Fimela.com, Jakarta Nama Andi Amin sering disebut-sebut warga Jongaya, komplek Kusta di Makassar, Sulawesi Selatan. Pria yang berusia sekitar 60 tahun ini sudah sejak lama tinggal di komplek tersebut sebagai guru mengaji.
Badannya tegap, namun kurus. Wajahnya bersih dan sering dihiasi senyum. Kulitnya putih dan rambutnya keabu-abuan.
Andi Amin tinggal di kampung kusta sejak tahun '80-an. Nama lengkapnya adalah Muhammad Amin Rafi. Dia biasa memperkenalkan diri sebagai Amin Rafi. Namun orang-orang di sekelilingnya tetap memanggilnya Andi Amin. Karena Amin memang memiliki gelar Andi, gelar kebangsawanan Bugis.
Advertisement
BACA JUGA
Namun gelar kebangsawanan itu dan statusnya sebagai anak lelaki dari keluarga terpandang malah membuatnya jadi sasaran empuk diskriminasi ketika didiagnosis kusta.
"Saya anak seorang ulama, justru di situ masalahnya. Mungkin kalau saya anak seorang petani, malah tak apa-apa," ujarnya pada Health-Liputan6.com ketika ditemui di acara Kunjungan Duta Eliminasi Kusta WHO, Yohei Sasakawa, ditulis Senin (19/3/2018).
Andi Amin pertama kali tahu dirinya kena kusta pada tahun 1976. Saat itu ia masih duduk di bangku sekolah menengah. Punggungnya penuh dengan bercak putih .
Orangtua Andi Amin sempat berusaha membuatnya berobat ke rumah sakit. "Dipanggilkan becak, saya tidak mau. Saya loncat. Saya malu berobat," kenang pria 67 tahun ini.
Karena dia tidak cacat, Andi Amin terus sekolah. Walau hal ini berat.
"Di sekolah, saya diolok-olok. Karena paha saya penuh bercak, seperti cacar. Kami pakai celana pendek, kan," ceritanya. Kusta juga membuat kuping Amin bengkak yang membuat olok-olok yang diterimanya semakin hebat.
"Saya ingin berhenti sekolah, tapi tinggal satu tahun sekolah saya. Akhirnya saya lanjutkan," tuturnya. Kusta juga membuat kaki kiri Amin tak berfungsi. Kusta menyerang saraf telapak kakinya sehingga tak dapat digerakkan, harus diseret ketika berjalan.
Walau selalu diolok-olok, Amin tetap lanjut bersekolah. Dia punya mimpi, ingin jadi pegawai negeri.
Advertisement
Mimpi Sudah di Depan Mata
Amin akhirnya lulus dari sekolah kejuruan. Keinginannya untuk jadi pegawai negeri pun saat itu bukan sesuatu yang mustahil diraih.
"Waktu itu ada bukaan di kantor gubernur, saya mendaftar dan saya diterima," ujarnya diiringi segurat senyum. Amin bekerja sebagai staf administrasi.
Ketika tiba waktunya naik jabatan menjadi pegawai tetap, tidak lagi calon pegawai negeri, Amir mengikuti tes dan dinyatan lulus.
"Namun atasan saya tidak terima. Dia mengirim surat ke provinsi, dia bilang tes kesehatan saya tidak jelas. Dia meminta untuk dites lagi," ceritanya. Saat itu Amin sudah menjalani pengobatan kusta, dia sudah sembuh.
"Untuk jadi pegawai negeri golongan II, ditesnya dokter sendiri, kalau untuk golongan III, dites oleh tim. Saya lalu dites oleh tim," lanjutnya. Padahal saat itu status Amin adalah golongan II.
"Dites oleh tim itu saya gagal, hancur. Saya dipecat," ujarnya pahit.
Amin mengatakan hal itu membuatnya sedih, dan membuat hati orangtuanya hancur. "Mereka lebih frustrasi dari saya," lanjutnya.2 dari 3 halaman
Menemukan Komplek Kusta
Setelah dipecat, Amin sempat kehilangan harapan. "Saya bilang pada orangtua, kasih saya uang, saya mau pergi meninggalkan Makassar." Tapi orangtua Amin menolak.
"Mereka bilang, 'Kalau kau pergi kami kehilangan anak'," kenang Amin dengan suara tercekat. Dengan mata berkaca-kaca, Amin mengatakan orangtuanya akhirnya membelikannya rumah sendiri, yang jauh dari masyarakat.
Tapi stigma tetap ada. Susah untuknya mengasingkan diri karena keluarganya sangat terpandang. Menurutnya saat itu, satu-satunya cara adalah dia harus meninggalkan Sulawesi. Jauh dari keluarga dan orang-orang lain yang mengenalnya.
"Tapi ketika saya membaca surat kabar, saya menemukan cerita tentang kampung kusta, Jongaya," tuturnya. Tidak tahan tinggal di kota, Amin pun memutuskan tinggal di Jongaya. Saat itu tahun 1985.
Sampai kini, Amin masih tinggal di Jongaya. Dia menjadi tokoh masyarakat di komunitas ini.
Ada 500 kepala keluarga yang terdaftar di Jongaya, tidak semuanya penderita kusta. Tak lama tinggal di Jongaya, Amin pun memprakarsai berdirinya PerMaTa (Perhimpunan Mantan Kusta), LSM yang fokusnya memberikan pemberdayaan bagi mantan dan penderita kusta.
Amin juga kemudian menemukan cinta. "Saya punya satu istri dan enam orang anak," tutupnya sambil tersenyum lebar.
Penulis: Nilam Suri
Sumber: Liputan6.com