Advertisement
Next
Obat adalah suatu zat kimia yang bila masuk ke dalam tubuh kita akan memberikan efek tertentu, misalnya suhu tubuh yang tinggi bisa diturunkan, tekanan darah yang naik bisa kembali dinormalkan, dan sebagainya, demikian Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, Guru Besar Farmakologi UI pada acara media workshop bertema “Berobat untuk Sehat atau Sakit?” yang diadakan oleh perusahaan farmasi GlaxoSmithKline Indonesia, di Jakarta. Namun faktanya di Indonesia, berdasarkan studi yang didanai WHO-Bank Dunia terungkap bahwa 43% penggunaan antibiotika dilakukan secara berlebihan. Untuk pengobatan penyakit ISPA ringan, 75-86% pasien bahkan mengonsumsi antibiotika, walau sebenarnya tidak diperlukan. “Berdasarkan data total penjualan obat nasional mencapai Rp 38,7 trilyun. Dari angka tersebut sebesar Rp 17, 41 trilyun merupakan hasil penjualan obat bebas tanpa resep (OTC) .
Yuk, Kenali Self Medication
Advertisement
Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita bisa mengobati diri sendiri dengan baik dan benar? Kapankah sebaiknya kita mengobati diri sendiri? Prof. Rianto pun mendefinisikan pengobatan diri sendiri, self medication ini sebagai penggunaan obat bebas atau bebas terbatas oleh orang awam atas inisiatif sendiri. “Pengobatan diri sendiri yang baik dan benar sangat bermanfaat karena menghemat waktu dan biaya transport, mengurangi biaya konsultasi dengan dokter, dan coba hitung berapa lama waktu yang harus kita buang saat menunggu obat resep dibeli di apotik?,” ujar Prof. Rianto.
Next
Untuk memahami permasalahan ini, Prof Rianto pun memaparkan 3 kasus yang umum terjadi dalam pengobatan diri sendiri (PDS). Kasus 1: D, anak perempuan umur 6 tahun, anak tukang ojek, kena panas, batuk, pilek sejak 3 hari. Ibunya hanya mampu membeli sebotol “obat panas” di warung. Si anak sembuh. “Saya bertanya kepada si ibu, berapa biaya yang dikeluarkan? Hanya Rp 8 ribu. Berapa biaya transpor yang dibuang? Tidak ada, ibunya cukup berjalan kaki ke warung. Bayangkan, jika ke dokter bisa dikenai biaya hingga Rp 300 ribu untuk pengobatan batuk pilek semacam itu. Jadi, tindakan ibu ini adalah PDS yang baik dan benar,” papar Prof. Rianto.
Kasus 2: Ny. S, 57 tahun, tekanan darah 120/80 mmHg, berat 60 kg, keluhan: lutut kanan nyeri dan bengkak selama 5 hari. Penyakit ini hilang timbul selama 2 tahun. Dokter meresepkan obat diklofenak dan prednisan untuk 5 hari dan tidak boleh diulang. Dan dokter meminta dia kontrol kembali. Setelah meminumnya, pasien merasa lebih enak. Lalu menebus kembali obat itu dengan copy resep. Setelah itu, 3 bulan kemudian, pasien datang lagi dengan keluhan malam hari sering kencing dan mukanya jadi bundar (moon face), tekanan darah naik jadi 170/100 mmHg, kadar gula darah 300 mg/dl, berat badan 65 kg. “Ini menunjukkan, PDS ngawur yang dilakukan si pasien malah membuat dirinya jadi kena penyakit diabetes,” cetus Prof. Rianto.
Kasus 3: Ny. T, 43 tahun, keluhan sering kencing dan terus haus selama 3 bulan terakhir, kadar gula darah puasa (IN) 315 dan 2 jam sesudah makan (PP) 410 mg/dl. Dokter meresepkan obat glibenklanid dan metformin disertai nasihat untuk berdiet dan kontrol teratur. Bulan depan, pasien datang 1 kali untuk control, gula darah turun. Setelah itu, tidak dating lagi. Dua tahun kemudian, pasien datang lagi dengan luka kecil di kaki kiri. Dan ternyata obat yang dulu pernah diresepkan dokter untuk jangka waktu tertentu tetap dikonsumsi secara ngawur. Dokter mengobati lukanya, setelah kontrol 1 kali, pasien tidak datang lagi. Setahun kemudian, dia datang dengan luka di kaki kiri lebih besar dan sudah membiru. “Kasus ini mengindikasikan PDS sembrono yang dilakukan pasien makin memperparah penyakit diabetes. Diagnosa terakhir: diabetic gangrene, kaki si pasien harus diamputasi,” tambah Prof. Rianto.
Maka PDS yang baik dan benar itu harus memerhatikan beberapa hal yaitu: indikasi tepat (hanya untuk penyakit ringan: misal batuk, pilek) ; dosis dan cara pemberian obat yang tepat ; lama pemberian tepat; biaya terjangkau.
Advertisement
Next
Bak Pisau Bermata Dua
Belajar dari ketiga kasus ini, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa penyakit yang boleh kamu obati sendiri adalah: penyakit yang akan sembuh sendiri dalam waktu singkat dan tidak berbahaya, misal panas, batuk, pilek yang tidak lebih dari 5 hari, ataupun keluhan lambung ringan, diare ringan. “Namun waspadai pula walau baru kena demam 1 hari tapi bila disertai munculnya bintik-bintik merah di sekujur tubuh, itu bisa dicurigai sebagai tanda DBD. Jika begitu adanya, kamu harus segera ke dokter!”
Sedangkan penyakit-penyakit yang tidak boleh diobati sendiri adalah penyakit yang cenderung menjadi berat, tidak sembuh sendiri, contoh: tekanan darah tinggi, diare hebat dan kekurangan cairan, kencing manis, kanker, penyakit ginjal, penyakit jantung, dll.
Banyak di antara kita ketika flu dan merasa terkena radang tenggorokan dengan mudahnya membeli amoksilin, antibiotika di apotik. “Di Indonesia ini penjualan antibiotika amoksilin begitu bebas, tanpa perlu resep dokter. Padahal di negeri tetangga, hal ini sama sekali tidak diperbolehkan. Tahukah kamu? Ketika kamu sakit flu, sebenarnya virus flu itu tidak akan mati dengan antibiotik. Jadi, ini pengobatan yang berlebihan,” tambah Prof. Rianto.
Dari sini boleh dibilang obat itu bagaikan pisau bermata dua. Maksudnya, bila digunakan dengan baik dan benar, sesuai anjuran di kemasan bagi obat OTC maupun mengikuti resep dokter, maka obat yang kamu minum bisa menyembuhkan. Namun, bila obat dikonsumsi secara sembrono, misalnya menambah dosis atau meminum dalam jangka waktu lama, padahal menurut dokter hanya boleh dikonsumsi untuk jangka waktu tertentu, justru membuat minum obat malah jadi sakit. “Maka gunakanlah obat yang mantap manfaatnya aman, sesuai dengan kondisi seseorang dan terjangkau. Dan batasi penggunaan obat,” saran Prof. Rianto.