Fimela.com, Jakarta Ada sekitar 30 pesan yang masuk ke ponsel saya. Isinya, seperti biasa di hari Lebaran, ucapan Selamat Idul Fitri 2017 dan juga mohon maaf lahir dan batin. Di bawahnya, ada nama pengirim dan pasangan. Yang belum menikah, biasanya mencantumkan namanya saja. Begitu juga telepon masuk dari sanak-saudara nan jauh di luar Pulau Jawa.
Isinya kurang lebih sama. Apa kabar? Mama dan Ayah sehat? Dan lagi-lagi, mohon maaf lahir batin. Nggak ada kata lain yang saya berikan kecuali mohon maaf lahir batin juga. Kadang saya berpikir, seharusnya saya balas; saya maafkan, tapi apa yang selama ini kamu perbuat sampai harus minta maaf? Karena bertemu pun setahun sekali atau dua kali.
Advertisement
Cuma saat buka puasa bersama, atau saat berkeliling ke rumah saudara, untuk merayakan Lebaran bersama dan makan ketupat. Logika yang ada di kepala saya, masalah antara dua atau lebih pihak, cenderung muncul ketika keduanya melakukan interaksi. Sementara banyak orang yang nggak berbicara, bahkan say hi kecuali saat Lebaran.
Terus, salah saya atau mereka apa? Tapi yang namanya Lebaran, kurang afdhal rasanya kalau nggak mengucapkan dua kalimat itu. Selamat Lebaran, dan minta maaf.
Saya jadi ingat, dulu ada beberapa orang yang meminta maaf tanpa memberi alasan. "Gue minta maaf, ya." Terus saya tanya, kenapa minta maaf? Jawabannya nggak mencerahkan sama sekali. "Ya, minta maaf aja. Gue tahu lo marah sama gue." Lha, terus saya yang harus memecahkan teka-teki ini? Sementara, orang lain biasanya bakal meminta maaf dengan cara dan ucapan yang berbeda.
Maaf karena nggak balas pesan selama 2 hari, misalnya. Atau, maaf karena dia sudah berpaling dari saya. Bisa juga maaf karena sudah nggak sayang. Maaf, sudah menghabiskan es krim milik saya tanpa bilang dulu. Maaf, karena nggak menepati janji. Saya yang (seharusnya) memaafkan jadi enak. Saya tahu harus memaafkan kesalahan mereka yang mana. Kapan kejadiannya pun saya ingat.
Maaf dengan alasan ini juga, menurut pendapat saya, merupakan salah satu bentuk kalau mereka, atau juga saya yang punya salah, benar-benar menyesal. Meminta maaf karena A, B, atau C, membuat saya jadi tahu kesalahan, dan bakal selalu ingat kejadian itu. Meskipun, kadang manusia juga bisa khilaf dua atau tiga kali dan mengulangi kesalahan yang sama.
Advertisement
Sejarah Halal Bi Halal dan Maaf Saat Lebaran
Kadang, saya ingin bertanya kepada teman lama, dan juga saudara-saudara saya. "Maaf kenapa? Karena kita jarang bertemu, atau nggak pernah berhubungan selain Lebaran?" Tapi masalahnya, saat halal bi halal itu pasti banyak saudara lain. Terutama nenek atau kakek yang pastinya sangat dihormati. Juga ada om-tante, uwak, dan sebagainya. Kalau bertanya begitu, saya mungkin bakal dimarahi atau kena ceramah sepanjang libur Lebaran.
Niatnya, meminta maaf saat halal bihalal adalah menghapus dosa. Idenya bagus, sih. Tapi ternyata, setelah saya baca dari berbagai sumber, acara kumpul-kumpul Lebaran ini ternyata dulu digunakan Presiden Indonesia Pertama, Soekarno, untuk mempersatukan para elite politik di masa itu. Presiden Soekarno saat itu bertanya kepada Kyai Wahab, tahun 1948, soal bagaimana menanggulangi situasi politik yang nggak sehat.
Kyai Wahab, tulis KabarMakkah.com, memberi saran untuk mengadakan acara silaturahim. Tapi Soekarno ingin nama lain yang lebih unik untuk menyebut acara ini. Kyai Wahab kemudian menyarankan untuk memberi nama Halal Bihalal. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, tegas Kyai Wahab, seperti yang ditulis KabarMakkah.com.
Hal ini juga ditulis dalam sebuah artikel di salah satu media nasional. Dalam artikel tersebut, sejarahwan JJ Rizal yang merujuk kesaksian AR Baswedan, pertama kali halal bi halal digelar di Istana Yogyakarta pada hari Lebaran Agustus 1946. Hal itu sebagai simbol kukuhnya semangat Jogja 45, yang mampu mempertahankan kemenangan terbesarnya sebagai bangsa merdeka dan mewujudkan satu kesatuan utuh sebagai bangsa yang berdaulat.
Membaca sejarah munculnya budaya halal bi halal ini membuat saya sedikit mengerti, kenapa banyak orang yang mengucapkan maaf tanpa mengatakan kesalahan mereka. Karena nggak peduli apa salah mereka kepada saya, halal bi halal adalah waktunya untuk saling memaklumi. Mungkin saya ingat kesalahan mereka sehari sebelum Lebaran. Saya juga ingat kesalahan mereka 10 tahun lalu. Tapi dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga, juga dengan tetangga dan teman lama, saya juga belajar untuk memaklumi mereka.
Betul, meminta maaf sebaiknya diutarakan juga alasan dan kesalahannya. Tapi poin yang juga penting adalah saling memaklumi dengan latar perbedaan adat-budaya, pemikiran, dan latar belakang pendidikan. Selamat Lebaran. Semoga semua orang dapat saling memaklumi satu sama lain.