Fimela.com, Jakarta Dunia milenials, meskipun saya lahir di tahun 90-an, terasa asing buat saya. Bukan cuma karena istilah yang baru saja jadi populer di Indonesia. Tapi juga seisi-isinya. Milenials nggak lagi repot dengan jenjang karier. Mereka justru ingin membuka peluang. Milenials bukan lagi mengejar jabatan. Tapi trennya sudah berubah menjadi 'ayo, siapa yang mau sama-sama sukses dan bikin start up baru?'
BACA JUGA
Advertisement
Milenials atau generasi Y, kerap dielu-elukan berbeda. Saya kadang setuju, karena jelas apa yang saya inginkan dan bagaimana saya hidup jelas sangat berbeda dengan generasi di atas saya. Contoh saja orangtua, om-tante. Sebagian dari anggota keluarga besar saya masih menganggap bekerja kantoran itu hebat, lebih hebat dari mencapai goal yang masing-masing anak muda buat.
Kalau nggak hidup persis sama dengan generasi di atas saya, mereka bakal bilang saya gagal. Jeleknya lagi, kegagalan ini bukan cuma saya yang bertanggung jawab. Tapi juga kakak-kakak, abang-abang, adik-adik, dan sudah pasti orangtua. Satu RT kalau perlu juga harus menanggung dosa saya, yang nggak ikut mereka berkarier di dalam gedung tinggi, menjadi karyawan yang kerjanya duduk setiap hari dan menatap layar laptop atau komputer. Hitung uang milik kantor atau perusahaan.
Sebagai anak dan juga anak muda yang tak berpengalaman, tentu saya tak berani melawan. Durhaka. Nanti bisa-bisa dikutuk akhirnya hidup sial seumur hidup. Parahnya, yang nantinya malu bukan saya. Tapi seluruh anggota keluarga saya. Mereka bakal malu memiliki saya, di dalam keluarga besar, yang dianggap gagal menurut standar entah dari mana dan sejak kapan dibuat.
Ingin rasanya marah. Tapi setelah dipikir-pikir, anak muda ternyata banyak gagalnya. Bukan sekali-dua kali. Tapi ratusan kali. Hampir setiap saat. Mulai dari gagal mendapatkan pekerjaan yang disukai, sampai gagal mendapatkan perlakuan adil di kantor. Tapi nggak apa-apa, karena gagal berkali-kali di kantor, nggak akan bikin kamu jadi orang gagal.
Advertisement
Gagal dalam Hidup
Termasuk saat kamu mengajak makan malam seorang pria gagah, yang pantas untuk kamu cintai dan bakal menjadi ayah dari anak-anakmu kelak. Tapi pada akhirnya kamu ditolak dan melihat dia berjalan bersama perempuan lain dengan wajah bahagia. Juga saat kamu harus menyatakan selamat tinggal kepada pacar tercinta, karena kamu masih punya mimpi untuk mengelilingi dunia dan menuntut ilmu di negara lain.
Gagal, bukan terjadi pada saat kamu bekerja dan sekolah. Tapi setiap kali kamu dianggap memainkan peran dalam kehidupanmu dengan banyak kecacatan dan juga kesalahan. Makanya jangan heran, ada juga orang yang menyebutnya gagal sebagai ayah, ibu, orangtua, pendidik, murid, teman, dan anak.
Kegagalan-kegagalan kecil dalam hidup akan selalu ada terselip di tengah-tengah tawa dan tangis. Tapi hidup bukan cuma mengurusi berhasil atau gagal saat kamu memainkan peranmu. Karena setiap orang pernah gagal. Bukan sekali atau dua kali. Bahkan ratusan kali sebelum dia menemukan Mercury, menciptakan mobil, pesawat, listrik, dan menjadi inovator.
Banyak orang yang lupa untuk terus belajar. Bukan meratap dalam kesedihan dan menyerah pada kegagalan. Jiwamu mungkin mati saat banyak orang mencemooh dan memandang rendah. Tapi kesadaran dan kemauan untuk bangkit harus selalu tersisa, tak peduli seberapa dalam dan seberapa sering lukamu ternganga kembali.
Karena keberhasilan bukan satu-satunya yang menjadikanmu manusia. Tapi seberapa kuat kamu bertahan untuk kembali bangkit lagi.
Karla Farhana,
Editor Feed