Advertisement
Next
“Kalau nonton blue film sendirian malas. Kecuali sama pasangan, ya. Kalau sama pasangan kan, ada perasaan gimana begitu, sementara kalau sendirian datar-datar aja, tuh. Aku lebih suka baca novel atau komik erotis, seru bisa sambil bebas bayangin macam-macam, nggak terbatas sama gambar bergerak yang intinya cuma 'begituan'. Nggak kreatif,†kata Kukun, reqruitment analyst, 28 tahun.
“Aku suka heran lihat badan perempuan-perempuan seksi di film dewasa. Bisa sesempurna itu. Takut kalau nanti pasanganku nggak puas dengan bentuk badanku. Nggak pede jadinya. Daripada terus minder lebih baik nggak lihat, deh,†ungkap Mirda, apoteker, 23 tahun.
Advertisement
Awas kalau nanti pasanganku jadi berkhayal ketinggian gara-gara hobi nonton film dewasa. Apalagi kalau jadi lebih doyan nonton daripada berhubungan sama aku. Lebih baik dikurangi intensitasnya, masing-masing harusnya cukup puas dengan pasangannya sendiri, nggak perlu lihat bentuk lain. Kalau mau eksperimen, ayo, langsung praktik aja,†tantang Twirzy, customer support, 25 tahun.
Banyak pula yang menganggap adegan-adegan dalam film dewasa yang berlebihan, nggak realistis, dan cenderung menampilkan perempuan secara negatif. Bagaimana nggak menyepelekan perempuan kalau di dalam adegan perempuan seakan hanya sebagai mesin pemuas gairah tanpa melibatkan perasaan. Bahkan, psikolog sekaligus seksolog Joy Davidson mengatakan dalam film dewasa perempuan terlihat bisa “dipakai†kapan saja.
Next
Beberapa teman yang saya mintai pendapat pun mengaku lebih tertarik menonton film drama berbonus adegan ranjang. Alasannya, menonton film dewasa yang melulu berisi adegan ranjang bukannya meningkatkan gairah, tapi justru membuat mereka muak dan mual. Sementara film drama, walaupun “dipermanis” dengan adegan demi adegan erotis, ada alur cerita yang membuat mereka ikut masuk ke dalam dan merasakan langsung apa yang para tokoh rasakan, sehingga lebih mudah terbawa dan jadi bergairah. Kuncinya, perasaan ikut andil di sana. Laki-laki sangat mudah dibuat bergairah cuma lewat rangsangan nyata, sementara untuk memancing gairah perempuan dibutuhkan pula rangsangan emosional. Intinya, perempuan butuh “pemanasan emosi” sebelum melakukan foreplay.
“Pernah nonton bareng pasangan, eh dia langsung sudah mau nyosor aja gara-gara terangsang berat, padahal aku merasa lebih enjoy ketika rangsangan itu datang langsung dari dia, bukan dari adegan seks orang lain. Lebih berkelas, nggak murahan. Jijik lihat perempuan murahan di film dewasa, apalagi dengar panggilan-panggilan nakal yang buatku bukan menggoda, tapi lebih ke merendahkan perempuan,” protes Popo, writer, 25 tahun.
"Laki-laki sangat mudah dibuat bergairah cuma lewat rangsangan nyata, sementara untuk memancing gairah perempuan dibutuhkan pula rangsangan emosional."
"Eh, tapi film dewasa bisa jadi bahan cuci otak. Kalau sudah terlalu bosan lihat punya pasangan terus, daripada cari orang lain mending lihat film dewasa. Bangkitkan rasa lagi dengan suami setelah itu, asal membayangkannya bukan bintang film dewasanya. Mereka rata-rata nggak ganteng. Bentuk badan sixpack berminyak malah bikin merinding geli. Jadi, cukup buat pembuka aja, selanjutnya bikin film sendiri sama suami, ha-ha-ha,” jawab Perwita, programmer, 25 tahun, jujur.
Hampir sama dengan Perwita, Morie, operator, 27 tahun, mengungkapkan, “Aku biasa nonton, tapi karena penasaran dan pingin tahu posisi atau gerakan-gerakannya aja. Lebih ke edukasi. Kadang ketika butuh rangsangan, ya lihat sebentar. Jangan dikira rangsangan visual nggak bisa langsung bangkitkan libido. Kalau sudah pingin banget tanpa rangsangan emosional pun jadi. Tapi, yang dibayangin setelahnya bukan pemeran dalam film, mereka rata-rata bukan seleraku.”
Dalam film dewasa, orgasme jadi hal paling penting dari bercinta, sementara kenyataannya tiap tahapan dalam hubungan intim itu penting dan saling mendukung terciptanya perasaan intim dan nyaman. Sekali lagi, bukan hanya mengejar kepuasan, melainkan keintimannya. Dalam bukunya, Great Sex: A Man’s Guide to the Secret Principles of Total-Body Sex, Michael Castleman sendiri mengibaratkan menonton film dewasa seperti menyaksikan aksi mobil berkejaran dalam film action, tahu itu bukan cara mengemudi yang baik, tapi kita bisa menikmatinya dan terhibur karenanya sepanjang menganggap film dewasa sebagai hiburan ringan, bukan realitas. Ada yang punya pendapat lain?