Advertisement
Next
Saya punya seorang guru Bahasa Inggris favorit di masa SMA dulu. Beliau bernama Peniati Marsudi, biasa dipanggil Ibu Peni. Sosoknya yang humoris, sedikit centil, dan hangat, membuat setiap murid mudah merasa dekat dengannya, karena di masa sekolah saya dulu, langka sekali ada guru dengan kepribadian tersebut. Selepas saya meluluskan pendidikan tingkat menengah atas di tahun 2003, datang kabar bahwa Ibu Peni didiagnosis terkena kanker payudara stadium 3. Berita itu mengejutkan untuk kami para muridnya, apalagi untuk beliau yang menghadapinya. Benjolan yang ada di payudara kirinya tersebut, ditemukan saat ia hamil anak ketiga dan langsung dinyatakan positif adalah kanker. Sayang, karena keadaannya sedang mengandung, maka langkah operasi pengangkatan nggak bisa langsung dilakukan, harus menunggu beliau melahirkan terlebih dulu.
Maka, setelah Ibu Peni melahirkan, ia langsung lanjut melakukan operasi pengangkatan seluruh payudara kirinya dan mengambil lemak dari daerah paha untuk “mengganti” payudaranya yang telah diangkat. Namun, operasi itu hanya salah satu dari bentuk perjuangan Ibu Peni untuk memerangi kanker payudara yang menggerogotinya, karena setelah itu hingga 8 tahun kemudian, beliau setengah mati mencoba segala cara untuk menemui kesembuhan. Pengobatan alternatif pun diketahui pernah ia jalani, namun mendapat peringatan keras dari dokter yang menanganinya karena bertentangan dengan ilmu medis dan nggak bisa dipertanggungjawabkan keakuratannya, sehingga langsung dihentikannya.
Advertisement
Semangat ingin sembuh untuk bisa kembali menjadi istri, ibu, dan guru adalah api yang menggerakkan Ibu Peni agar kuat menjalani kerasnya pengobatan kanker yang sudah masuk stadium tinggi. Kekerasan hatinya untuk bertanggung jawab atas pendidikan murid-muridnya, membuat ia tetap bertahan datang ke sekolah untuk mengajar, meski saat ia sudah harus intensif menjalani kemoterapi dan duduk di kursi roda. Rambutnya sedikit demi sedikit mulai rontok dan menipis, sehingga mulai ditutupinya dengan scarf yang diikatkan ke kepala atau topi.
Next
Lama kelamaan, sosok Ibu Peni mulai jarang ditemui di sekolah karena beliau harus bolak-balik dirawat, terkadang masuk ICU, bahkan sempat koma. Beberapa bulan sebelum meninggal di tahun 2010 lalu, keadaannya malah semakin parah karena kanker payudara tersebut meluas dan menjadi komplikasi dengan penyakit syaraf, sehingga membuatnya kehilangan penglihatan.
Entah apa yang menjadi pemicu kanker payudaranya tersebut. Walau berkarakter hangat dan humoris, Ibu Peni sebenarnya adalah orang yang sangat tertutup di kalangan guru-guru lain. Ada yang bilang mungkin ia bisa terkena kanker karena suka memendam beban pikiran tanpa mau berbagi cerita sehingga membuatnya sering stress, ada juga yang mengatakan karena pengaruh kontrasepsi berjenis injeksi yang beliau jalankan, atau juga karena ketidakmampuannya untuk memasak sehingga membuatnya selalu membeli makanan dari luar. Entahlah, yang pasti Ia nggak suka membicarakan masalah pribadi dan terhitung pendiam, yang membuatnya enggan untuk banyak bercerita tentang penyakitnya. Nggak ada pula yang tahu seperti apa kehidupan beliau sebelum ia divonis kanker, karena ia hanya senang memperlihatkan bahwa keadaaannya baik-baik saja.
Kini, telah dua tahun beliau meninggal, tapi sosok Ibu Peni masih diingat dan terkadang dibahas kembali. Ia memang nggak mudah dilupakan, karena dikenal sering melontarkan bahasa-bahasa khas yang hanya cocok diucapkan olehnya. Yang pasti, kenangan tentang Ibu Peni, nggak akan hilang hanya karena telah direnggut oleh penyakit ganas itu. Keminiman pengetahuan tentang kanker payudara dan keterlambatannya mengetahui benjolan tersebut, membuatnya harus mengaku kalah terhadap kanker payudara. Namun, kepergiannya sama sekali nggak sia-sia karena semangatnya untuk gigih bertahan dan berobat, mengajarkan bahwa kanker payudara adalah guru untuk mata pelajaran kesabaran yang paling mengena. Begitu yang ia katakan dulu kepada saya saat menengoknya dalam keadaan sudah tergolek lemah di atas tempat tidur.