Fimela.com, Jakarta Definisi perihal Ramadan sebenarnya sudah sangat-teramat sahih dan diketahui sebagian besar umat Muslim, yakni bulan suci di mana pengikut Nabi Muhammad menjalankan ibadah puasa selama kurang lebih 30 hari. Di samping itu, Ramadan juga identik dengan Salat Tarawih, Nuzulul Quran, malam Lailatul Qadar, dan pembayaran zakat fitrah.
Secara garis besar, sekiranya itulah apa-apa yang bisa dikaitkan dengan Ramadan. Namun demikian, saya, mungkin juga kamu, dan jutaan manusia di luar sana kedapatan memaknai bulan ke-9 dalam hitungan tahun Hijriah ini ke ragam perihal bersifat pribadi, jauh jauh jauh lebih pribadi, di samping tentu saja bentukan suasana yang sudah disebutkan di atas.
Advertisement
BACA JUGA
Sekarang, coba tutup mata dan lihat apa yang pertama muncul di benak saat seseorang mengatakan Ramadan. Boleh jadi berupa gorengan dengan sambal kacang yang menggugah selera, intensnya iklan sirup di televisi, atau sesederhana kenangan masa kecil dengan sederet scene memorable.
Saya termasuk orang yang dengan mudah mengaitkan Ramadan dengan kategori imaji ke-3. Mungkin benar kata mereka, terdapat beberapa kenangan yang akan sangat-sangat detail, mudah diingat, dan bertahan di diri untuk seumur hidup.
Dari sekian banyak kejadian yang bisa dimunculkan kembali di dalam kepada, Ramadan dan masa kecil sangatlah mudah menyeruak. Mungkin ini cara saya tetap bernostalgia atau malah cerminan sikap enggan lepas dari bayang-bayang waktu saat prakarya Kesenian Jakarta adalah masalah paling besar dalam hidup.
Jadi, benarkah Ramadan bisa begitu lekat dengan kenangan masa kecil? Kalau sudah begitu, apakah ada perbedaan suasana dan euforia yang terjadi seiring bertambah usia? Kemudian, bagaimana kacamata Ramadan setelah meninggalkan masa kanak-kanak?
Advertisement
Perbedaan Euforia Ramadan
Disadari atau tidak, terdapat beberapa hal yang jadi tak-seseru-itu seiring beranjak dewasa. Misal, kita tak lagi terlalu pusing dan repot dengan nada dering ponsel. Padahal dulu? Dipilihnya bisa sesulit menentukan makan mi goreng atau mi rebus di hari kelabu berkawan tetesan hujan.
Nah, teori itu juga berlaku untuk Ramadan. Saya tentu tak berbicara dari sisi ibadah dan makna yang diemban sang bulan suci secara formal. Namun yang ingin digarisbawahi di sini adalah hilangnya sejumlah nuansa yang membuat euforia Ramadan sekarang berbeda dengan ketika saya waktu kecil.
Bagi saya di usia yang sekarang, Ramadan adalah tentang membagi jadwal kerja dengan agenda buka puasa bersama. Ramadan adalah bagaimana membagi waktu kerja dengan Salat Tarawih yang terus diingatkan mama. Tapi waktu kecil, Ramadan adalah soal ibadah yang berjalan seiring dengan bermain.
Saling tunggu untuk Salat Subuh bersama selepas sahur. Rampung Subuh-an, ketimbang tidur biasanya akan main. Nanti biasanya disambung buka bersama. Kalaupun tidak, lanjutan agendanya adalah tarawih, mengisi agenda Ramadan, dan diakhiri dengan meminta tanda tangan sang penceramah.
Terdengar sederhana memang, namun terdapat drama dan petualangan di sana. Entah siapa jadi marah dengan siapa karena hal sepele, jajan di antara sela waktu Salat Isya dan Tarawih, juga masih banyak peristiwa lain yang melibatkan sejumlah kenakalan masa kecil. Namun, scene yang demikian semata jadi kenangan saat bertambah usia dan punya kesibukan masing-masing.
Benar kata Benjamin Folds, "it hurts to grow up. it sucks to grow up". Bukan saya ingin mengeluh dengan keadaan yang sekarang, lantaran hidup memang soal 'pindah'. Hanya saja, ketidaksamaan itu akhirnya membuat saya sadar kalau Ramadan menyimpan salah satu kenangan masa kecil yang tak terlupakan.
Asnida Riani,
Editor Kanal Style Bintang.com