Ibu dua anak ini tampil cantik dalam balutan kaftan berwarna hijau saat berbincang dengan FIMELA.com. Aktris asal Solo yang sekarang lebih sering tampil di acara-acara privat ketimbang di layar kaca ini, terkenal sangat menguasai bila ditanya tentang fashion atau shopping yang menjadi kegemarannya. Namun, jangan salah, Diah pun lalu bercerita banyak saat disinggung tentang pendidikan anaknya. Ia mengaku bahwa menganut sistem moderat untuk urusan nilai anak.
“Saya nggak pernah memaksakan anak untuk mendapatkan nilai tertinggi, saya hanya meminta anak untuk kalau bisa mencapai nilai rata-rata, atau kalau lebih itu lebih bagus. Saya bilang ke anak-anak kalau mendapatkan nilai 8 sudah bagus sekali, nggak mematok angka 10 atau seratus. Kalau dia dipaksa harus mencapai nilai 10, kasihan anak-anak, karena mereka bisa stres terlalu ditekan untuk mendapatkan nilai tinggi. Kurikulum pelajaran anak sekarang memang saya akui susah, saya pun nggak bisa ngajarin. Belum tentu juga anak yang selalu mendapatkan nilai tinggi akan berhasil. Saya melihat bahwa nilai bukan tolak ukur keberhasilan, tapi dari kerja keras dan networking. Pokoknya saya nggak pernah menekan anak untuk mendapatkan nilai yang paling top, tapi juga jangan terlalu minim,” urainya.
Advertisement
Untuk soal networking, Diah yang menjalani karer di dunia hiburan sejak akhir tahun 80-an ini, menyadari benar bahwa hal yang satu ini sangat penting untuk dipupuk sejak dini, dan itu sudah mulai diterapkan ke anak-anaknya melalui pemilihan sekolah yang berbeda di tiap tingkat.
"Kurikulum pelajaran anak sekarang memang saya akui susah, saya pun nggak bisa ngajarin. Belum tentu juga anak yang selalu mendapatkan nilai tinggi akan berhasil. Saya melihat bahwa nilai bukan tolak ukur keberhasilan, tapi dari kerja keras dan networking,"
“Anak saya mulai dari SD, SMP, dan SMA-nya nanti berbeda-beda sekolahnya. Saya nggak mau anak saya dari awal sekolah sampai lulus, berada di satu sekolah yang sama. Kadang ada beberapa ibu yang malas variasikan sekolah anak demi kepraktisan ketika antar-jemput, tapi itu sebenarnya salah sekali. Saya mencari selalu sekolah yang berbeda di tiap tingkat pendidikan anak dengan tujuan memperluas networking, baik untuk anak maupun saya sebagai orangtua. Anak jadi bisa melihat berbagai kalangan, dari kalangan atas sampai menengah ke bawah di tiap sekolah, dan dia nggak hanya melihat hal yang sama terus menerus. Teman-temannya juga nggak cuma itu-itu saja, begitu pun gurunya. Pola pikir anak juga menjadi berbeda,” ceritanya semangat.
Keuntungan lain yang didapat dari Diah dengan anak berpindah-pindah sekolah adalah, dia bisa belajar banyak tentang perbedaan standar nilai di setiap sekolah. “Sekolah anak saya yang sebelumnya menggunakan sistem IB-MYP, sekarang dengan standar Cambridge. Dari situ saja saya harus belajar lagi supaya tahu apa perbedaannya,” kisahnya. “Cara menganalisa nilai di setiap sekolah itu berbeda-beda dan susah, harus dipelajari benar-benar. Anak saya pernah mendapat nilai 3, tapi setelah ditanya ke gurunya, nilai 3 itu setara seperti nilai 6 dan 7. Makanya, setiap orangtua harus punya tabel nilai tertentu yang menjadi patokan berapa nilai sebenarnya dari angka yang tercantum di rapor. Itulah juga peran Parent Teacher Conference (PTC) setiap 3 bulan sekali yang sangat penting untuk saya ikuti, agar bisa mengetahui langsung apa kekurangan anak saya di sekolah,” lanjut Diah tentang anaknya yang kini masih terdaftar di Sekolah Mentari, Cipete, Jakarta Selatan.
Menanggapi suasana Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang sedang berlangsung dan lagi dijalani juga oleh putera pertamanya, Marcello Renara Djatmiko, Diah memang mengharuskan anaknya untuk lulus, tapi kembali lagi, soal standar nilai tinggi bukan patokan yang pasti. “UAN itu bukan suatu momok yang harus ditakutkan, karena itu adalah proses yang harus dilalui oleh semua murid sekolah. Saya selalu mengajarkan anak saya untuk memperbanyak latihan dan membaca, bukan ditakut-takuti. Syukurlah, di sekolah anak saya yang sekarang ini, jarang sekali ada murid yang nggak naik atau nggak lulus, karena seleksi masuknya pun betul-betul diuji, bukan karena perkara dia anak siapa, punya uang, lalu bisa dengan mudah diterima,” tutupnya sambil tersenyum.