Fimela.com, Jakarta Dunia maya dewasa ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, setidaknya begitulah bagi saya sendiri. Bagaimana tidak? Internet kini semakin mudah kita bawa ke mana pun. Sepengalaman saya, untuk bisa menjelajahi internet dulu kita harus duduk terpaku di hadapan perangkat komputer. Kini? Sambil jalan, bahkan sambil mandi pun kita bisa mengaksesnya.
BACA JUGA
Advertisement
Perkembangan media sosial juga kini membuat kegiatan berselancar di internet semakin mengadiksi. Lewat satu platform kita bisa mendapatkan berbagai hal, mulai dari berita teraktual, blog menarik dari para penulis online, jokes-jokes yang lucu maupun tidak lucu, juga opini baik dari orang pintar mau pun sok pintar. Bagi saya, semesta media sosial itu mampu membuat saya terpingkal-pingkal hanya dengan membaca status unggahan, atau menonton cuplikan video, atau potongan gambar. Kadang pula, media sosial membuat saya geram bukan main karena melihat orang memanfaatkannya untuk menularkan kebodohan dan menebar kebencian.
Terlepas dari itu semua, media sosial tetap merupakan tempat yang seru. Di twitter khususnya, saya merasa berkesempatan untuk mengenal orang-orang hebat nan passionate di bidangnya masing-masing. Saya rasa, linimasa akun twitter mereka lebih banyak "berbicara" tentang mereka dibandingkan jika profil mereka dibukukan sekalipun. Hal itu juga berlaku sebaliknya. Saya juga bisa dikenal oleh orang-orang aslinya jauh dari jangkauan pertemanan. Memang pada akhirnya, internet dan media sosial itu membantu mendekatkan yang jauh, menyatukan yang terpisah.
Media sosial membuat menunggu tidak terlalu menjemukan seperti dulu. Perjalanan jauh dengan kereta yang penuh pun jadi tidak terasa lama karena asik berselancar di sana.
Dari berbagai pilihan media sosial yang ada, saya sendiri aktif twitter, facebook, dan instagram. Twitter itu ibarat pekarangan rumah yang bisa dilihat semua orang, saya pun bisa lihat siapa saja yang berlalu lalang. Kalau instagram itu kamar saya, tempat saya membagikan hal-hal pribadi yang saya sukai. Kalau Facebook, saya bingung mengibaratkanya sebagai apa. Mungkin hampir sama seperti twitter, tapi lebih di bawah sedikit levelnya.
Ketiganya menyenangkan, tapi juga punya tantangannya sendiri-sendiri. Ada arus negatif yang kencang dan siap membawamu ke arah yang tak terduga. Kita harus pintar mencari pegangan dan pijakan agar tidak tergelincir dan terbawa arus. Kita harus bisa menjadi pengguna yang bijak.
Lebih Bijak Memanfaatkan Media Sosial
Disclaimer: bijak di sini merupakan opini penulis.
Dimulai dari yang paling saya suka; twitter. Buat saya twitter seperti 'tempat sampah' pikiran saya. Saya membuang semuanya di sana. Pada awal-awal saya menggunakan twitter, orang-orang lain yang saya temui di twitter pun begitu. Sampai akhirnya saya (dan mungkin penghuni twitter lainnya) sadar bahwa twitter bisa lebih dari sekadar tempat sampah. Kalau pun kamu Kami berlomba-lomba membuang sampah-sampah itu dalam kondisi sebagus mungkin. Kegalauan berubah jadi puisi-puisi dalam 140 karakter dan pertengkaran sama pacar jadi ungkapan lucu.
Kendati demikian, twitter tak lepas pula dari keberadaan orang-orang yang percaya bahwa bumi itu datar, yakin bahwa dia akan masuk surga dengan memilih pemimpin dan teman-teman yang seagama, sampai mereka memaksa untuk menyamakan segala yang berbeda di sekelilingnya. Banyak yang bikin sebal, tapi kamu tidak harus selalu menyimak pembicaraan mereka. Ikuti akun yang isinya jokes-jokes betulan lucu, atau yang galau-galau elegan dengan pepuisian sekalian. Atau, jadilah pelaku. Isi timeline twittermu dengan jokes lucu yang ingin kamu lihat dari orang lain, atau galau-galau dengan puisi seperti yang ingin kamu dapatkan, atau yang informatif sekalian. Kalau perlu, kembalikan kegalauan twitter seperti dulu!
Selanjutnya, Facebook. bikin Facebook dulu sebagai pengganti friendster, sebab konon friendster mulai ditinggalkan dan para penghuninya beralih ke Facebook. Akhirnya, saya 'membangun rumah' di Facebook. Menambahkan teman asal-asalan, tidak mempertimbangkan siapa dan dari mana asalnya, untuk apa dia datang ke "rumah" saya, yang penting ramai saja. Tak lama, rumah saya di Facebook saya tinggalkan karena entah mengapa, twitter lebih menarik di mata saya. Namun suatu keadaan memaksa saya kembali ke Facebook, dan di situlah saya menyadari bahwa rumah saya di Facebook itu benar-benar jadi tempat sampah. :)))
Banyak bigot penebar kebencian. Mulanya memang bikin malas dan saya hindari. Tapi lama-lama saya sadar, kalau saya terus menghindari, bisa-bisa konten seperti itu semakin mendominasi. Akhirnya saya putuskan untuk "bebersih". Setiap saya buka Facebook dan melihat ada yang menebar status berbau SARA, saya tidak segan memutuskan pertemanan akun kami. Karena itu teman Facebook saya banyak sekali berkurang, tapi "rumah" saya kembali nyaman.
Tak cukup dengan diam dan memutuskan pertemanan, kadang saya sempatkan untuk mengingatkan orang-orang itu untuk tidak menyebarkan konten serupa di media sosialnya, menyauti opininya denga opini saya. Perdebatan itu lumrah terjadi, tapi sekali saya mendapatkan kesimpulan bahwa dia orang yang bebal serta minim rasa kemanusiaan, saya akan berhenti.
Selanjutnya adalah instagram. Saya tidak aktif menjelajah di sini, tidak banyak follow orang yang kolom komentarnya selalu dipenuhi perdebatan antara haters dan lovers. Saya lebih memilih akun-akun yang menyebarkan aura positif dan lovable, atau yang feed instagramnya bagus-bagus dan menginspirasi. Saya tidak suka mengikuti akun yang caption fotonya selalu sok asik, sok punya banyak haters padahal ya simply kelakuan dia memang menyebalkan aja. Oops.
***
Well, di media sosial kita bisa memilih untuk jadi 'orang' seperti apa, kita juga berkuasa untuk memilih nontonin orang yang seperti apa. Saran saya sih, banyak-banyak membagi aura positif lewat sana. Kalau kamu sudah berusaha positif tapi di sekitarmu banyak yang menyebarkan aura negatif, jangan mengalah. Kamu harus bisa lebih kuat dari mereka. Yang waras tidak boleh terus mengalah, kalau yang waras mengalah terus, jangan heran kalau yang gila berkuasa.