Advertisement
Next
Teman saya jadi korban kekerasan saat berpacaran selama 2 tahun dengan laki-laki yang juga saya kenal. Semua terjadi semasa kuliah. Awalnya mereka, seperti kebanyakan pasangan, berkenalan dan makin dekat. Sampai kabar kalau mereka akhirnya jadian, nggak ada yang terlalu spesial untuk diingat. Tapi, beberapa bulan setelahnya saya sering mendengar kabar tentang hubungan mereka yang nggak sehat.
Sang pacar suka main tangan. Menampar, menendang, berkata kotor, memaksa berhubungan intim. Tindakannya pun selalu dimaafkan oleh teman saya dengan alasan sang pacar nggak sengaja. Padahal, menurut psikolog Jacinta F. Rini, MSi., sikap pasrah dan nggak berdaya justru membuat pihak dominan makin menjadi-jadi. Hasilnya, kekerasan jadi makanan sehari-hari teman saya. Ada saja memar yang tertinggal di tubuhnya dan makin hari sama sekali nggak terlihat ada kebahagiaan dari hubungan mereka.
Advertisement
Mengerikan. Sayangnya ini cuma satu kasus dari sekian banyak perbuatan laki-laki yang menyudutkan dan membuang harga diri perempuan jauh-jauh, tapi anehnya para perempuan, dengan alasan cinta maupun takut, masih saja rela diperlakukan semena-mena. Hubungan nggak sehat masih terus berlanjut karena pihak yang lemah makin merasa tergantung pada pasangannya, selain kehilangan keberanian mengambil keputusan keluar dari situasi itu, tambah Rini. Baru pacaran saja kekerasan sudah sering terjadi, bagaimana ke depannya, apalagi sampai berumah tangga? Masuk akal nggak sih, kalau ada yang mengatakan kekerasan dan sikap emosional pasangan bisa diredakan dengan menikahinya?
Sekadar wacana, masih menurut Rini, pasangan yang sering melakukan kekerasan kebanyakan melakukannya secara nggak sadar, karena terbawa emosi yang membuatnya nggak bisa berpikir jernih. Satu per satu kekerasan yang kamu atau siapa pun alami lama-lama akan jadi kebiasaan, dan menganggap itu hal yang wajar. Apalagi, dengan pemikiran ketika jadi istrinya semua akan berangsur membaik, cepat atau lambat akan membuatmu makin terjebak dengan pilihanmu sendiri.
Next
“Logikanya, seseorang yang biasa bikin salah akan merasa apa yang dilakukannya itu benar. Begitu juga dengan pasangan kasar. Karena merasa dilegalkan, kekerasan jadi cirinya tiap ada masalah, ya karena sudah terbiasa bersikap kasar. Setelah kamu jadi miliknya, dia akan makin merasa berhak memperlakukanmu sesukanya,†tutur Vika, mahasiswi, 22 tahun.
“Cerita lama. Dulu pacarku paling pintar mengubah keadaan, bikin aku yang selalu jadi ‘tersangka’ tiap ada masalah. Hadiahnya entah tamparan atau pukulan di muka, karena menurut dia aku sering pakai mukaku untuk menggoda orang, padahal aku nggak pernah macam-macam. Akhirnya bisa lepas setelah orangtua campur tangan, kalau aku sendiri yang memutuskan bisa dipastiin deh, aku bakal hancur waktu itu. Trauma, sih. Sekarang kalau dengar ada teman yang dikasarin, aku nggak akan tinggal diam,†Ratih, mahasiswi, 23 tahun.
Kalau kamu salah satu korban kekerasan dalam hubungan, coba refleksikan lagi apa yang kamu dapat selama kamu menjalin hubungan dengan pasanganmu. Apa dia terlalu mendominasi hubungan, mengatur berlebihan, dan suka memberikan “hukuman keras†untuk kesalahan yang nggak dan kamu lakukan? Pikir dua kali untuk bertahan. Rela, seseorang yang belum lama kamu kenal sudah terlalu masuk dalam zona pribadimu, menguasaimu hidupnya lebih dari kedua orangtuamu?
“Aku nggak pernah mimpi bakal punya pasangan yang kasar. Seperti apa pun pertahananku, bagaimana pun aku beropini, aku akan kalah di depannya. Dia menyerangku, nggak cuma dengan merendahkan harga diri dengan menghajarku habis-habisan, tapi juga menghancurkan perasaanku dengan kata-katanya. Hal yang paling sensitif untuk perempuan. Satu-satunya jalan cuma pergi darinya,†papar teman dekat saya ketika saya kembali memancingnya bernostalgia dengan masa lalu yang dianggapnya sebagai bagian dari pelajaran cinta. “Mau jadi pintar? Berpikirlah yang logis, jangan mengandalkan khayalan pasanganmu akan berubah cuma karena tiap detik setelah memukulmu dia menangis minta maaf,†tutupnya.