Sukses

Lifestyle

Get Happiness, Now!

happiness

Elsa* seorang penulis lepas mengaku selalu melihat sesuatu dari sisi negatif. Di saat putrinya Ava, yang berusia 8 tahun membangunkannya dengan, “Ibu, hidup kita sempurna. Kita punya anjing dan dua kucing. Ayah seorang pelukis, dan aku juga, dan Ibu penulis. Dan kita akan makan pancake untuk sarapan.” Elsa menutup muka dengan bantal agar nggak melihat tumpukan cucian kotor di pojok kamar dan jendela yang berdebu. “Ibu bangun sepuluh menit lagi, ya,” pinta Elsa. Ava menambahkan, “Oh, Ibu lebih cantik daripada Natalie Portman.” OK. And that got her attention.

Ava suka banget menikmati matahari dan hari yang cerah serta kelakuan binatang piaraannya, sementara Elsa sepertinya handal melihat tanda-tanda hujan deras dan bulu binatang yang menempel di sofa. Elsa seorang reporter dan penulis yang terbiasa fokus pada berita negatif di TV (perang! krisis ekonomi! gempa!). Tapi ada alasan personal juga. Saat berumur 20an, orangtua Elsa meninggal, usia 30an dia nyaris bercerai; tapi kemudian suaminya jatuh sakit. Nggak cuma sulit untuk menjalani keseharian, dia juga susah untuk mengenali hal kecil yang bisa membuat bahagia – konser kecil putrinya atau lukisan indah karya suaminya di dinding rumah. Elsa malah bangun dan berpikir masalah apa lagi yang akan terjadi.

Tapi kata-kata putrinya membuat dia berpikir. Kalau Ava bisa melihat segala sesuatu dari sisi positif, kenapa saya tidak? Hari itu Elsa membuat daftar beberapa hal yang terjadi pada hidupnya:

-       Anak yang cerdas dan periang.

-       Suami yang disayang, walaupun hubungan mereka ada naik turunnya.

-       Karir kreatif dan binatang piaraan yang lucu.

-       Putriku bilang aku cantik.

Komentar Ava seperti wake-up call. Membuat Elsa ingin lebih bisa menghargai nikmat besar atau kecil yang terjadi dalam hidupnya. Untuk bisa berpikir positif selalu, kita harus benar-benar berniat, kata Greg Hicks pengarang buku How We Choose to Be Happy. Greg Hicks dan Rick Foster, partnernya, menghabiskan tiga tahun traveling mengelilingi tujuh benua, mencari orang-orang paling bahagia. Menurut mereka, a joyful attitude, takes practice. “Siapapun kamu, akan selalu ada hal yang nggak berjalan sesuai keinginan,” kata Greg. “Tapi untuk orang-orang yang terus menerus berpikir positif, secara sadar akan membuat pilihan tentang bagaimana merespon atau bersikap, dan bukannya bereaksi secara otomatis sesuai dengan keadaan.”

Secara spesifik, orang yang bahagia tahu apa yang disebut reframing – yaitu melihat dari sisi yang lebih cerah saat sesuatu yang nggak menyenangkan terjadi – dan recasting. “Recasting artinya mengambil kejadian yang negatif dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif dengan melihatnya sebagai kesempatan yang bisa memperkaya hidup,” jelas Greg Hicks. Contohnya, kalau tawaran naik jabatan atau promosimu ditolak, kamu bisa minta waktu meeting dengan atasan dan bertanya apa yang harus kamu perbaiki agar bisa mencapai posisi tersebut di lain waktu. “Dengan recasting, kamu memberikan harapan pada dirimu sendiri di masa depan karena kamu yang menciptakan pilihan baru.”

Setelah kehilangan kedua orangtua dan merawat suami sampai sehat kembali, Elsa merasa kalau the universe selalu memberikan cobaan padanya. Kalau saja dia me-reframe kejadian tersebut untuk mengingatkan dirinya kalau; orangtuanya sudah hidup bahagia. Dan suaminya bisa sembuh, which is good luck, not bad. Greg Hicks menyebut ini taktik “finding the gold in every day.” Konsep yang sebenarnya nggak asing bagi Elsa. Ibunya, sama seperti Ava, seseorang yang selalu melihat apapun dari sisi positif.

“Kamu selalu punya kuasa untuk mengontrol reaksi, sikap dan tujuan,” ungkap Greg. Di sisi lain, kalau kamu melihat dirimu sebagai korban keadaan, akan sulit untuk berpikir positif. “Tanpa recasting, kamu bisa merasa hopeless, nggak bisa berbuat apapun. That’s when you give away your power to act,” kata Greg Hicks lagi.

Dan itu yang terjadi pada Elsa, saat sesuatu yang nggak enak, atau nggak sesuai dengan harapan terjadi. Selama bertahun-tahun, dia selalu berusaha mengerjakan segala sesuatu dengan sempurna, dan menerima segala pekerjaan atau proyek yang ditawarkan. Kalau ada masalah terjadi (asisten sakit, kunci hilang) Elsa bisa freak out dan kemudian menangis berlebihan. “Yang terjadi adalah adrenalin yang muncul karena merasa menjadi korban,” kata Greg. Suaminya pernah sakit keras; dan Elsa merasa kalau dia juga akan sakit. “Menurut penelitian, orang yang punya kebiasaan melihat sesuatu yang negatif dengan konteks yang lebih cerah, yang mengambil sisi positif setiap terjadi hal yang nggak enak dan bukannya mengeluh, “Kenapa saya?” nggak cuma merasa lebih bahagia tapi punya imunitas tubuh yang lebih kuat dan lebih bisa mengalahkan penyakit,” jelas Greg.

Sudah waktunya untuk menghilangkan kebiasaan melewati krisis dengan sikap negatif. Elsa mengacu pada Karen Reivich, pengarang buku The Resilience Factor. Rutinitas Elsa: Setiap pagi, saat bangun, dia mengecek daftar tugas dan langsung merasa ada yang tertinggal atau nggak bisa dikerjakan. Menurut buku Karen, melakukan relaksasi sederhana (bernapas dalam dan yoga adalah dua yang paling efektif), dan mengajak kita untuk menantang apa yang disebut “iceberg beliefs.” Ini adalah hal utama yang seringkali berada jauh di dalam kesadaran kita, seperti gunung es yang menanti di bawah permukaan air. “Sebenarnya nggak selalu buruk,” Karen menjelaskan. “Tapi sangatlah menolong kalau kita menyadari hal ini, karena sangat penting untuk membantu membuat pilihan.” Beberapa contoh “gunung es”: Keluarga hal yang paling penting atau Kalau memulai sesuatu, harus diselesaikan atau bahkan Saya pemalas dan susah untuk dicintai. “Tujuannya adalah membawa hal tersebut ke permukaan dan bertanya pada diri sendiri, Apakah saya memang menganggap hal ini penting? Apakah ini membantu?”

Elsa langsung tertuju pada dua asumsi yang dia lakukan: Dia seorang yang nggak rapi dan susah mengingat. Elsa nggak yakin apakah dua hal ini bisa disebut “gunung es”, tapi memang menghasilkan beberapa hal yang membuat dia berpikir. Elsa menyadari kalau sering sekali saat pulang bekerja dan kecapaian, dia melemparkan kuncinya di mana-mana. Esok harinya, dia nggak bisa menemukan kunci tersebut, dan jadi panik dan ketakutan kalau dia mulai mengidap Alzheimer, seperti ayahnya. Sejujurnya, Elsa memang selalu dihantui ketakutan tersebut; seorang terapis malah menganjurkan kalau ketakutan ini merupakan salah satu penyebab depresinya.

Elsa memutuskan untuk membereskan beberapa hal kecil, dimulai dengan mencari kunci di pagi hari. Suami Elsa, yang memperhatikan ‘kepanikan’nya, membelikan gantungan untuk kunci yang diletakkan di dekat pintu. Elsa mulai menggantungkan kunci setiap pulang ke rumah. Elsa juga memaksimalkan penggunaan BlackBerry-nya dan mencatat setiap appointment. Dan Elsa juga mengurangi proyek hanya satu setiap bulannya dan serta aktifitas ekstrakulikuler Ava, sehingga mengurangi tingkat stres. Elsa juga belanja dan menyusun menu untuk seminggu sehingga menghindari konflik dengan suaminya.

Memang perlu lebih dari sekedar gantungan untuk kunci untuk mengubah mind-set. Nggak seperti putrinya atau sang ibu, Elsa melihat dirinya sebagai seseorang yang punya banyak masalah. Untuk mengubah pemikiran tersebut, Karen menganjurkan agar kita belajar meditasi dan melakukannya dengan teratur. “Meditasi dipercaya bisa membantu orang untuk mengubah pola pikir,” kata Richard Davidson, seorang peneliti dari Universitas Wisconsin.

Di sebuah riset, ditemukan kalau setelah dua bulan, orang-orang yang mulai bermeditasi menunjukkan peningkatan aktivitas di area dorso-lateral kiri otak, yang seringkali ditemukan pada scan otak orang yang bahagia. Itu bisa disebabkan karena meditasi mengajarkan orang untuk menambah kekuatan kontrol pikiran, sehingga menambah kemampuan untuk melihat sesuatu dari segi positif.

Elsa pun mendaftar pada sebuah kelas meditasi dan mulai meditasi 10 menit sehari. Sebelum mulai, dia memberi makan para binatang piaraan, mengunci diri di kamar tamu dan duduk menyandar pada dinding, bernapas dalam dan teratur, mengulangi kata-kata simple untuk menghilangkan berbagai pikiran dari otaknya. Pada awalnya, pikiran Elsa justru terfokus pada apa yang harus dia lakukan hari itu, belum lagi susah bangun lebih pagi. Tapi setelah mengurangi kesibukan, hal yang harus dipikirkan jadi lebih sedikit dan dia bisa rutin bermeditasi. Nggak lama, Elsa bisa bangun lebih pagi sehingga bisa meditasi selama 20 menit. Setelah lima minggu, Elsa mulai meditasi selama setengah jam, empat hari seminggu. Ketenangan dan rasa damai yang dirasakan mulai mengisi hari-harinya.

Elsa juga mencoba sebuah trik andalan Karen Reivich, yang disebut beauty detour. “Di sela kesibukan, luangkan tiga menit untuk berhenti, di manapun kamu berada, dan lihat sekelilingmu. Bisa jadi lukisan atau pemandangan dari luar jendela atau sinar matahari yang menerangi jalan. Lihat dan tanyakan pada diri sendiri, ‘Apa yang indah di sini?’ Hal yang simple, tapi bisa mengingatkan kita kalau keindahan itu ada di mana-mana. Merupakan tanggung-jawab kita untuk menemukannya.”

Jadi, sesekali, tanpa alasan jelas, Elsa berhenti mengerjakan apa yang sedang ia kerjakan dan melihat sekeliling, mengamati dunia. Satu hari, muncul pelangi di sela hujan deras, Elsa berhenti di pinggir jalan dan bersama Ava mengagumi pelangi tersebut. Ava bahkan merekam pelangi cantik tersebut dengan HP-nya.

Memang, hal buruk masih terjadi; tapi Elsa sekarang tahu kalau dia punya pilihan bagaimana menghadapinya. Saat mobil mogok, Elsa nggak langsung berpikir kalau dia sial dan jadi stres. Sebelum pikiran jelek menguasai diri, Elsa menggunakan sistem kebahagiaan andalan: Bernapas dalam, fokus pada apa yang terjadi dan reframe situasi yang ada. (“Untung aku punya mekanik andalan.”) Di pagi hari saat mengantar Ava ke sekolah, di sela kemacetan, Elsa memutar CD Lion King dan bernyanyi bersama Ava. Kemudian melihat keluar, dan mencari sesuatu yang indah untuk dilihat. So far, they’ve found it everytime.

 

Tips Meditasi ala Elsa.

Mencuri sepuluh menit sehari dan bernapas dalam bisa membuatmu lebih bahagia. Coba sekarang.

  • Pilih sudut yang nyaman dan tenang dan duduk dengan punggung tegak tapi santai. Tutup mata dan fokus pada pernapasan. Coba fokus dan hitung pernapasan sampai hitungan ke-7, kemudian 14, kemudian ke 21, tanpa membiarkan pikiran kemana-mana.
  • Keep inhaling and exhaling, konsentrasi pada udara yang keluar lewat hidung dan paru-paru. Kalau distract, jangan stres; fokus pada pernapasan.
  • Lanjutkan selama 10 menit, kemudian selesaikan dengan menentukan tujuan seperti “Aku akan jadi lebih baik.” Duduk sebentar, nikmati ketenangan yang ada.

 

*bukan nama sebenarnya.

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading