Advertisement
Next
Penggalan lagu ciptaan Dewi Lestari, penulis dan penyanyi, tersebut menggambarkan bagaimana firasat memang sebenarnya ada dirasakan oleh orang terdekat saat mereka yang tersayang menjelang dipanggil Yang Maha Kuasa. Tapi, bisa juga, tanda-tanda menjelang kepergian itu baru disadari saat peristiwa sudah terjadi, pemakaman sudah diadakan, dan mereka yang tersayang sudah terbaring tenang di liang lahat.
Seperti yang Fira Basuki, novelis, lakukan saat ia memasuki minggu ketiga pascameninggalnya suaminya, Hafez Agung Baskoro, yang berpulang ke Ilahi pada 16 Maret 2012 lalu. Akun Twitter-nya, @FiraBasuki, yang menjadi media curahan hatinya, menggambarkan bagaimana Fira mengingat kembali dan mengumpulkan tanda-tanda yang sebenarnya sudah ada sebelum almarhum suaminya akan berpulang, tapi baru disadarinya sekarang.
Advertisement
“Kematian itu sungguh takdir. Saya banyak baca bahkan sebenarnya tanda2 fisik/nonfisik diberikan Tuhan kepada yang hendak tiada. Tapi kita tidak menangkapnya,” seperti yang dikutip dari timeline-nya.
Tanda-tanda fisik seperti bagian tubuh yang mati rasa atau daun telinga yang terlihat mengecil, perubahan sikap yang sering menyendiri, bahkan lontaran ucapan tentang akan meninggal lebih dulu, adalah sekian dari tanda-tanda yang pernah dilakukan oleh almarhum suaminya, dan Fira baru menangkap maknanya setelah suaminya pergi.
“Ucapan-ucapan soal kematian terkadang terlontar tak sengaja. Seperti @MrAmplitudo yang bilang dia lebih baik mati duluan daripada saya yang mati duluan. #tanda2,” tulis Fira.
Ucita Pohan, penyiar, yang bersahabat dengan Adesagi Kierana, desainer muda berbakat yang meninggal pada 1 Januari 2012 silam, juga mengaku baru memahami apa yang dia anggap dulu hal biasa dan ia nilai bisa jadi sebagai tanda-tanda, setelah sang sahabat pergi.
Next
“Terakhir kali bertemu muka dengan Mas Ade adalah saat kita pergi kerja sekaligus liburan bersama di Singapura. Saat itu dia harus pulang duluan karena ada pekerjaan lain di Jakarta, sementara saya masih bisa extend satu hari lagi. Nggak tahu kenapa, saya tergerak untuk ajak dia foto bareng sebelum naik taksi dan waving-nya terasa beda. Saat melakukan itu sebenarnya agak aneh juga, karena toh kita akan ketemu lagi di Jakarta. Tapi, setelah diingat lagi peristiwa itu waktu Mas Ade sudah nggak ada, mungkin bisa jadi itu salah satu insting saya karena terakhir bertemu muka dengannya untuk terakhir kali. Karena, sejak di Singapura itu sampai akhirnya kembali ke Jakarta, ada saja hal kecil yang membuat agenda janjian ketemu kami selalu batal. Itu jadi foto terakhir kami bareng sebelum nggak bertemu lagi,” cerita Ucita
Benang merah antara kejadian Fira dan Ucita adalah mereka terhitung belum lama bersama. Fira menikah dengan almarhum suaminya baru 3 bulan sampai sosok musisi itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Sementara, Ucita baru intens dekat dan banyak berbagi cerita dengan almarhum Adesagi sekitar 6 bulan. Namun, singkatnya durasi kedekatan hubungan mereka, sama sekali bukan tolak ukur untuk menjadi patokan keterikatan batin dan dalamnya kasih sayang dengan mereka yang terkasih.
“Saya malah bersyukur bisa mengenal Mas Ade lebih dekat dalam waktu yang pas menurut saya. Kami memang baru intens berteman, pergi bersama, bertukar cerita, dalam waktu kurang dari setahun, tapi itu sama sekali nggak mengurangi kadar perhatian, rasa sayang, atau doa saya untuk dia. Durasi sama sekali nggak menentukan kualitas sebuah hubungan kok,” kata Ucita bijak.
Begitu pun menurut Fira, yang menganggap bahwa almarhum suaminya adalah cinta sejatinya yang nggak terbayangkan olehnya akan pergi secepat itu.
“Sekarang saya tahu kenapa @MrAmplitudo dipilihkan Allah jadi cinta sejati saya. Dia pria yang baik, lembut, dan sopan pada perempuan,” tulisnya di menjelang minggu ketiga suaminya berpulang.
Satu hal yang patut dibanggakan dari kedua figur ini adalah mereka memang bersedih telah kehilangan secara fisik sosok orang tersayang mereka di dunia. Namun, kualitas terbaik sang tersayang yang telah meninggal dunia, justru makin kuat diingat dan dibanggakan setelah titel “almarhum” mengikuti nama mereka.
“Yang aneh dari mengingat sosok Mas Ade, justru bukan malah membuat saya menangis atau bersedih, tapi justru tertawa, tersenyum, dan merasa damai. Itu karena pembawaan Mas Ade yang selalu positif, sama sekali nggak pernah mengeluh, selalu menyenangkan orang di sekitarnya, dan yang paling menjadi keahliannya adalah, membuat orang tertawa dengan kekreativitasannya membuat lelucon. Di saat saya menunggu jenazahnya datang dari Bandung saja, saya sudah berhenti menangis dan sudah bisa tertawa terbahak-bahak karena membaca salah satu percakapan kami di Blackberry Messenger. Dia itu orang terlucu, terbaik, dan terpositif yang saya kenal,” kenangnya.
Sama halnya dengan Fira, yang sudah bisa tersenyum, kembali beraktivitas, dan menjalani hidupnya sebaik mungkin tanpa kehadiran almarhum suaminya, karena meyakini bahwa sosok suaminya adalah orang baik yang telah menebar kebaikan untuk dirinya dan banyak orang. Dan, itulah yang membuatnya nggak pernah kehabisan kata-kata untuk memuji suaminya.
“Sepertinya memang suami saya @MrAmplitudo yang mengajarkan hidup pada saya. Dan kini ia pasti senyum di sisiNya,” katanya.