Advertisement
Next
Adalah Jaty Artha Mas sebuah usaha perkebunan jati yang resmi ia kelola sendiri sejak tahun 2010. Sebelum membangun usahanya ini, terlebih dahulu Santi bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta dan juga perusahaan multilevel marketing. “Dulu saya pernah bekerja selama 12 tahun sebagai sekretaris eksekutif dan asisten pribadi. Saya memang punya cita-cita pada saat usia saya menyentuh 40 tahun, saya harus mandiri. Kerja sebagai karyawan memang bisa membuat kita sejahtera, tapi tidak bisa membuat kita mandiri. Dan itu artinya saya tidak punya modal jika saya ingin memulai usaha sendiri. Akhirnya, pada tahun 2002, saya ikut multilevel marketing dan Alhamdulillah hanya dalam kurun waktu hanya 2 bulan saya bisa mendapatkan bonus dengan jumlah yang sama dengan jumlah gaji yang saya terima saat bekerja. Akhirnya, saya pun memberanikan untuk berhenti bekerja,” Santi mulai bercerita saat bertemu FIMELA.com di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Pada tahun 2005, Santi bertemu dengan Prof. Sugiharto, mereka pun ber-partner untuk memulai usaha kebun jati dan pada tahun 2010 usaha jati tersebut resmi ia ambil alih sendiri. “Kali pertama saya menjalankan bisnis jati, saya menyewa sebuah ruko di Senayan Trade Center (STC). Saya menjual pohon satu-satu karena saya percaya dari satu pohon bisa berangsur-angsur menjadi ribuan pohon nantinya dan fokus adalah kunci kesuksesan,” Santi berbagi.
Next
Memulai bisnis jati dari nol hingga sukses seperti saat ini, bukan berarti Santi menjalaninya tanpa rintangan yang menjegal bisnisnya. Pada awal mencari lahan di daerah Sukabumi, Santi mengaku sempat ditipu oleh beberapa orang. “Pada tahun 2006 saya mulai mencari lahan, tapi ternyata tidak berhasil karena kena tipu. Setelah dua tahun belajar, akhirnya tahun 2008 saya mulai mencari lahan di tempat lain. Dan Alhamdulillah sampai saat ini usaha yang saya jalani berjalan dengan lancar,” ujar Santi.
Sudah mencapai taraf sejahtera, tidak membuat Santi justru malah ingin berhenti dari bisnisnya. “Sebenarnya kalau mau berhenti, saya bisa berhenti kapan saja. Tetapi, saya tidak mau berhenti begitu saja. Saya ingin terus kreatif dan produktif karena dengan demikian saya bisa menciptakan lapangan kerja dan memberi manfaat bagi warga sekitarnya. Misalnya saja, ketika banyak mahasiswa yang ingin melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), saya selalu membuka pintu karena itu merupakan salah satu cara untuk mencerdaskan para pekerja di kebun saya,” tutur Santi dengan nada serius.
Advertisement
Next
Bukan tanpa alasan Santi bertahan menjalankan bisnis jatinya hingga saat ini. Menurut ibu dua orang anak ini, saat ini Indonesia masih kekurangan kayu sehingga bisnisnya ini merupakan bisnis dengan prospek cerah. “Kebutuhan kayu di Indonesia setiap tahunnya sebesar 2,5 juta meter kubik. "Jika saat ini kita membeli bibit jati dengan harga Rp10.000,- dalam waktu 10 tahun, nilainya akan meningkat hingga 5000%."Sedangkan ketersediaannya hanya sebesar 700.000 meter kubik. Jika saat ini kita membeli bibit jati dengan harga Rp10.000,- dalam waktu 10 tahun, nilainya akan meningkat hingga 5000%. Saya rasa belum ada bisnis yang tingkat keamanannya seperti usaha saya sekarang ini,” ujar Santi dengan percaya diri.
Walaupun dengan latar belakang pendidikan yang sama sekali tidak bersinggungan dengan bisnis yang sedang ia jalani saat ini, Santi tetap penuh perhitungan setiap kali akan memilih lahan yang akan dibeli. “Lahan yang saya beli tentunya harus subur, bukan bekas lahan tambang, harus ada sungai, dan yang paling penting legalitasnya terjamin. Dan tidak hanya itu, saya pun juga melihat keberuntungan sebuah tempat dari nama diperhitungkan dari segi feng shui, almanak Cina, dan juga kebijaksanaan Islam semua itu saya gabungkan jadi satu. Beberapa contoh tempat yang saya ambil misalnya saja Sukamulya, Sukadamai, dan Sukamakmur” ujar Santi menutup pembicaraan.