Advertisement
Next
“Aku dulu lebih terjebak dengan sistem belanja karena keinginan sesaat, sedang sale, atau pengin ngilangin bad mood aja. Belanja itu terapi untuk ngilangin bad mood sesaat, ya ketika memilih produk dan rasa puas bisa memilikinya. Sampai di rumah, aku baru sadar aku nggak benar-benar butuh barang yang barusan kubeli. Aku jadi menyesal. Ditambah lagi, seharusnya uangku bisa dipakai untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat,†cerita Stefani (23 tahun), mahasiswi Magister Psikologi UGM.
Situs The Economist baru saja menerbitkan tulisan tentang perilaku belanja di ritel, “Retail Therapyâ€. Hampir setiap minggu para peneliti mengumumkan penemuan baru tentang perilaku konsumen. Salah satu kesimpulannya, kebanyakan orang berbelanja atas dasar emosional dan motivasi irasional. Membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan dengan alasan tak masuk akal.
Advertisement
Saat toko memainkan musik dengan alunan tenang, misalnya, para pembeli cenderung berlama-lama di sana karena merasa nyaman memilih barang ketika mood mereka sedang baik. Selain itu, konsumen memandang kalau harga yang lebih menunjukkan nilai suatu barang, bukan sebaliknya. Sependapat dengan fakta itu, Dichter—penulis buku The Strategy of Desire—mengatakan bahwa keputusan pasar hanya didorong emosi dan keinginan bawah sadar serta ketakutan bakal kehilangan apa yang ditaksirnya. Sigmund Freud bahkan pernah berpendapat kalau kehidupan orang diatur oleh kekuatan irasional, ketidaksadaranlah yang menggerakkan mereka. Itulah kenapa mereka membabi buta mengambil barang, terutama ketika sale, tanpa memikirkan fungsi dan efisiensi barang-barang tersebut.
Banyak orang menyia-nyiakan waktu untuk mendapatkan sesuatu yang “gratisâ€. Kelemahan itulah yang digunakan toko-toko untuk menggaet konsumen: Buy 1 get 1 free, buy 2 get 3, kupon diskon 50 ribu rupiah, undian belanja murah, kupon potongan 100 ribu rupiah, dan lainnya yang hanya berlaku di hari yang sama dengan saat kamu belanja. Mereka sengaja tak membiarkanmu berpikir panjang!
Next
Emosi sesaat dan hasrat besar, juga “lapar mata”. Ketiga hal itulah yang jadi alasan lengkapmu memborong barang. Ketika kamu menggunakan kupon potongan harga, kamu akan dapat kupon berikutnya, berikutnya, dan begitu seterusnya. Sampai kamu kelelahan. Tak berhenti di situ, kamu lalu menelepon teman atau saudara, meminta mereka datang dan memanfaatkan kuponmu dengan alasan tak mau mubazir. Dengan begitu, sadarkah kalau kamu sudah membawa orang lain masuk ke dalam jebakan toko?
Atau, belanja kamu anggap sebagai cara untuk refreshing dan membuatmu bahagia? Benarkah? Faktanya, kamu merasa bahagia hanya beberapa saat setelah berhasil mendapatkan barang idamannya. Kemudian yang lebih lama tinggal adalah rasa bersalah karena kehilangan tabungan atau uang makan yang seharusnya bisa membuatmu bertahan sampai beberapa hari ke depan. Juga penyesalan ketika tagihan kartu kredit datang.
Stefani menambahkan, “Untuk menyiasati agar tak boros, aku belanja di akhir bulan, saat kebutuhan lain udah terpenuhi. Kalau uangnya masih sisa, aku simpan untuk tabungan. Saat memilih produk pun, misalnya baju, aku sesuaikan dengan style yang bisa tahan lama dan fleksibel. Tapi kalau ada bonus, nyenengin diri sesekali menurutku juga nggak salah, asal pengeluaran tetap terkontrol dan tabungan nggak bolong.”
Bagaimana dengan Fimelova?