, sebatas handjob, blowjob, petting. Tiga bulan pacaran baru ciuman, satu setengah tahun baru mulai eksplorasi. O,ya, nggak mau sampai penetrasi karena aku memang takut, mulai dari takut sakit sampai takut hamil. Setelah itu ngapain lagi ya, mikirnya begitu. Sampai melakukan blowjob segala itu untuk observasi. Kan, kita mencari tahu mana yang paling enak, ternyata handjob paling enak karena lebih higienis.”
“Percaya atau nggak, aku baru berhasil penetrasi setelah 2 bulan menikah, seminggu sebelum 3 bulan pernikahan kami. Sebelumnya selalu gagal karena, seperti yang aku bilang, aku takut sakit. Nah, kalau sudah tegang begitu pasti mulai kering dan makin sakit. Waktu itu mikirnya kalau sampai 3 bulan belum bisa berhubungan intim juga, mau ke dokter. Mungkin ada yang nggak beres denganku atau suamiku, aku sampai curiga itu penyakit. Syukurlah, akhirnya kami bisa penetrasi dengan normal setelah pakai oral dulu. Itu aku tahu kebetulan setelah baca novel The Time Traveler's Wife! Begitu kita tahu caranya, ternyata nggak sakit kok, dan aku mulai terbiasa berhubungan intim justru setelah punya anak, tapi masih dengan gaya bercinta biasa. Sekarang baru 2 tahun menikah, mungkin akan mencoba gaya lain setelah pernikahanku di atas 2 tahun,” cerita Fira.
Advertisement
Dr. Nalini M. Agung, SpKJ, psikiater RSUD Dr. Soetomo, mengungkapkan bahwa komunikasi jadi jalan utama kepuasan bersama, karena pandangan dan kesiapan perempuan melaksanakan hubungan intim berbeda-beda. “Bisa dipengaruhi persepsi, pengalaman seksual, juga kulturalnya,” jelas dr. Nalini. Tapi, begitu menemukan kunci yang membuatnya nyaman, Christine Webber, penulis, penyiar, sekaligus psikoterapis, mengatakan bahwa perempuan akan belajar mengenyahkan hambatan dan bisa merespons rangsangan seksual sebagai sesuatu yang menyenangkan setelah mendapatkan kenyamanan.
Next
Sementara itu, Natra (28 tahun, sekretaris) mengaku, “Sebelum menikah aku dan pasanganku sebatas berciuman, blowjob, dan handjob. Aku nggak mencari klimaksnya sih, perempuan mikirnya beda dengan laki-laki, ya. Pernah memang beberapa kali klimaks, tapi aku lebih suka saat foreplay, mesra-mesraannya. Beda lagi setelah menikah. Kalau sekarang yang lebih dipentingin klimaks ketimbang foreplay, mungkin karena merasa sudah jadi kewajiban masing-masing untuk memuaskan pasangannya. Foreplay bisa kapan aja dan sudah sangat sering dilakukan, jadi nggak ada yang berkesan lagi, nggak se-hot dulu.”
“Setelah menikah kami langsung mengeksplorasi bermacam gaya dan tempat, misalnya di atas meja, bangku, dalam toilet. Natural aja. Terkadang ada gaya lain yang kita nggak tahu namanya tapi bisa kita praktikkan. Lebih ke eksplorasi sih, gaya mana yang lebih enak. Karena kan, nggak setiap gaya bisa dinikmati berdua. Nah, di situlah kami menemukan gaya di mana aku dan dia sama-sama merasa enak. Kami juga selalu jujur dan mengomunikasikan apa yang dirasakan masing-masing, jadi enak diskusinya,” kata Natra jujur.
Mengenai keterbukaan pasangan tentang seks, kalau dulu perempuan malu-malu mengaku mencapai orgasme atau senang diperlakukan spesial oleh pasangannya di ranjang, perempuan sekarang jauh lebih terbuka. Ini terbukti dalam sebuh survei yang dilakukan Durex baru-baru ini, berjudul “Sexual Wellbeing Global Survey”. Pemahaman seks masyarakat, khususnya di Indonesia, juga terus meningkat. Ratanjit Da, General Manager Reckitt Benckiser Indonesia, selaku pemasok kondom merk Durex, membenarkannya, “Membicarakan seks dengan informasi yang benar punya banyak keuntungan, salah satunya meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang seks dan risikonya.”
Advertisement
Next
Natra melanjutkan ceritanya, “Setelah melahirkan nggak ada perubahan besar dalam kegiatan seksual kami, karena kebetulan aku juga caesar. Mungkin lebih ke perubahan bentuk badanku, terutama bagian perut, yang kadang diprotes suami karena berpengaruh ketika kami mengeksplorasi gaya. Dari segi intensitas dan gairah, sudah pasti berkurang setelah punya anak, karena sekarang yang harus dipikirkan bukan cuma masalah ranjang, anak lebih penting. Intensitas otomatis juga berkurang karena kami berdua bekerja, pulang pasti sudah larut malam dan sama-sama lelah. Tapi, dalam seminggu pasti masih melakukannya, sekali atau dua kali. Seks memang penting, kebutuhan buatku, tapi seiring berjalannya waktu akan terkikis dan bukan lagi jadi prioritas utama.”
Dari cerita 2 Fimelova itu kita bisa melihat tiap status hubungan punya kualitas seks yang berbeda. Masa pengenalan tubuh masing-masing selalu terjadi di awal hubungan, dan beberapa eksplorasi kecil dilakukan setelahnya untuk mencari kenyamanan. Tapi, seiring bertambahnya usia pernikahan, juga kehadiran anak, intensitas dan kualitas hubungan intim menurun. Ini alamiah terjadi, asalkan masing-masing tetap menomorsatukan perasaan, nggak sekadar mementingkan pelampiasan gairah. Dan hal ini juga diungkapkan oleh Ben (28 tahun, video editor). Sebagai laki-laki, dia mengaku perasaan baginya tetap yang utama. “Beraktivitas seks itu paling enak pakai perasaan, rasa sayang ikut andil di sana, jadi nggak cuma napsu. Kalau kebanyakan orang berpikiran laki-laki lebih mementingkan napsu ketimbang perasaan, nggak selalu benar, kok. Bagiku ada kenyamanan tersendiri ketika melakukan hubungan intim dengan orang yang kita sayangi, dan kepuasan seks adalah bonusnya.”
Ya, masing-masing menyimpan cerita sendiri tentang hubungan mereka dengan pasangannya. Apa kamu juga mau berbagi cerita serumu dengan pasangan setelah menikah dan punya anak, Fimelova? Ditunggu!