Fimela.com, Jakarta Pernah dengar istilah generasi mecin? Ya, disebut generasi mecin sebagai sindiran atau candaan atas ketidakmampuan generasi tersebut berpikir pintar. Mecin atau MSG (Monosodium Glutamat) sering kali disebut sebagai penyebab penggunanya memiliki akal yang bodoh.
BACA JUGA
Advertisement
Padahal, secara ilmiah belum ada yang bisa membuktikan jika MSG merupakan bahan pangan yang berbahaya. MSG merupakan salah satu jenis flavor enhancer bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah, atau mempertegas rasa dan aroma.
"Tentang MSG ya, emang itu sering muncul, lalu tenggelam lagi, muncul lagi. Tapi prinsipnya gini, apa yang beredar di masyarakat tidak selalu sama dengan yang diyakini oleh regulator atau masyarakat akademik yang bisa dilihat dari jurnal kesehatan," kata Profesor Purwiyatno Hariyadi, Ahli Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) di Dapur Umami Ajinomoto, Sunter, Jakarta Utara, Kamis (29/3/2018).
Perkembangan teknologi khususnya informasi tentu saja berpengaruh besar terhadap adanya peredaran informasi yang berkembang di masyarakat. Sementara itu menurut Purwiyatno masyarakat tidak mendapatkan informasi berbasis ilmiah dengan sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
"MSG, aspek yang sering dikhawatirkan adalah aspek keamanan, yang sering diidentikan dengan Chinesse Restaurant Syndrome, yang itu udah lama dan tidak pernah dibuktikan secara ilmiah. Jadi hampir semua otoritas keamanan pangan di dunia mengatakan bahwa tidak ada isu keamanan dalam MSG," lanjutnya.
Sementara itu, ketika disinggung tentang keterkaitan antara MSG sebagai penyebab kebodohan, Profesor Purwiyatno Hariyadi memberikan sedikit analogi berdasarkan fakta. Menurutnya level pengguna MSG yang paling tinggi adalah masyarakat Jepang dan China.
"Lalu apakah mereka bodoh-bodoh banget? Kan tidak. Jadi ya bodoh tidaknya itu karena belajar dan asupan makanan bergizi lainnya. Tidak ada makanan yang membuat bodoh, juga tidak ada makanan yang membuat langsung pintar," imbuhnya. Masih pengin bilang mecin bikin orang bodoh?
Advertisement
Berawal Dari Umami, MSG Seaman Gula dan Garam
Setiap rasa memiliki komponen pembentuk rasa tersendiri. Misalnya manis yang ditimbulkan oleh sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lainnya. Asin yang dibentuk oleh sodium klorida, asam oleh asam sitrat, asam laktat, asam asetat. Pahit oleh komponen alkaloid, naringin, kafein. Serta rasa baru umami, yang dibentuk oleh glutamat, inosinat, dan guanilat.
Senyawa citarasa umami diidentifikasi pertama kali pada 1908 oleh seorang Profesor sekaligus ilmuwan di Tokyo Imperial University (Universitas Imperial Tokyo) bernama Kikunae Ikeda. Senyawa citarasa umami, citarasa gurih dan khas adalah suatu asam amino, yaitu asam glutamat.
Pada perkembangannya, produk MSG ini selain bisa memberikan citarasa maksimal juga dapat digunakan sebagai penunjang kesehatan. Contoh, pada penderita hipertensi penggunaan garam berlebih yang memiliki kadar sodium tinggi sangat dilarang.
Pada takaran yang sama, MSG hanya mengandung 12% sodium, sementara garam mengandung 39% sodium. "Jadi pada dasarnya keamanan MSG sama dengan keamanan garam dan gula. Justru dari penelitian, memanfaatkan fungsi lain dari umami karena ga ada isu keamanan," ujarnya.
"Dengan memanfaatkan formulasi MSG di ingredient, kita bisa menghasilkan produk dengan citarasa yang baik. Berguna bagi pasien untuk mendapatkan makanan bergizi, enak dan tidak berbahaya. Tapi tidak berarti kita harus menggunakan MSG, kita bisa gunakan juga yang alami seperti tomat, dan sumber glutamat lainnya," imbuhnya.
Sekadar catatan, bahwa sejak bayi setiap manusia sudah biasa mengkonsumsi asam glutamat tersebut. Jadi ketika ada kampanye yang mengharuskan masyarakat bebas dari glutamat tentu saja tidak bisa. Berdasarkan penelitian, kandungan glutamat bebas pada ASI jauh lebih tinggi dari jenis susu hewani.
"Kalau dikatakan dilarang, sebetulnya tidak. Harus dilihat yang lainnya, gula, lemak, atau yang lain, kalau kandungannya tinggi ya gak baik juga. Karena air susu ibu juga mengandung glutamat. Jadi harus dilihat kandungan lainnya," tukas Profesor Purwiyatno Hariyadi.