Fimela.com, Jakarta Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih sangat mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Baik secara langsung, lewat siaran tv maupun cerita yang seliweran di media sosial. Jangan sampai hal itu menimpa dirimu dalam hubunganmu, ya.
Advertisement
BACA JUGA
Perempuan berhak atas pemenuhan yang setara akan hak asasi mereka dan bebas dari bentuk diskriminasi. Fakta global menyebutkan 143 dari 195 negara sudah menjamin kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam konstitusi mereka pada tahun 2014.
Namun, hal semacam ini kurang dipahami oleh masyarakat Indonesia. Akhirnya diskriminasi terhadap perempuan tetap terjadi di berbagai area, secara langsung maupun tidak langsung melalui hukum dan kebijakan, stereotipe berbasis gender, serta praktek dan norma sosial.
Sebab, kesetaraan gender di depan hukum, belum tentu berarti bahwa perempuan mempunyai peluang yang setara di kehidupan nyata.
Ayoe Sutomo, selaku M.Psi, Psikolog Citra Ardhita Psychological Services, mengungkapkan bahwa KDRT bukan hanya berbentuk fisik yang jelas-jelas dipukul, melainkan ada bentuk-bentuk kekerasan lain seperti seksual dan verbal lewat kata-kata yang akan berdampak pada psikologis.
Advertisement
Tentang KDRT dari Kacamata Psikolog
Korban kekerasan biasanya, tidak berdaya untuk melawan, mereka menganggap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Inilah ciri-ciri kekerasan yang mempengaruhi psikologis.
“Kebanyakan korban psikologis dilemahkan oleh pelaku, yang membuat korban tidak bisa berdaya dan memiliki pikiran 'kalau aku melawan aku nanti bersama siapa'. Inilah mengapa korban kekerasan tidak akan keluar dalam lingkaran kekerasan. Sebab mereka tidak merasa percaya diri, dan memilih pasrah dengan keadaan,” ujar Ayoe saat dihubungi tim Vemale.com
Tak hanya itu, korban kekerasan memiliki pola pikir bahwa dirinya tidak berharga. Inilah mengapa sedari dini orangtua harus selalu mengajarkan konsep menghargai diri sendiri, mengajarkan bahwa diri sendiri sangatlah berharga, agar saat besar nanti anak tidak bergantung pada orang lain.
“Banyak korban kekerasan tidak lepas dari lingkaran kekerasan karena mereka berpikir takut untuk ditinggalkan, dan mereka akan hidup sendiri. Inilah mengapa orangtua harus mengajarkan anak-anak menghargai dirinya, karena hidup hanya sekali,” tambahnya.
Nah, ladies sebenarnya kita bisa mencegah kekerasan yang dilakukan oleh pasangan. Ayoe mengatakan kekerasan bisa dideteksi saat masa pendekatan sebelum menikah. Masa perkenalan sangatlah penting untuk mengetahui bagaimana pribadi pasangan kita.
“Saat proses pendekatan sekitar 1-2 tahun sebaiknya kamu perhatikan benar-benar agar saat menikah tidak menyesal. Jika ada ciri-ciri seperti tidak mempunyai pasangan mengontrol emosi, mudah ngamuk sampai ingin memukul, sering merendahkan kita, ini harus hati-hati. Bisa-bisa ini adalah tanda ia akan melakukan kekerasan saat kita sudah menikah,” tutupnya.
Sumber: vemale.com
Penulis: Anisha Saktian Putri