Fimela.com, Jakarta Ada banyak orang Indonesia yang bermimpi untuk bekerja di luar negeri. Di sebuah perusahaan internasional yang akan memberikan banyak hal buat kamu, dan bahkan keluargamu. Nggak perlu munafik. Bekerja di luar negeri membuka harapan mendapatkan gaji yang lebih besar. Kamu yang ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga dan pribadi pasti memang mengantongi tujuan ini.
BACA JUGA
Advertisement
Ini bukan sekadar angan. Karena banyak anak-anak bangsa yang berkarier di luar negeri. Ada yang di Eropa, Amerika Serikat, di berbagai negara benua Asia, dan Australia. Nggak jarang juga mereka yang berada di sana menempati posisi tinggi. Nggak tanggung-tanggung, banyak dari mereka yang jadi direktur, pemilik sebuah bisnis, startup, dan sukses dikenal seluruh dunia.
Peluang itu ada dan nggak kecil. Tapi sayangnya, sebagian orang punya pandangan lain soal hal ini. Mereka menganggap anak-anak bangsa yang mengenyam pendidikan di luar negeri lalu ogah pulang ke Tanah Air,nggak memberikan kontribusi apa pun. Mereka dicap sebagai anak-anak bangsa yang lupa tanah kelahiran.
Nggak sedikit orang-orang yang meminta kamu pulang secepatnya. "Bukannya membangun Tanah Air, malah asyik memperkaya diri di negeri orang," begitu kata mereka, kasarnya. Tapi mungkin mereka lupa, kalau anak bangsa yang berada nun jauh di sana, hatinya juga tetap berada di Indonesia.
Mereka tetap menjaga identitasnya sebagai orang Indonesia. Masih kangen dengan mi instan andalan yang meskipun ada di hampir seluruh dunia, tetap saja paling enak buatan Indonesia. Mereka masih juga mendambakan rendang, sate, nasi padang, dan nasi uduk. Mereka masih nggak mau kalau dibilang orang 'sana.' Mereka masih ingin dikenal sebagai Indonesia. WNI sejati yang dalam setiap langkahnya masih mikirin kampung halaman.
Karena menurut mereka yang memeras keringat di negara-negara asing, memberikan kontribusi untuk Indonesia nggak harus tinggal dan bekerja di Tanah Air. Seperti yang dilakukan Titin Wulia, seorang seniman muda dari Indonesia yang menyapa dunia lewat karya-karya seni kontemporer miliknya.
Titin hebat bukan cuma karena dia anak Indonesia yang sanggup membangun kariernya di luar negeri. Tapi juga memperkenalkan budaya Tanah Airnya kepada dunia. Dilansir dari Good News from Indonesia, dia menempati venue Arsenale di Indonesia Pavilion Venice Art Biennale 2017.
Pameran seni rupa tertua di dunia ini pertama kali diselenggarakan pada 1895, dan masih terus memamerkan karya-karya seni rupa dari seluruh dunia. Kali ini, karya Titin, salah satu anak bangsa cerdas ini tak berhenti berkarya di ajang bergengsi sedunia.
Titin memamerkan karyanya yang berjudul ‘1001 Martian Homes.’ Karyanya terinspirasi dari sejarah lisan yang hampir punah. Lebih jauh, Good News from Indonesia menulis, dia menggarap narasi-narasi tersebut dikisahkan di masa depan, di mana ruang dan waktu hari ini adalah masa lalu.
Nama Titin sudah nggak asing lagi, lho, di pameran Art Biennale pada tahun-tahun sebelumnya. Namanya tercatat sejak 2015 saat memeriahkan Istanbul Biennale, yang sebelumnya juga sudah ikut di Jakarta Biennale tahun 2009, lalu Moscow Biennale tahun 2013, dan kini Venice Biennale tahun ini.
Titin memang bukan seperti orang-orang lain yang membangun jalan tol, membentang dari Ibu Kota hingga ke luar kota. Titin mungkin bukan Kartini zaman dulu yang membangun pendidikan. Tapi, kan, dia ikut mengharumkan nama Indonesia, toh? Titin, dengan caranya sendiri juga membuka pikiran dan memancing imaji buat anak-anak bangsa lain untuk ikut berkarya, dengan mengambil sejumput pengetahuan tentang budaya Indonesia, dipadukan dengan pengetahuan modern. Nah, kamu yang terinspirasi oleh kisah Titin, apa sih, rencanamu ke depan untuk membangun Indonesia?